Bab 46 Nyawa Adiknya adalah Hidupnya

1428 Words
Sewaktu mereka masih kaya raya, sang ibu jarang sekali turun ke dapur. Bahkan ketika mereka sudah jatuh miskin, karena kesehatan mental ibunya yang cukup memprihatinkan di awal-awal masa kesulitan mereka, mau tak mau Casilda sendiri yang harus turun tangan ke dapur. Tidak bisa membiarkan ibunya terjun secara langsung. Ibunya bisa masak seadanya, tapi seluruh dapur bisa saja terbakar atau seperti kapal pecah selama proses itu berlangsung. Otaknya yang sedikit lamban itu membuatnya selalu hampir melupakan apa yang dikerjakannya akibat melamun tiba-tiba. Jadi, lebih baik dirinya saja yang turun ke dapur. Selama ini juga, berkat bantuan dan perhatian Bu Juli sang tetangga yang baik hati, suka mengajak sang ibu makan bersama di saat Casilda sibuk bekerja. Terkadang, karena merasa keberatan Bu Juli tak mau menerima uang pengganti, sebagai balasannya, Casilda memberikan kue atau makanan lainnya sebagai balas jasa. Seperti tadi malam, sekotak ayam krispi untuk beliau. Dengan keadaan tubuh yang dipaksakan, Casilda bekerja di dapur membuat masakan sederhana, masih ada sisa ayam semalam. Jadi, pagi ini masih terbilang santapan mewah untuk mereka berdua. “Ibu, aku akan ke rumah sakit sebentar. Nanti pulangnya akan beli makanan yang lebih enak daripada ini. Oh, iya! Bu Juli sukanya apa, bu?” tanya Casilda pelan sembari menikmati ayamnya dengan penuh rasa syukur. Dengan adanya sisa ayam kemarin, selain meringankan kerjaannya untuk memasak sarapan pagi-pagi, ternyata rasa ayam krispi kali ini sangat enak bagi dirinya yang mulai kehilangan nafsu makan sejak dibangunkan oleh ibunya. “Ibu mau bertemu Danish hari ini, apa tidak boleh? Sekalian supaya bisa menjagamu. Kalau pingsan di jalan, bagaimana?” rajuknya pelan, terlihat pura-pura ngambek menikmati makanannya. Mengabaikan pertanyaan Casilda. Casilda tersenyum kecil melihat ibunya masih mengkhawatirkan hal yang sama semalam, lalu mencoba membujuknya pelan. “Nanti, ya, bu. Dokter bilang, saat ini hanya boleh 1 orang yang boleh berkunjung demi kesehatan pasien. Untuk sementara, lewat video call saja, ya? Nanti aku beritahu Bu Juli biar bisa pinjam ponselnya agar bisa mengobati rindu ibu sejenak pada Danish.” “Tapi, nak, kamu harus pergi hari ini? Sebaiknya istirahat dulu. Baru juga cuti kerja, sudah mau pergi lagi. Apa bedanya?” cibirnya pelan, mulut dimajukan dengan tatapan kesal. “Hanya sebentar, bu. Saking sibuknya beberapa hari belakangan ini, aku tidak sempat mengunjunginya. Dia pasti merasa kesepian. Aku juga tidak memberi Danish kabar. Kalau dia kepikiran, bukankah tidak baik untuk kesehatannya?” Casilda khawatir. Benar-benar khawatir. Sudah 3 malam dia tidak bertemu sang adik, padahal kondisinya semakin memburuk. Hatinya merasa bersalah sudah meninggalkan adiknya seperti itu, tapi dengan situasi dan kondisi saat ini, mau menyesal saja dia tidak punya tenaga. Sangat lelah. Benar-benar sangat lelah. “Tapi, kamu juga harus jaga kesehatan, Casilda. Coba ibu ikut bekerja, pasti kamu tidak akan kesusahan seperti ini,” terang sang ibu sedih, tiba-tiba berhenti makan seperti tidak selera. “Sudahlah, bu. Kalau ibu bekerja, yang ada malah bikin aku panik. Ibu lebih baik jaga rumah saja dan merawat tanaman di sekitar rumah kita. Kalau sayur-sayurannya sukses, itu artinya sama saja sudah menolong Casilda, kan? Kita tidak perlu mencemaskan soal beli sayur lagi. Bisa hemat, sekalian bisa beri Bu Juli juga dan para tetangga yang sudah sering menolong kita dengan tulus.” “Maafkan ibu, nak. Ibu sungguh tidak berguna...” tiba-tiba sang ibu menangis tergugu dengan kepala menunduk malu. Tampak sangat menyesal, kedua tangan menutupi wajahnya. “Ibu...” Casilda mengerutkan keningnya lemah. Selama hampir setengah jam, Casilda harus membujuk dan menenangkan sang ibu sebelum akhirnya pamit, dan segera berangkat menuju rumah sakit khusus jantung tempat adiknya dirawat. Kali ini, Casilda kembali dilanda gelombang kepanikan dan rasa takut hingga sekujur tubuhnya panas-dingin. Selama ponselnya kehabisan baterai semalam, dokter yang merawat adiknya kembali meneleponnya secara pribadi. Dokter baik hati itu pun mengirimkan pesan yang membuat jantung Casilda yang mungkin malah lebih duluan akan berhenti berdetak ketimbang sang adik. Hanya sebuah pesan pendek, cukup menampar otak perempuan berkepang satu ini. Dokter Adam: Casilda, segera datang ke rumah sakit sekarang juga. Setibanya di rumah sakit, Casilda menjejakkan kakinya dengan cepat menuju tempat para perawat yang berjaga. Kaos orange rajut lengan panjangnya terlihat acak-acakan karena berlari sepanjang jalan menuju bangsal rumah sakit tempat adiknya berada. Ponsel dokter yang menghubunginya pun tidak terjawab, dan berada dalam mode sibuk. Semakin membuat pikiran Casilda lari ke mana-mana. Berdiri di depan ranjang pasien, tubuhnya gemetar luar biasa ketika melihat sosok adiknya sudah tak ada di sana. Dengan perasaan kacau balau berbalik keluar ruangan, jantung berdetak sangat cepat. Suara perempuan berkacamata ini terdengar seperti tersedak, keringat dingin menuruni kedua pelipisnya. Kedua tangan beku bagai es, gemetar tiada henti. “Maaf! Adik saya ke mana? Kenapa ranjangnya tiba-tiba kosong?!” serunya kepada dua perawat jaga di meja setengah bundaran, wajah sudah sangat gelap dan isi pikirannya mulai sangat tidak terkendali. “Oh! Casilda! Kamu ke mana saja? Adikmu sudah dipindahkan ke ruangan intensif!” seorang perawat bertubuh kecil langsung keluar dari tempat jaganya, mendekati Casilda dengan wajah menggelap suram. Casilda yang mendengar itu bagaikan disambar petir di siang bolong. Tubuhnya membeku hebat, kedua bola mata membesar kaget. Semuanya terasa tidak nyata. Jantungnya tiba-tiba ada ‘nyut’ sakit di dalam sana, mencengkeramnya kuat. Kepalanya langsung berputar dan pandangannya mulai berkunang-kunang. Baru 3 malam. Baru 3 malam dia tidak mengunjungi sang adik, tapi sudah separah ini hal yang menimpa mereka? Bagaimana mungkin? “Casilda?!” teriak sang perawat, memegangi tubuh perempuan berkacamata tebal itu, hampir roboh di kedua lututnya. Casilda dengan cepat mencengkeram tepi meja dan menyandarkan tubuhnya di sana, kedua kakinya lemas. Kedua bola matanya bergerak-gerak tidak fokus. Pertahanannya roboh. Sikap tegarnya sepanjang jalan sudah tidak bisa ditahannya lagi. Air matanya mengalir tanpa diminta. Syok masih membungkus dirinya selama beberapa detik. “Kamu demam? Badanmu panas sekali, Casilda! Ayo duduk dulu!” bujuknya sembari memapah Casilda menuju sebuah bangku tunggu di depan meja jaga tersebut. “A-a-a-apa yang terjadi dengan Danish?” gagapnya dengan suara seperti ditusuk-tusuk sabut besi, mencegahnya untuk mengeluarkan suara, air mata meluruh. Kedua tangannya yang gemetar dingin meraih sebelah lengan sang perawat. “Kami sudah mencoba menghubungimu sepanjang malam Casilda, tapi ponselmu sama sekali tidak aktif. Dokter Adam juga panik semalam, dan memindahkan adikmu secepatnya meski tanpa pemberitahuan kepada keluarga pasien.” “Ke-kenapa? Beberapa hari lalu dia baik-baik,” ucap Casilda dengan wajah menggelap suram, mencengkeram gugup sebelah tangan sang perawat, dan menatapnya dengan pupil bergetar kalut. Isi pikiran Casilda saat ini seperti kabel yang putus, tidak bisa terkoneksi dengan baik. Selama ini, dia susah payah bekerja banting tulang hanya demi mengutamakan kesembuhan sang adik, tapi jika adiknya pergi begitu cepat, untuk apa semua pengorbanannya selama ini? “Dokter Adam bilang, adikmu kebanyakan berpikir hingga dia mendapat serangan.” “Kebanyakan berpikir? Dia berpikir apa? Untuk apa dia berpikir? Selama ini, dia selalu terlihat santai dan mendengar semua kata-kataku! Buat apa berpikir segala?” cerocos Casilda tidak percaya, sorot matanya linglung. Tidak habis pikir adiknya kena serangan gara-gara berpikir berat. Apa yang dipikirkannya? Apakah dia memikirkan biaya rumah sakit, atau karena sudah 3 malam dirinya tidak ada kabar hingga merasa seolah dibuang? Tidak tahu jawabannya yang mana, Casilda merasa ini terjadi karena dia tidak becus menjadi kakak untuk Danish. “Casilda, tenang! Tenangkan dirimu dulu! Kamu sedang demam, kalau pingsan dan kenapa-napa, semua akan tambah gawat, bukan?” Sang perawat meremas kedua tangannya, terlihat berusaha menenangkannya dengan wajah penuh kasihan. “Tenang?! Bagaimana mau tenang?! Danish semakin parah saja, dan uang kami untuk operasi sama sekali belum ada! Apa yang harus aku lakukan sekarang? Ruangan intensif juga pasti sangat mahal! Kami bisa diusir dari rumah sakit sewaktu-waktu!” lolong Casilda pilu. Air mata besar-besar layaknya mutiara berjatuhan di wajahnya yang memerah oleh demam. Berita mengejutkan itu membuat imunitas tubuhnya semakin jatuh ke level paling bawah, perasaannya memburuk dan tertekan, begitu sesak. Ingin istirahat, malah hari ini dia mendapat banyak kenyataan kejam yang membuatnya seolah ingin menghilang saja karena merasa tidak berguna sama sekali bagi keluarganya. “Untuk lebih detailnya, tunggu Dokter Adam yang menjelaskannya saja padamu. Beliau sedang rapat dengan para dokter sejak pagi tadi. Jadi, kamu bisa menunggunya, kurasa 1-2 jam lagi rapatnya pasti akan selesai.” Casilda kebingungan hebat, merasa dimusuhi oleh alam semesta. Harus seorang diri menanggung dan menahan semuanya tanpa ada yang bisa diandalkan, rasanya begitu menyakitkan dan membuat putus asa. Sekarang, bagaimana dia akan menjelaskannya pada sang ibu? Mustahil melakukan video call seperti perkataannya sebelum berangkat tadi. Apa alasannya untuk menutupi kebohongannya kali ini? Kebohongan demi kebohongan guna menutupi semuanya, kini runtuh bagaikan tembok yang dibom, luluh lantak, rata dengan tanah. “Di mana dia? Di mana adikku?” tanyanya dengan suara pelan yang gemetar, tidak tahu harus berkata apa lagi selain kalimat pendek-pendek itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD