Bab 34 Ucapkan Kata Ajaib Itu 2

1189 Words
Bertemu pria itu baginya sama saja seperti akan masuk ke dalam neraka. Pertama kali bertemu, dia dicekik. Kedua kali bertemu, dia dijadikan budaknya tanpa belas kasih. Lalu, ketiga kalinya apa? Casilda menelan saliva kuat-kuat. “Co-coba saja dulu. Bukankah dia suka pencitraan? A-ayo, Casilda! Berpikirlah! Pasti ada ide sesuatu untuk membujuknya!” Seiring dia berkata seperti itu pada diri sendiri untuk menyemangati hatinya yang melemah, dengan pikiran yang tiba-tiba kosong malah tanpa sengaja jempol jarinya menekan tombol panggilan di layar. “KYAAA!!! KEPENCET! KEPENCET! TOMBOLNYA KEPENCEEEET!!!” pekik Casilda dengan wajah menggelap panik, suara tercekik seperti ayam yang baru saja dipotong lehernya, kelabakan bukan main dengan mata melotot hebat. “Halo?” sapa suara merdu di seberang sana, tenang dan hati-hati, begitu elegan dan berkelas. Casilda menelan ludah berat, dengan hati-hati mendekatkan ponsel itu ke telinga, muka sudah seperti kehilangan darah. “Ha-halo?” balas Casilda takut-takut. “Siapa ini?” nada suara Arkan terdengar tidak suka. 'Ba-bagaimana ini? Aku harus bilang apa? Ta-tapi, kan, kalau minta uang pembayaranku juga tidak salah, kan?' batin Casilda, mulai memberanikan diri. Wajah penuh tekad. “I-ini saya, Casilda...” cicitnya dengan suara mengecil pelan, bibir gemetar. Hening. Ekspresi Casilda tidak karuan, bibir bawah digigit kuat-kuat, kening mengeryit hebat. “Oh, Casilda. Ada apa?” Jantung Casilda tertegun kaget, seolah akan melompat keluar! Pria itu terdengar santai dan begitu arogan. “A-anu... itu... sisa pembayarannya bagaimana?” Casilda memejamkan mata, entah kenapa dia merasa sangat bodoh saat ini. “Sisa pembayaran? Apa kamu sudah tidak sabar? Bukankah tadi kalian menelepon katanya boleh aku satukan saja dengan sisa pembayaran lainnya?” Hati Casilda gemetar takut, nada suara pria itu sedikit terdengar marah. “Tu-tuan Arkan...” “Tuan Arkan?” ulang Arkan dengan nada sedikit keheranan. “I-iya. Tuan Arkan, bukan? Saya harus panggil apa kalau begitu? Arkan sang Top Star?” “Um. Tidak, panggil saja aku seperti tadi, Tuan Arkan sepertinya terdengar lebih menarik.” 'Dasar orang kaya!' maki Casilda, membatin dengan perasaan kesal dengan sikap sombong sang aktor. Sebenarnya tidak rela memperlakukannya bak orang terhormat seperti itu, karena dia tahu pria itu sifatnya seperti iblis, kejam dan tidak berperasaan! Tidak sudi menaruh hormat pada orang seperti itu! Namun, dia harus menahannya, mulutnya harus manis agar bisa mendapatkan simpati pria itu. 500 juta. Demi 500 juta! “Tuan Arkan, apa bisa saya mendapatkan uangnya hari ini?” Hening kembali. “Baiklah. Datang ke mansionku malam ini.” “SAYA SUDAH DI DEPAN PAGAR ANDA!” seru Casilda cepat, tidak sadar nada suaranya terdengar sangat antusias. Hening untuk kesekian kalinya. “Aku tidak menyangka kamu ini sangat matre dan gila uang,” ledeknya dengan nada menghina. Casilda merengut kesal, wajah gelisah, hanya bisa memeluk lututnya menahan hinaan itu. Duduk terpuruk di depan pagar seperti pengemis yang kelaparan. “Iya. Saya ini memang matre dan gila uang karena bukan orang kaya seperti Anda, Tuan Arkan,” ucap Casilda pelan dengan hati teriris, mengatakan itu seperti mengoyak dirinya jadi jutaan keping. Dia tidak suka dicap seperti itu, tapi apa boleh buat saat ini. Rasanya ingin menangis saja! “Hahaha! Setelah jatuh miskin, kamu kini menilai uang jadi serendah itu? Sungguh menyedihkan!” Suara itu dingin dan tajam, seolah menusuk gendang telinganya, meski suara pria itu terdengar merdu dan seksi. Perasaan Casilda menciut. Baru saja meneleponnya, tapi sudah dihina begini. Kalau bertemu secara langsung lagi, bagaimana? “Tuan Arkan!” seru Casilda tiba-tiba, berusaha mengabaikan pikiran buruk dan membuang harga dirinya, mencegah pria itu membuka mulut duluan. “Ya? Ada apa? Kenapa tiba-tiba berteriak?” Arkan terdengar sedikit tersinggung, tapi diabaikan oleh Casilda. “Itu.... saya ingin membicarakan sesuatu dengan, Tuan Arkan.” “Membicarakan sesuatu?” “I-iya. Sebenarnya, selain sisa pembayaran itu, saya ingin membahas sesuatu dengan Anda.” “Aku sama sekali tidak tertarik padamu. Gendut dan jelek, tidak memenuhi kriteriaku,” tolak Arkan dengan cepat dan singkat. Heeeeeh??? Casilda melongo seperti orang bodoh mendengarnya, terdiam untuk beberapa saat. Masih tidak percaya dengan ucapan super kepedean pria itu. “Kamu ingin menyatakan suka padaku, kan? Kamu ini baru didekati saja sudah berpikir yang tidak-tidak. Apa karena aku dulu menyukaimu, makanya merasa berani mendekatiku? Juga setelah tahu aku ini punya banyak uang, mau menempel padaku seperti lintah?” Casilda merasa mendengar suara ‘JLEB!’ di hatinya. Sakit sekali! Air mata wanita ini menetes dengan cepat. Itu sungguh kejam! Dia tidak ada pikiran semacam itu padanya! Kenapa orang-orang suka menghinanya seperti perempuan penggoda yang menyedihkan? Sayangnya, demi meminjam uang untuk adiknya, kali ini Casilda menahan semuanya dan berusaha bersikap sangat sopan. Dengan air mata masih menuruni wajahnya bagaikan mutiara yang putus, Casilda terkekeh kecil seperti orang bodoh. “Tuan Arkan bisa saja. Sayang sekali, bukan itu maksud saya.” “Oh, ya?” sindirnya tajam. Dadanya memanas, ingin segera memakinya, tapi kepalannya yang menguat menjadi satu-satunya pengalihan Casilda saat ini agar tidak meledak. “Iya. Saya tidak ada maksud mendekati Tuan Arkan seperti wanita-wanita yang selalu mendekati Anda selama ini. Tapi, masalah uang, Anda benar. Saya ingin membahas mengenai hal itu.” Lagi-lagi hening. “Ha-halo?” sahut Casilda pelan, takut ditutup begitu saja panggilannya karena sudah berkata jujur, dan menyebut topik sensitif itu. “Uang?” Casilda dengan cepat bereaksi mendengar suara Arkan. “I-IYA! Uang! Saya akan menunggu Anda sampai pulang nanti, dan membahasnya secara detail. Apa boleh?” Arkan sedikit berlama-lama diam, baru membalasnya. “Apa ini bukan mengenai sisa pembayaranmu?” “BUKAN! Bukan masalah itu!” Casilda setengah berteriak, wajah sudah penuh harap. “Apa tidak bisa lewat telepon saja?” tanyanya ragu. “Tidak bisa! Harus bertemu baru bisa membahasnya!” “Um. Baiklah. Aku tidak tahu apa maksud dan tujuanmu untuk bertemu denganku, tapi tentunya kamu tahu tata krama jika menginginkan sesuatu, kan?” “Ya?” Casilda terbodoh mendengarnya, begitu lugu dan murni. “Kata-kata ajaib itu. Apa kamu tidak pernah dididik oleh kedua orang tuamu selama ini semenjak jatuh miskin?” nada itu terdengar menekan dan menghina. Hati Casilda gemetar, ingin marah, benar-benar ingin marah mendengarnya! Tapi, dia hanya bisa menggigit bibir bawah, mata sudah berkaca-kaca menahan kata-kata merendahkan pria itu sejak tadi. “Cepat. Mana kata-kata ajaib itu? Kamu pasti tahu maksudku, kan? Apa kamu masih punya otak?” sarkasnya dengan nada dingin, pelan dan begitu tenang bagaikan air yang mengalir di pegunungan. Sedikit terdengar masa bodoh dan cuek. Hati Casilda mendingin hebat, menelan salivanya, gugup dengan keringat gelisah. “To-tolong, Tuan Arkan! Apakah Anda bersedia meluangkan waktu untuk bertemu dan membahas sesuatu dengan saya hari ini? Ini sangat penting, saya mohon dengan sangat pada Anda, Tuan Arkan!” Lelaki di seberang telepon mendengus geli. “Kamu benar-benar terdengar seperti pengemis sekarang. Sungguh lucu.” Arkan tertawa meledeknya, renyah dan enak didengar, tapi membuat lawan bicaranya meringis gelap di seberang sana. ”Baiklah. Aku bersedia, toh, aku juga akan memberimu sisa pembayarannya, bukan?” “Te-terima kasih, Tuan Arkan!” balas Casilda cepat-cepat, wajah sudah memerah oleh rasa antusias, melupakan semua hal buruk yang diterimanya. Sambungan telepon itu tiba-tiba putus. Casilda melongo hebat, entah karena tidak percaya akan segera bertemu Arkan atau karena teleponnya dimatikan dengan aura sombong yang sangat terasa kuat dari pria itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD