Bab 35 Dipermainkan dengan Kejamnya 1

1132 Words
Casilda sudah menunggu beberapa jam sejak menelepon Arkan sang Top Star. Tapi, sampai sekarang batang hidungnya sama sekali tidak terlihat. Dirinya bahkan berdiam diri di depan pagar sampai melewatkan kewajiban 5 waktunya, semuanya hanya demi menunggu kedatangan pria itu saja. Sudah duduk, lalu berdiri, lalu duduk lagi, begitu terus yang perempuan berkepang satu ini lakukan dalam keadaan gelisah dan resah. Sesekali dia berjalan mondar-mandir di depan pagar hanya untuk sekedar meringankan hatinya dan melemaskan otot-otot kakinya yang kaku. “Kenapa dia belum pulang juga, ya?” gumam Casilda cemas, menggigit bibir bawah menatap jalanan beraspal yang luas di perumahan mewah itu. Untung saja di sana adalah perumahan mewah, hingga hanya sedikit orang yang kelihatan di luar rumah. Benar-benar sepi. Setidaknya, tidak ada yang akan mencurigainya sebagai orang aneh di depan rumah seorang aktor. Takutnya dia malah akan dicap sebagai stalker seperti tuduhan pria arogan itu. Helaan napasnya berat. Apakah Arkan lupa dengan perkataannya? Ataukah dia masih sibuk dengan jadwal padatnya? “Aduh! Dasar Casilda bodoh! Harusnya tadi tanya dia pulang jam berapa?!” makinya pada diri sendiri, tangan kanan memukul-mukul kepalanya dengan perasaan kesal. Menit demi menit berlalu, Arkan masih belum juga terlihat pulang ke mansionnya. Ini membuat Casilda mulai berpikir buruk. Teleponnya juga tidak diangkat, nada sibuk terus berbunyi. Apakah aktor playboy itu sedang mengerjainya? Menyadari ada kemungkinan hal itu, Casilda terpuruk duduk di pagar seperti orang bodoh, wajahnya sudah seperti orang yang kehilangan rohnya. “Aku dikerjai... sungguh tega...” isaknya dengan wajah pasrah yang berantakan, kepala mendongak menatap langit malam. Hawa dingin yang sejak tadi berusaha ditahannya, kini perlahan meruntuhkan pertahanan Casilda. Sungguh dingin yang menusuk tulang! Ratu Casilda Wijaya mulai menggigil, memeluk kedua bahunya dengan erat, kedua tangan dan kakinya sudah beku, terasa sangat kebas. Dia tidak punya mobil untuk merasakan sedikit kehangatan. Selama ini, hanya mobil kedai itu yang selalu dipakainya seolah-olah sudah milik sendiri untuk dibawa ke mana-mana. Karena ini sudah di luar jam kerja, dan dia berniat punya urusan pribadi, mustahil bisa meminjamnya dari Bu Hamidah. Wanita tua itu sangat perhitungan meski gajinya diberikan dengan baik selama bekerja padanya. Dia juga tidak menyangka jika akan menghadapi kejadian seperti saat ini. Sama sekali tidak membawa jaket, hanya mengandalkan kaos merah muda sebatas siku saja. Untungnya sedikit tebal dan nyaman, hingga cukup menghangatkan sebagian besar tubuhnya. Wajah Casilda sudah terasa dingin, bahkan puncak hidungnya bagaikan es, dan mulai terasa berair. Casilda terisak, kali ini bukan karena air mata, melainkan gara-gara hawa dingin yang menyerang tubuhnya. 1 jam akhirnya berlalu, Casilda tanpa sadar tertidur di depan pagar mansion pria itu. Suara klakson dan sorot cahaya lampu mobil mengarah padanya, membuat Casilda terkaget dari tidurnya. Kedua matanya dibuka perlahan, masih kabur khas orang bangun tidur. Suara klakson kembali terdengar beberapa kali, memekakkan telinga dan terdengar marah. Casilda baru saja bangun, dan tubuhnya menggigil oleh angin malam, masih berusaha memproses kejadian saat ini. Isi kepalanya berat. Sejak di kedai tadi, tubuhnya sepertinya sudah menahan beban terlalu banyak, dan kini sudah di luar kuasanya. Kedua pipi Casilda memerah kecil, membuat wajah beku itu terlihat menarik tapi itu bukan tanda-tanda karena merasa tersipu malu atau memiliki rona hidup, melainkan karena kini selain merasa dingin, Casilda juga merasa mulai gerah oleh panas yang mulai muncul dari dalam tubuhnya. Mengedipkan mata cepat untuk menarik kesadarannya dari perasaan lemah dan mengantuk itu, Casilda berusaha berdiri dengan menopang tubuhnya pada pagar di belakang. “Oh, Casilda?! Maaf, ya, aku lupa!” Arkan muncul dari balik jendela mobil, tersenyum sangat jahat. Ada ‘nyut’ di hati perempuan berkepang satu ini, jelas-jelas pria itu sengaja melakukannya! Benar, kan? Dia mengerjainya! Sungguh tega! Ingin marah dan berteriak kesal, tapi Casilda tidak punya tenaga sama sekali. Selain itu, dia harus menjaga suasana hati Arkan agar mau meminjamkan uang sebanyak 500 juta untuknya. Casilda tersenyum sembari menggeleng kecil, suaranya dipaksa bersemangat hingga seperti orang bodoh, “tidak apa-apa! Saya tidak masalah, Tuan Arkan!” Suara Casilda sebenarnya sedikit gugup dan aneh, tapi karena dia tidak ingin terlihat lemah dan dicap berusaha menarik simpati sang aktor, Casilda menguatkan diri. Arkan mendengus dingin penuh cemoohan di wajah tampannya, mata dinginnya terlihat puas sudah mengerjai Casilda. “Ka-kalau begitu, apakah saya sudah bisa bicara dengan Anda, Tuan Arkan?” Casilda berlari cepat ke arah jendela mobil, memohon dengan mata berbinar hebat. Reaksi Arkan sangat cuek, matanya menatap dingin dan sangat merendahkan pada sosok Casilda seperti pengemis di lampu merah. Pria ini tidak segera membalas pertanyaan Casilda, malah sibuk memeriksa jam tangannya. Raut wajah pria ini seolah-olah menyayangkan sesuatu, wajah ditekuk meringis dibuat-buat. “Bagaimana, ya? Sayang sekali, ini sudah hampir tengah malam. Aku sangat capek, tidak bisa menerima tamu di saat seperti ini.” Casilda mengerjap sedih dengan hati tertusuk. Syok luar biasa! Belum puas mempermainkannya, rupanya dia ada niat lain lagi?! Dalam hati, perempuan berkacamata tebal ini, hatinya seolah sudah berdarah bagaikan dialiri oleh lava panas, sakit dan perih, turun hingga ke perut, membuat perutnya mengejan hebat oleh kesedihan dan kekecewaan menggulung akal sehatnya. Raut wajah Casilda berubah. Meski tahu tengah dipermainkan, dia tidak mau menyerah sedikit pun. “O-oooh.... Tuan Arkan benar,” Casilda tertawa malu-malu kecil seperti orang bodoh, salah tingkah sembari dengan canggung memperbaiki rambut bagian depannya, “ini sudah larut malam, ya? Kalau begitu, apa boleh, saya datang besok saja untuk membahasnya? Hanya sebentar, kok, saya janji!” Casilda berusaha menawar, tapi melihat tatapan sulit ditebak Arkan, membuatnya yang sudah panas dingin oleh demam yang melanda tubuhnya, tidak tahu harus bereaksi apa lagi. “Tu-tuan Arkan?” sahut Casilda takut-takut, mengonfirmasi pada pria di dalam mobil yang terlihat hangat dan nyaman itu. Sekelebat di dalam hati perempuan ini ingin langsung masuk ke dalam mobil mahal itu hanya untuk tidur 5 menit saja. Pasti sangat terasa enak! Wajah Casilda menggelap suram, memelas melihat sikap cuek Arkan. “Apa kamu tidak bisa menunggu sampai hari Jumat saja? Jadwalku sangat padat esok harinya, tidak yakin bisa bertemu denganmu. Sayang sekali, ya? Apa harus aku yang kamu temui?” jelasnya dengan nada dingin dan wajah dihiasi oleh seringai licik, dagu diangkat sedikit. Mata seksi Arkan menatap dengan tatapan rendah begitu arogan pada sosok di depan pintu mobilnya itu. Ada kepuasaan batin tersendiri membuat Casilda seperti orang yang mengejar-ngejarnya seolah hidup-matinya bergantung padanya. “S-saya... i-itu... sebenarnya...” Casilda salah tingkah hebat, kepalanya naik-turun, satu tangan canggung berusaha menutupi wajahnya karena malu, tidak tahu harus berkata apa karena baru menyadari dirinya sedang dihina secara halus, tapi begitu menusuk, membuatnya seperti orang menyedihkan yang tengah mengemis. Persis lintah yang diucapkannya di telepon. “Kita bicarakan saja hari Jumat ini. Aku lelah dan mengantuk,” kata Arkan dengan nada malas, langsung menjalankan mobil lagi hingga pintu gerbang terbuka otomatis. Casilda panik, berusaha mengejarnya. Setidaknya, dia harus yakin dulu Arkan serius mau berbicara empat mata dengannya, baru dia akan merasa sedikit lega. “Tu-tunggu! Tuan Arkan!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD