Bab 33 Ucapkan Kata Ajaib Itu 1

1165 Words
Arkan melepas gamitan lengan Lisa, kening ditautkan tak suka. Sejak dirinya keluar dari kamar mandi, hatinya merasa tidak nyaman dengan kehadiran perempuan bergaun peach selutut itu yang muncul tiba-tiba. Wanita itu memang tunangannya, tapi entah sejak kapan hatinya mulai merasakan hal yang membuatnya tidak suka. Jika bukan karena status di antara mereka berdua, dan karena sikap semena-menanya pergi meninggalkan panti asuhan, mungkin dia tidak harus bercakap-cakap mesra seperti ini hanya untuk membuatnya merasa aman dan tidak bertingkah protektif. “Ayo! Jangan menolak terus! Aku akan keringkan rambutmu, pria tampan,” bujuk Lisa bangkit dari kasur, berlutut di sana dan meraih puncak kepala Arkan yang duduk di dekatnya. Suara kasur berderit keras dengan gerakan cepat dan kuat penuh semangat itu. Wanita ini terlihat sangat bahagia, muka merona kecil. “Kamu jadi aneh sejak kemarin,” balas Arkan pendek, menolak sapuan handuk di kepalanya dengan gaya elegan, menarik handuk itu dan menggosoknya sendiri pada rambutnya. “Kamu bicara apa? Aku jadi lebih romantis dan manis begini, kok, dibilang aneh?” Lisa tersenyum kecil, tampak manis. Kedua tangan memegang bahu sang pria yang ditutupi oleh jubah mandi berwarna putih bersih. “Sinikan rambutmu dulu, dari tadi ditarik duduk ke kasur malah seperti menolakku, kamu ini seperti takut padaku saja, tuan playboy. Memang aku akan menyerangmu?” kekehnya setengah merasa lucu. Mata Arkan menoleh sedikit ke belakang, merasa tidak enak hati. Dia mengabaikan perkataan Lisa. Arkan melirik pada baju Lisa yang terkena tumpahan air gelas yang diminumnya saat kaget menyadari kedatangannya dari arah kamar mandi, dan juga terkena percikan air dari rambut basahnya yang dihempas-hempaskan ke udara. Sama sekali tidak menduga jika perempuan itu berdiri tepat memblokir jalannya, dan muncul tiba-tiba di kamarnya tanpa pemberitahuan sama sekali. Alhasil, baju Lisa seperti terkena noda aneh di bagian dadanya. “Sudahlah. Di kamar sebelah ada beberapa baju wanita untuk keperluan syuting, mungkin tidak sesuai seleramu, tapi setidaknya bisa kamu pakai sementara waktu sebelum menggantinya nanti.” “Um? Kenapa? Tidak nyaman melihat tunanganmu sendiri jadi seksi begini karena ketumpahan air?” manjanya dengan nada merajuk kecil, menumpukan dagunya pada salah satu bahu Arkan. “Kalau kamu tahu, segera ganti baju.Tidak usah pedulikan rambut basahku, aku ingin merasa sedikit segar hari ini.” “Kenapa? Kita akan menjadi suami-istri, memang kamu tidak tertarik pada tubuhku ini, tuan playboy? Semua pria di negeri ini sangat memuja tubuhku, loh! Atau... sudah tidak bisa menahan diri?” ledeknya manja, kali ini memeluk leher sang pria. Dengan perasaan gelisah, Arkan melepas lengan sang wanita, segera bangkit dari duduknya. “Arkan.... Aku pikir kamu mandi lama karena ingin tebar pesona di sana? Tidakkah begitu?!” celutuk Lisa, sedikit menggodanya. Ada nada cemburu terselip dalam nada suaranya, ditangkap jelas oleh pria berjubah mandi tersebut. “Apa yang kamu bicarakan? Kamu ini terlalu banyak pikir, sayangku. Kita akan menghadiri fashion show, aku harus tampil maksimal meski hanya sebagai tamu undangan,” balas Arkan dengan ketidakrelaan di hatinya yang sejak tadi harus mengimbangi sikap sok romantis tunangannya. Dia tidak suka menyebut istilah ‘sayang’, tapi karena Lisa sejak semalam seolah bertingkah paranoid dan menempel padanya seperti takut dirinya akan mencari sembarang wanita begitu saja, dia jadi terpaksa sesekali berkata demikian. Sejak tadi, Arkan seperti tersiksa di tenggorokannya mengatakan itu, toh, dia tidak biasa menyebut istilah ‘sayang’ untuk Lisa selama ini. “Um. Benar juga, sih.” Lisa menyilangkan tangan di dadanya, berpikir serius dengan mulut dimajukan. Bertemu calon ayah mertuanya membuat Arkan sangat lelah hingga harus membuatnya berendam lama di kamar mandi agar isi pikirannya kembali stabil. Tunangannya itu mana mengerti posisinya sebagai lelaki yang harus menerima banyak tanggung jawab nantinya. Tuduhan Lisa tadi membuatnya tiba-tiba sedikit merasa kesal, tapi memilih untuk tidak diekspresikan. Arkan malas berdebat dengan sang tunangan. Sebisa mungkin dia tidak mau ada konflik di antara mereka berdua yang bisa membuat hubungan mereka menjadi tidak nyaman. Itu pasti akan sangat merepotkan jika terjadi. Wanita yang tidak mau dikalah adalah salah satu tipe yang tidak disukainya, sebaiknya dia tidak memancing Lisa bersikap seperti itu. Bisa-bisa mungkin dia akan mulai bersikap kasar padanya. “Semalam aku merasa sangat lelah, bicara dengan ayahmu sampai hampir tengah malam harus meladeninya, sangat menguras mental. Aku tidak suka membahas soal bisnis sama sekali,” jelasnya kemudian. Pria ini akhirnya meraih ponselnya setelah dari tadi Lisa mencegatnya, tangan memeriksa panggilan keluar, ada nomor aneh di sana. “Iya. Iya. Maaf, deh, kalau ayahku sangat suka menekanmu,” sosor Lisa dengan wajah manja manisnya. “Kamu tadi bilang kedai ayam krispi menelepon?” Perhatian Arkan tidak tertuju pada topik itu lagi, dengan sebelah tangan menyugar rambut hitamnya yang basah, pandangannya diluruskan pada Lisa. “Iya. Ada apa memangnya?” “Apa ada yang dikatakannya selain pesanan hari Jumat ini?” Kedua alis Lisa naik, seolah baru mengingat sesuatu. “Mereka juga bertanya soal sisa pembayarannya. Apa kamu ingin mentransfernya saja, atau menggabungnya dengan pesanan baru itu?” Sudut bibir Arkan tertarik kecil, dugaannya sepertinya tepat. Itu bukan nomor kedai ayam krispi yang disimpannya saat mengantar si gendut pulang. Jadi, besar kemungkinan ini adalah nomor pribadi wanita sialan itu. “Kenapa eskpresimu seperti itu?” Lisa keheranan. Ada kebahagiaan kecil aneh diguratan wajah pria di depannya, membuat hati Lisa sedikit merasa ganjil. “Apa? Ada apa dengan wajahku, sayang?” Arkan tersenyum lepas, membuat Lisa langsung deg-degan dan memerah mendapat perlakuan seperti itu. Dalam sekejab lupa dengan apa yang baru saja mengusiknya. “Ka-kamu berpakaianlah! Aku tunggu di bawah! Setelah itu, temani aku beli 1 set pakaian baru sebelum ke acara fashion show itu! Aku rasa kita tidak akan telat untuk mampir sejenak di butik langgananku!” Lisa buru-buru berjalan meninggalkan kamar Arkan, hatinya tidak kuat melihat senyum manis dan menawan pria tampan itu. Takutnya dia akan melakukan hal aneh seperti kemarin, tiba-tiba memeluknya seperti perempuan murahan tidak tahu diri yang selama ini mendekatinya. Arkan meliriknya sekilas, masih ada senyuman di wajahnya, tapi bukan karena reaksi Lisa sang tunangan yang terlihat salah tingkah hingga sangat manis dan menggemaskan, melainkan oleh hal lain. *** Sore hari akhirnya tiba. Casilda berdiri di depan pintu pagar mansion sang aktor. Wanita bertubuh berisi ini mendongakkan kepalanya menatap pagar besi tinggi di depan, merasa seolah terintimidasi meski hanya benda mati yang menjulang tinggi ke langit. “A-apa yang aku lakukan di sini? Kenapa aku tidak menelepon dulu?” gumamnya pada diri sendiri yang tiba-tiba menyadari kebodohannya, menyeret kakinya, lalu duduk berjongkok bersandar pada pagar tersebut, mulai memegangi kedua sisi kepalanya, wajah menggelap pucat seperti orang yang tengah depresi hebat. Napasnya terasa dingin oleh rasa takut yang menusuk tajam ke dadanya. Sudah tahu pria itu besar kemungkinan tidak akan meminjamkan uang, tapi malah tetap nekat datang ke tempat ini seperti pengemis rendahan bermuka tebal. Namun, mengingat jadwal operasi adiknya yang harus dipercepat, Casilda seperti sudah kehilangan akal sehat. Semua dilakukannya seperti isi kepalanya sudah kosong saja dan bergerak seperti robot demi tujuan 500 juta. “Ha-harus coba dulu...” gagap Casilda meraih ponsel dari saku, menatap ke layar yang terpampang nomor Arkan. Wajahnya memucat seperti bubur busuk, perut bergolak ingin muntah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD