Bab 45 Aku Punya Kejutan Besar Untuk Mereka 2

1741 Words
“Bisa! Bisa! Tinggal panggil ibu-ibu dekat kedai saja buat bantu kita pagi-pagi besok. Tapi, apa kamu baik-baik saja? Bukankah sedang demam tinggi?” Telunjuk wanita tua ini menyentuh pipi Casilda yang hangat, jelas terlihat pura-pura peduli, sangat dibuat-buat. Sedang matanya sudah hijau karena uang. “Aku baik-baik saja, bos. Makanya hari ini minta izin istirahat untuk besok. Ryan masih belum pulang, kan? Takutnya aku tidak bisa mengantar pesanan itu.” “Haaaa... baiklah! Baiklah! Anak itu memang keterlaluan! Entah ke mana perginya! Benar-benar seenak perut! Ini gara-gara ayahnya terlalu memanjakan dia! Ok! Aku mengerti! Kamu tidak masuk sehari pun ternyata tidak akan bikin rugi kedai ini! Aku jadi makin suka padamu, Casilda!” Sebelah bahu Casilda didorong pelan malu-malu, lalu mata bosnya melirik pakaiannya yang kotor, kening mengeryit. “Tapi, kenapa bajumu kotor begitu? Kamu ini, kan, jarang pakai baju yang bagus, kenapa pas pakai yang bagus malah jadi seperti habis guling-guling di tanah?” Casilda memucat, sedikit gelisah. Mata bosnya ini memang jeli juga, ya? Dengan enteng Casilda menjawab, “aku sudah bilang, kan, bos, sewaktu di telepon tadi? Aku membantu mereka di lokasi syuting, dan di sana medannya tidak bersahabat. Jadi, aku sempat jatuh beberapa kali, bos. Ahahaha!” Casilda tertawa lemah, badan sudah merinding beberapa kali karena merasa tidak nyaman dan gelisah oleh demamnya. “Baiklah. Baiklah. Terserah kamu saja.” Bu Hamidah pada dasarnya sama sekali tidak peduli padanya, hanya pada betapa bermanfaatnya dirinya bagi kedai ayam krispi itu. Tidak benar-benar peduli padanya, palingan hanya bermulut manis agar dirinya tetap bekerja di sana, hingga meski tadi dia pulang dengan wajah kacau dan penampilan kusut pun, wanita tua itu tidak begitu ambil pusing. Apalagi setelah mendengar mendapat pesanan baru 100 kotak ayam dari Arkan. Tambah tidak pedulilah dia dengan kondisi Casilda, bahkan ketika sudah tahu sedang sakit demam, menyuruhnya segera sembuh hanya karena demi keuntungan sendiri. Tiba di rumah, Casilda disambut oleh ibunya yang duduk berbincang di teras rumah bersama wanita tetangga yang selama ini sangat baik bersedia menjaganya. “Oh, Casilda? Sudah pulang? Syukurlah! Ibu pikir kamu lembur lagi karena dapat pesanan gila-gilaan. Ibu sudah cerita pada Bu Juli soal pesanan kalian itu, loh!” ucap sang ibu yang melihat Casilda ketika hendak mengucapkan salam. Akhirnya kalimat itu hanya diucapkan berbisik di ujung bibirnya melihat betapa senang sang ibu melihatnya pulang dari tempat kerja. Casilda merasa sedikit bersalah karena hampir saja menyerah saat tubuhnya tumbang beberapa saat lalu. Jika, dia pergi menghadap Sang Kuasa, pasti ibunya akan sangat sedih dan kesepian, walaupun ada Ibu Juli yang pasti selalu setia menemaninya, apa pun keadaannya. “Tante Juli?” sapa Casilda sopan, kepala ditundukkan memberi hormat. Senyumnya begitu lebar, penuh rasa haru dan syukur. Wanita berambut kribo dengan tubuh tambun itu menyambutnya dengan sebuah senyuman, dan terlihat bangga padanya. Kadang-kadang, jika Casilda melihat Bu Juli, dia seolah bisa melihat dirinya di masa depan. Apakah dia akan seperti itu nantinya? Kribo dan gendut? Selama hidup tenang dan bahagia, mungkin tidak buruk juga. Sebenarnya, dia tidak keberatan punya tubuh gemuk seperti Bu Juli nantinya, tapi setelah mendapat hinaan dari Arkan, dia merasa harus bisa memperhatikan tubuhnya mulai sekarang. Mungkin, jika dia beruntung, ada yang mau mempekerjakannya lebih baik dengan penampilannya yang lebih menarik. Atau... di saat terdesak bisa jual diri? Casilda tidak sempat memikirkan semua hal itu selama ini, di otaknya hanya bekerja dan bekerja saja agar bisa mendapatkan uang. Toh, dia juga tak bisa mengandalkan otot semata. Mungkin sebaiknya dia diet mulai bulan depan. “Akhir-akhir ini kamu sering pulang telat, ya? Aku menemani ibumu sampai malam, takut dia kenapa-napa.” “Terima kasih, tante! Saya sangat tertolong dengan adanya bantuan dari tante selama ini!” Casilda menggaruk-garuk belakang kepalanya yang tidak gatal, tersenyum sedikit bodoh dan polos. “Baju kamu kenapa? Kok, kotor begitu?” tanya sang ibu tiba-tiba dengan wajah polosnya. “Aaaahh... ini?” balas Casilda sembari menarik bagian bajunya yang kotor untuk dilihat, “ini karena bekerja terlalu keras, Bu. Tadi sempat bantu-bantu di tempat yang pesan 200 kotak itu, di sana berdebu juga jalanannya tidak bagus, aku sampai jatuh karena tersandung. Hahaha!” “Lain kali harus hati-hati!” seru sang ibu, memukul permukaan meja dengan wajah cemas. “Benar. Kamu ini wanita, Casilda. Juga masih muda. Jangan sampai bekerja terlalu keras,” tegur Bu Juli dengan tulus. “Baik, terima kasih. Saya akan ingat semuanya,” ujar Casilda dengan senyum kecil di wajah bakpaonya. Dalam hati, wanita gendut itu bersyukur mendapati lampu di teras rumah mereka hanya 5 watt, jadi wajahnya yang merah oleh demam, tidak begitu kentara. “Kalau begitu, aku permisi dulu.” Kedua alis Casilda terangkat cepat. “Ini tante! Buat tante! Terima kasih sudah menemani ibu saya hari ini,” ucap Casilda tulus, memberikan sekotak ayam kripsi untuk Bu Juli. “Oh! Terima kasih! Kalau begitu aku pamit dulu, ya!” Bu Juli melambaikan tangan dengan semangat kepada kedua wanita di teras. Ibu Casilda mendekat pada anaknya, “kamu pulang telat terus, nak. Kamu tidak apa-apa?” Begitu ibunya meraih lengan Casilda, langsung terpekik hebat. “Nak! Kamu sakit? Astaga! Kenapa bisa begini? Pasti karena minggu ini kamu kecapean, kan?!” seru sang ibu, dengan cepat meraih kedua bahunya. Casilda tertohok, lidah terbelit. Tidak tahu harus menjelaskan apa. “Kamu tidak boleh kerja keras lagi! Sudah sakit begini, badan juga kotor! Kalau kamu pingsan tiba-tiba, bagaimana? Siapa yang bisa angkat kamu nantinya?” Dalam hati Casilda terbahak keras. Setengah miris setengah merasa lucu, karena ucapan itu seperti tengah menyindir bentuk tubuhnya. Namun, wajah ibunya yang sangat serius menunjukkan kalau dia benar-benar cemas padanya. Jadi, Casilda menghela napas pelan dan tersenyum kecil. Tangan kanannya meraih bahu sang ibu, “jangan cemas, bu. Besok aku tidak masuk kerja. Sudah izin ke Bu Hamidah untuk istirahat, tapi malamnya harus antar pesanan penting lagi. Kali ini 100 kotak, bu!” “Casilda! Kamu harusnya istirahat penuh! Biar ibu yang rawat!” Dengan cepat sang ibu mendorongnya masuk ke dalam rumah, memaksanya untuk segera istirahat. “Ibu.... Tidak usah begini. Sebaiknya kita makan dulu, habis itu ibu istirahat dan tidur. Aku juga akan minum obat dan istirahat, lalu tidur dengan baik.” Kantong ayam krispi itu diangkat ke arah ibunya. “Pokoknya ibu akan rawat kamu!” tekadnya dengan berapi-api. Casilda tersenyum kecil, hampir terkekeh, karena tahu ibunya yang suka linglung dan melamun itu kadang suka bekerja tidak fokus. Mau rawat dia bagaimana? Demi membuat ibunya tenang dan cepat tertidur, Casilda menuruti saja apa kata ibunya. Tapi, sesuai dugaan, ibunya tidur duluan di kamarnya di saat sibuk mengopres dahinya. Mereka pun bertukar kamar, tidak bisa tidur bersama sang ibu dengan demam tinggi yang dimilikinya, takut malah menularkannya nanti. Merasa akhirnya mengantuk oleh obat yang sudah diminum, Casilda baring di kasur ibunya seorang diri, menarik selimut menutupi tubuhnya. Dalam hati hanya bisa berharap dan berdoa kalau Arkan tidak begitu terlalu kejam padanya besok. Sayangnya, doa Casilda sepertinya tidak akan dikabulkan oleh Tuhan, karena kini, di mansion Arkan, tepatnya di kamar mewah minimalis pria itu, terlihat sosok berpakaian training abu-abu, tengah berdiri di depan pintu kaca yang terhubung ke teras. “Benar. Hubungi mereka semua. Besok. Jam 7 malam tepat. Semua harus hadir di acara itu. Aku punya kejutan besar untuk mereka.” “Kejutan?” tanya orang di seberang sana, sebuah suara pria. “Benar. Kejutan yang akan membuat mereka semua sangat senang dan merasa puas.” “Hooo... sepertinya sangat menyenangkan.” “Tentu saja akan sangat menyenangkan. Semuanya harus berterima kasih kepadaku.” “Aku sudah tidak sabar menantikannya.” “Aku juga demikian. Hari yang dinanti-nantikan oleh semua orang setelah sekian lama akhirnya tiba juga.” Senyum Arkan sangat lebar dan licik di wajah tampannya, mata bercahaya dingin seolah akan menerkam buruannya tanpa belas kasih sedikit pun. *** Pagi harinya, Casilda bangun dengan panik. Langsung menyambar ponsel, ternyata baterainya lupa diisi ulang semalam. Pantas saja alarmnya tidak berbunyi, padahal sudah ada rencana untuk berkunjung ke rumah sakit menjenguk adiknya. Casilda yang sudah menjadi langganannya rumah sakit itu selama kurang lebih 3 tahun terakhir ini, sudah tidak asing lagi bagi para perawat dan satpam di sana, sehingga mau jam berapa pun berkunjung, bukan masalah baginya. Semalam, harusnya dia ke rumah sakit meski hanya 30 menit setelah mengistirahatkan tubuhnya, tapi dia malah ketiduran. Mungkin karena gabungan antara lelah dan efek obat yang diminumnya, akhirnya dia jadi seperti itu. “Bagaimana ini?! Kenapa bisa sampai lupa isi baterai ponsel?!” ucap Casilda serak, bangun dari tidurnya, mata terasa lengket, dan perasaannya terasa berat. Walaupun semalam dia tidur nyenyak, badannya masih terasa sedikit hangat. Memang benar, ya, kalau sakit tidak bisa hanya diri sendiri yang merawat diri. Harus ada orang yang merawat kita, tapi dia bisa apa sekarang? Kondisi yang terjepit, dan siapa pula yang bisa merawatnya? Ibunya sendiri tidak bisa diandalkan. Casilda duduk termenung di tepi kasur dengan kedua bahu melorot, rambut ikal panjangnya tergerai berantakan, dan daster batik yang dipakainya terlihat sudah berubah warna, pertanda itu adalah pakaian yang sudah dipakainya selama bertahun-tahun. Demi biaya sehari-hari dan pengobatan adiknya, beli celana dalam saja setengah mati, apalagi pakaian yang layak untuk diri sendiri. Baju yang khusus untuk acara tertentu seperti saat ke mansion Arkan untuk berbicara dengannya adalah sesuatu yang disimpannya baik-baik agar tidak perlu beli lagi, dan tentu saja ukurannya sedikit lebih besar agar bisa bertahan lama. Tidak akan kekecilan seiring waktu berlalu. Kalaupun ada kesempatan membeli baju, lebih baik itu untuk ibunya saja. Jika pakaiannya tidak bagus, apa kata orang nantinya? Sudah mental tidak bagus, jika berpakaian tidak bagus, ibunya bisa dicap gembel gila jika bertemu orang yang tidak memahami kondisinya. “Kamu sudah baikan?” tanya sang ibu yang masuk ke dalam kamar di mana sang anak kembali tidur setengah jam yang lalu. Casilda bangun dan meraih segelas air hangat pemberian ibunya, meminumnya habis sampai setengah gelas. “Maafkan ibu, gara-gara ketiduran mengopresmu, kamu jadi malah kesusahan seperti ini.” Sang ibu duduk di kursi dengan tatapan cemas dan rasa bersalah. “Tidak apa-apa, bu. Aku juga sudah merasa baikan, kok.” Casilda turun dari ranjang dan mulai meregangkan otot-otot tubuhnya, memijat-mijat lengannya yang terasa sedikit pegal oleh kegiatan kemarin sore. Sang ibu berdiri dari kursi dan meraih dahinya, gerakannya ragu-ragu dan begitu pelan seperti seekor kukang, “aiya... kamu masih panas. Hari ini, biar ibu yang masak, ya.” Casilda terbahak kecil. “Ibu mau masak apa? Nanti rumah malah kebakaran, kita mau tinggal di mana, bu?” sindirnya dengan wajah melucu dibuat-buat. Sang ibu mengerutkan wajah, kedua bahu melorot lemas.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD