Bab 32 Percakapan Telepon yang Kejam

1749 Words
Di hari Rabu pagi, Casilda berdiri di depan cermin lemari kayu di kamarnya. Dadanya naik-turun menghembuskan napas pelan-pelan. Wajahnya memerah lembut. Pikiran akan adiknya yang butuh operasi secepat mungkin membuatnya tidak bisa tidur nyenyak. Pulang dari rumah sakit tadi pagi langsung pulang ke rumah hanya untuk mengelap basah tubuhnya. Casilda tidak berani mandi, katanya itu tidak baik bagi tubuh jika mandi dalam keadaan kurang tidur, bisa menyebabkan kematian mendadak. Hari ini, dia memakai celana jeans hitam terbaiknya dan sebuah kaos polos merah muda. Warna merah muda sengaja dipilihnya, karena menurutnya sedikit menaikkan suasana hatinya yang berantakan. Bukan tanpa alasan Casilda berpakaian rapi seperti ini. Di hatinya, meski sangat ragu dan malu, dia ingin menemui Arkan sepulang dari kedai nanti. “Nak, kamu rapi sekali. Cantiknya,” ibu Casilda muncul di depan pintu kamar yang hanya diberi tirai sederhana, menatap anak perempuan satu-satunya dengan tatapan lembut, tapi ekspresinya seperti orang linglung. “Oh, ibu. Sudah bangun?” “Iya. Ibu tadi baru saja selesai menyiram sayuran kita. Sayur-sayurannya sudah tidak kena hama lagi. Saran bu Juli memang bagus.” Casilda tersenyum mendengar sembari mengikat satu rambutnya, tangan meraih kacamata tebal di atas meja rias. Senang melihat ibunya melalui hari dengan baik tanpa masalah. Sepertinya, itu adalah terapi yang bagus untuknya, setidaknya akan menyingkirkan pikiran-pikiran buruk yang selama ini menghantui sang ibu. “Aku sudah siapkan sarapan, bu. Ayam sisa kemarin sudah aku panaskan. Ibu bisa langsung makan.” Perempuan berambut hitam diikat satu ini berjalan meraih tas selempang di atas meja kecil, lalu memeriksa isi tasnya. Ponsel ada, dompet ada, dan yang paling penting adalah kertas yang berisi nomor telepon Arkan. “Kamu mau pergi lagi?” tanya sang ibu hati-hati, terdengar kecewa akan ditinggal. Setelah mencocokkan nomor telepon Arkan untuk meyakinkan dirinya, Casilda berbalik menghadap ibunya, “iya, bu. Hari ini aku mungkin akan pulang telat lagi.” “Tapi, kemarin kamu terlalu sibuk bekerja sampai tidak pulang.” Ibunya yang berpenampilan sederhana dengan rok hijau polos dan lengan putih panjang berjalan ke arahnya, langsung memeluk Casilda. “Maafkan ibu, nak. Ibu tidak bisa apa-apa untukmu,” isaknya pelan. Casilda tersenyum, mengelus-elus sayang punggung ibunya. “Ibu ini bicara apa? Aku sudah dewasa, sudah seharusnya menggantikan orang tua untuk bekerja.” Tangan Casilda meraih wajah ibunya, menghapus air mata yang meluruh. “Lalu, adikmu bagaimana? Kapan ibu bisa mengunjunginya lagi?” Kening Casilda mengernyit lemah, tidak tahu harus mengatakan apa. Kondisi tubuh adiknya semakin parah dan dia belum memberitahu soal itu pada ibunya. “Tenang saja, bu. Dia hanya perlu dirawat seperti biasa. Setelah itu, bisa pulang kembali bersama kita, berkumpul makan sama-sama.” “Tapi, ini sudah hampir 1 bulan, Casilda. Apa dia baik-baik saja? Dulu hanya beberapa hari saja, sekarang kenapa lama begini?” Ibunya mendesak, tapi Casilda tidak bisa mengusik mental ibunya lebih jauh. Tidak mau membuat kesehatan mentalnya yang semakin pelan membaik kembali terguncang dengan berita adiknya yang tengah sekarat. Jadi, Casilda langsung berbohong tanpa mengedipkan mata sedikit pun. “Ibu benar. Itu karena obat yang dipakai kali ini sangat berbeda. Ibu tahu, kan? Keuangan kita tidak begitu bagus, jadi dokter bilang sebaiknya Danihs dirawat inap lebih lama agar perawatannya maksimal. Biaya obat yang dulu sangat mahal, bu, dan harganya semakin naik. Jadi, dokternya memberi saran kalau pakai obat lain dan menginap lebih lama itu jauh lebih murah daripada obat yang dulu. Keduanya punya efek yang sama, jadi apa boleh buat, kan?” Sang ibu menatapnya cemas, kedua tangan ditautkan saling menjalin di depan dadanya. Ibunya tidak bodoh, hanya kadang-kadang mentalnya terganggu gara-gara kejadian traumatis, otak masih bisa berpikir dengan logika sediki-sedikit. Jadi, wanita tua itu pun akhirnya diam, tidak berbicara lagi. “Apa ibu sedih karena tidak bisa bertemu Danish?” “Iya. Itu juga, tapi, kasihan kamu jadi bekerja keras begini untuk kami.” Casilda tersenyum lebar. “Ibu jangan khawatir. Anak ibu ini kuat. Lihat? Sampai lemaknya bertumpuk!” dengan usil Casilda mencubit-cubit lemak yang ada di bawah lengan atasnya, dan berkata jenaka, “aku sampai punya otot, bu! Meski tidak begitu kentara. Coba ibu rasakan!” Casilda meraih tangan ibunya, dan merabakannya pada permukaan baju. Sang ibu tertawa merasakan sedikit gumpalan kecil itu. “Kamu punya otot? Sungguh hebat!” Casilda tertawa keras dan terlihat bangga, tapi begitu mereka keluar kamar, raut wajah Casilda berubah. Itu bukan otot, itu jelas-jelas lemak yang bertumpuk di badannya, tapi karena ibunya tidak bisa merasakannya dengan baik, lengan yang dikencangkan itu seolah-olah terasa seperti otot yang mengencang. Di kedai, selama seharian Casilda bekerja dengan baik. Para pengunjung juga sangat ramai. Ryan tidak terlihat di mana-mana, entah ke mana pria pemalas itu, tapi Casilda tidak ambil pusing. Hari ini pekerjaannya harus bisa selesai, lalu saat jam istirahat, dia akan mencoba peruntungannya. “Tolong satu kaleng sodanya lagi!” teriak seorang pengunjung di meja paling depan. “Baik!” teriak Casilda, mengelap tangannya dengan celemek yang dipakai. Kepalanya sebenarnya sedikit pusing dan badannya terasa gerah, tapi tidak punya waktu untuk mengeluh. Selain mengurus pembeli yang berdatangan, dia juga membantu Bu Hamidah di dapur demi pesanan Arkan yang akan diantarkan hari Jumat nanti. Jantung Casilda bertalu cepat. Dia berdiri melihat isi kedai yang hanya berisi 4 orang saja, sudah masuk jam lewat makan siang. Dengan lelah, perempuan berkacamata tebal ini duduk di anak tangga terakhir di depan pintu dapur, beristirahat sambil menatap layar ponselnya. “Telepon atau tidak, ya?” gumam Casilda ragu-ragu, wajahnya sedikit gelisah. Bayang-bayang wajah adiknya langsung melintas di benaknya. Tangan satunya meremas ujung celemak di pangkuan, sedikit menahan berbagai emosi yang bermain di dadanya, kening bertaut kencang. Dengan bibir digigit gugup dan mata terpejam, Casilda menyentuh layar ponselnya yang tertera nomor ponsel Arkan sang Top Star. Sebelah matanya membuka perlahan takut-takut, terlihat di layar sudah ada sambungan, nada panggilan terdengar dari speaker ponselnya. Jantung Casilda berpacu cepat, dag dig dug tidak karuan. Apa yang harus dikatakannya? “Halo?” Ketika Casilda hendak membalas dengan raut wajah riang ragu-ragu menahan malu, yang terdengar bukanlah suara pria, melainkan suara wanita. Casilda terdiam kuat. “Halo? Ini siapa, ya?” Suara itu terdengar lembut dan halus, sangat merdu elegan. Seketika Casilda bisa membayangkan sosok wanita yang menjawab panggilannya benar-benar kelas atas dengan wajah dan tubuh aduhai. Meski membeku sesaat, Casilda dengan cepat menguasi diri, mencoba mengabaikan keterkejutannya. “Maaf, apa ini benar nomor milik Arkan sang aktor itu?” Di seberang sana tiba-tiba hening. Casilda menatap ponselnya, mengira sambungannya tiba-tiba mati dengan sendirinya. “Ada apa dengan Arkan? Biar aku yang sampaikan. Aku tunangannya, Lisa.” Casilda tertegun kaget. Entah kenapa jantungnya merasa tidak enak, seperti ditusuk dengan jarum. Tunangannya? Kenapa ponsel Arkan, malah dia yang pegang? Apa dia selalu mengawasi ponselnya karena status playboy pria itu? Casilda menggelengkan kepala, mengusir pikiran-pikiran buruk. Ini bukan urusannya, tidak pantas memikirkannya sedikit pun. “Maaf mengganggu. Saya dari kedai ayam krispi, tolong sampaikan kepada Tuan Arkan, kapan sisa pembayarannya saya terima? Kalau bisa, melalui rekening juga tidak masalah jika tak mau datang ke kedai.” “Ayam krispi?” Wanita itu seperti terdengar pura-pura kaget, tapi begitu lembut sampai Casilda tidak bisa menyalahkannya. Mungkin dia curigakah? “Benar, atau jika Tuan Arkan sedang sibuk, bisa diberikan saat saya mengantar pesanannya hari Jumat ini. Sekalian disatukan dengan pembayaran yang baru. Saya tidak masalah.” “Baiklah, akan aku sampaikan.” “Terima kasih,” ucap Casilda tulus. Pembicaraan itu pun selesai, tapi karena mendengar suara Arkan, tubuh Casilda membeku. Tidak langsung mematikan sambungan telepon. “Siapa?” “Lama sekali mandinya. Apa sudah tidak sabar, ya?” suara Lisa terdengar manja, serak dan seksi. Terdengar suara ponsel diletakkan keras di atas meja. Pembicaraan itu terdengar jelas oleh perempuan berkepang satu ini. “Dari kedai ayam krispi, mereka tanya soal pembayaran soal hari Jumat nanti.” Suara kasur berderit kasur terdengar nyaring di telepon. Casilda menelan ludah berat. Apa yang mereka lakukan? Ingin mematikan telepon, tapi entah kenapa juga penasaran. Membuat tubuhnya hanya bisa membeku mendengar percakapan itu. “Mereka menelepon? Apa katanya?” “Tunggu! Kemari dulu! Mau ke mana? Sayang, aku sangat rindu padamu.” Dalam pikiran Casilda, ada banyak hal liar yang terbayang. Sewaktu di acara panti, dia hanya melihat sesekali tunangan pria itu. Memang cantik dan langsing, khas supermodel papan atas. Suara derit kasur kembali terdengar. “Ayo, kemarilah, Arkan. Biar aku gosok dulu. Ini sudah sangat basah. Tuh, kan, aku juga jadi ikutan basah. Tanggung jawab, loh!” Mesra, sangat mesra. “Tidak apa-apa. Aku suka jika basah begini. Kamu buka baju saja dulu. Nanti tambah basah. Sangat tidak nyaman, bukan?” Basah? Basah apa? Apa yang mereka bicarakan, sih? Sekali lagi, Casilda menelan salivanya kuat-kuat, muka memucat, hati tenggelam. Dasar playboy laknat! makinya dalam hati, menggigit bibir kesal. Tidak tahu tiba-tiba saja hatinya jadi panas tidak karuan mendengar percakapan aneh mereka berdua. “Selain pembayaran ayam itu, apa lagi yang dikatakan dari si penelepon?” Suara Arkan terdengar mendekat, lalu kembali terdengar menjauh dari ponsel. “Aku ini tunanganmu. Perhatian sedikit, dong. Masalah ayam krispi nanti saja. Bisa, kan, sekarang ini untukku dulu. Ayam krispinya tidak akan lari ke mana-mana. Lagi pula, kamu pesan ayam banyak untuk apa?” “Ini demi pencitraan. Tidak usah kamu mengurusi hal ini. Cukup duduk manis saja.” “Kamu buang-buang uang sebanyak itu untuk hal semacam itu? Apa tidak ada cara lain?” “Aku juga tidak suka buang-buang uang, tapi anggap saja sebagai investasi. Tempat syuting itu memiliki lingkungan yang miskin, kalau mereka protes dengan acara syuting nanti, jadwalku bisa kacau jadinya.” “Benar, juga. Baiklah. Aku pikir kamu buang-buang uang karena sudah jadi seorang filantropi yang menyayangi anak-anak. Kamu sampai membeli ayam untuk mereka segala.” “Huh!” Arkan mendengus geli, “aku tidak bekerja keras dan buang-buang uang untuk kebahagiaan orang lain. Mau uang, ya, kerja. Aku benci orang yang pemalas.” “Ternyata kamu masih tidak suka anak-anak, ya? Aku hampir terharu saat itu, ternyata hanya akting semata. Lalu, kalau untukku?” suara Lisa terdengar merajuk sedih dan manja. “Kalau kamu tentu saja beda, sayang.” Suara derit kasur kembali terdengar. Casilda langsung mematikan ponselnya. Tubuh perempuan ini gemetar hebat. Apakah dia terlalu optimis? Tidak tahu kalau yang akan mengangkatnya adalah tunangan pria itu, dan dia mau apa? Pinjam 500 juta kepada pria yang berbicara kejam seperti tadi? Apakah Arkan mau meminjamkan uang sebanyak itu walau dia mengemis padanya? Keragu-raguan tiba-tiba menghinggapi hati wanita ini. Seluruh tenaga Casilda seolah disedot habis keluar tubuhnya, muka sudah mau menangis, tapi dia tidak punya pilihan lagi. Sepulang kerja, mau bagaimanapun harus bisa menemui Arkan!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD