Arkan Quinn Ezra Yamazaki menggertakkan gigi marah melihat layar ponsel. Kemarahan dan rasa curiga membara di kedua bola matanya bagaikan bola api panas.
“Berengsek! Dia bersama siapa sekarang?” geramnya kepada diri sendiri.
Tidak perlu waktu lama untuk menyelidiki hal itu, Arkan segera menelepon Renata untuk memastikan salah satu kecurigaannya.
“Apa? Julian? Dia sedang sibuk latihan saat ini. Kenapa? Apa kalian bertengkar lagi? Tidak bosan, ya, kalian berdua itu—”
Belum selesai Renata membalas pertanyaan sang aktor, telepon langsung ditutup begitu saja. Renata sampai terbodoh mendapati tingkah aneh salah satu talent-nya.
“Ada apa ini? Kenapa lagi dengan mereka berdua?” gumam Renata bingung.
Di sisi lain, Arkan berjalan hilir mudik di dalam kamar hotel. Otaknya seperti akan meledak begitu saja memikirkan ada kemungkinan Casilda sedang bersama investor baru mereka, Ethan Aldemir Raiden.
“Kurang ajar! Apakah dia sudah merencanakan semua ini? Dia berbohong kepadaku soal ingin jalan-jalan sendirian menjernihkan pikiran? Apa dia pergi bertemu dengan pria aneh itu? Berani sekali menipuku!” gerutunya dengan hati panas tidak karuan, dadanya naik turun membayangkan banyak hal yang berkembang liar usai mengingat Ethan mencium pipi Casilda di lorong restoran beberapa saat lalu.
“Kak Arkan sedang apa? Kenapa belum menyentuh makanannya juga?”
Garvin tiba-tiba muncul dari pintu hotel, sibuk mendorong sekeranjang hadiah dari penggemar Arkan yang datang mengikutinya secara khusus.
“Kita pulang ke Jakarta sekarang juga. Segera bersiap,” titah Arkan dingin, raut wajahnya gelap dan sangat suram, berjalan ke arah tempat tidur sambil membuka pakaian yang baru saja dikenakannya setelah selesai melakukan pemotretan beberapa menit lalu.
Garvin tertegun linglung, menatapnya dengan wajah kaget. “Apa? Pulang sekarang? Maksudnya detik ini juga?!”
Arkan sibuk membereskan beberapa barang dan mulai mengepaknya ke dalam koper.
“Tentu saja sekarang! Kamu pikir kapan lagi?!” semburnya cepat, tampak mata iblis khasnya yang saat sedang marah terpancar begitu jelas.
Sekujur tubuh Garvin gemetar hebat. Siapa yang baru saja membuatnya marah seperti itu?
“Ta-tapi, Kak Arkan, kamu baru saja selesai melakukan pemotretan marathon. Tidak capek, ya? Makananmu juga belum disentuh sama sekali. Ada apa? Apakah ada keadaan darurat?”
“Garvin, sejak kapan kamu banyak tanya seperti itu? Cepat bereskan yang lain dan segera berangkat!”
“Tapi, Kak Arkan, ini sudah sangat malam. Apa tidak sebaiknya besok saja kita berangkat pagi-pagi? Aku takutnya kegiatan berat hari ini membuatku kesulitan mengemudikan mobil. Kalau terjadi kecelakaan bagaimana?”
Garvin salah tingkah hebat, tidak tahu bagaimana menghadapi keinginan tidak masuk akal bosnya itu.
Sejak pagi, mereka sudah melakukan beberapa pemotretan di berbagai tempat, dan Garvin juga terpaksa harus turun tangan agar semuanya berjalan lancar tanpa masalah. Sekarang, dia malah menyuruhnya mengemudi kurang lebih 3 jam di malam hari?
Apakah dia masih punya hati nurani?
Kemarahan di hati Arkan sama sekali tidak dipahami oleh pria muda tersebut, bahkan sudah membuat otak sang aktor mendidih luar biasa, kehilangan nafsu makan, dan membuatnya tidak bisa berpikir jernih sebelum melihat Casilda di depan matanya sendiri. Jelas hal semacam kelelahan tidak akan menghentikannya untuk mendapatkan apa yang dia inginkan.
“Kalau tidak mau melakukannya, cepat berikan kuncinya padaku!” desak Arkan tidak sabaran, sudah berganti pakaian dengan cepat sambil menarik kasar koper miliknya. Satu tangan terulur ke depan untuk menerima kunci dari sang asisten.
“Kak Arkan? Kak Arkan serius? Bagaimana bisa kakak mengemudi sendirian dengan tubuh seperti itu? Tidak bisa! Kalau sampai terjadi kecelakaan, manager Renata pasti akan membunuhku!” tolak Garvin cepat, mundur sembari menghalangi pintu kamar, berniat mencegahnya pergi.
Wajah Arkan berubah gelap, sangat dingin seperti dilapisi es.
“Apa yang kamu lakukan?” desisnya penuh ancaman.
Garvin menggelengkan kepala pucat, merapatkan bibir erat-erat.
“Cepat serahkan kunci mobilnya sekarang juga!” bentak Arkan murka, nadi di pelipisnya menonjol semua.
“Tidak bisa! Aku tidak bisa membiarkannya! Apa Kak Arkan sudah gila? Berikan aku satu alasan yang masuk akal agar bisa menyetujuinya! Kalau tidak, aku tidak akan membiarkan kenekatan ini terjadi!”
Garvin tidak habis pikir.
Mereka berdua jelas sangat kelelahan dengan pemotretan hari ini. Dia saja yang bukan tokoh utama dalam kepentingan itu sudah lelah sekali dan merasa seluruh tulangnya mau rontok. Bagaimana dengan Arkan sendiri?
Sekalipun Arkan selalu memiliki jadwal padat sebagai seorang aktor dan model, tetap saja kegiatan yang dipaksa untuk diselesaikan hanya dalam sehari akan menguras banyak energi dan mental. Dia masihlah manusia biasa, bukan robot. Sekarang, malah ingin melakukan hal yang nekat dan berbahaya? Otaknya kemasukan apa saat pemotretan di kolam renang tadi?
Aura Arkan semakin dingin dan gelap, pandangannya menurun seiring kemarahan hebat tertahan di kedua bola matanya.
“Garvin, kamu ingin mengujiku?”
Kalimat sederhana dan ringan itu membuat bulu kuduk Garvin merinding, tubuhnya menciut di pintu, dan tidak tahu harus berkata.
Perlu diingat kalau temperamen Arkan sangat tidak bagus jika sedang marah dan tidak senang akan sesuatu. Di saat berdua seperti ini menghadapinya secara langsung, membuat Garvin merasa nyawanya akan melayang ke surga hanya dalam sedetik.
Karena intimidasi dan aura mengerikan dari sang aktor, Garvin akhirnya menyerah. Mau tidak mau, dia terpaksa melakukan apa yang diperintahkannya itu dengan syarat yang diajukan olehnya.
Selama perjalanan, keduanya sepakat untuk saling bergantian mengemudi agar menghindari kecelakaan. Asisten muda itu juga menyarankan Arkan untuk istirahat lebih dulu dan menikmati makanan yang belum disentuhnya sama sekali.
Selama satu jam pertama, yang mengemudi adalah Garvin, sementara di kursi belakang adalah Arkan yang sibuk berbicara dengan seseorang di telepon usai memakan separuh makanannya yang sudah dingin.
Entah apa yang Arkan bahas dengan orang di telepon, tapi cukup membuat sang asisten muda penasaran dan merasa itu adalah sebuah kegiatan misterius yang sangat penting.
‘Heran. Apa yang membuatnya bertingkah tidak masuk akal begitu? Semula, dia ingin pemotretan yang seharusnya berlangsung selama 2 hari dipaksa selesai kurang dari 24 jam. Sekarang, malah terburu-buru ingin kembali ke Jakarta. Apakah ada masalah keluarga? Ataukah ada kaitannya dengan Lisa?’ batin Garvin yang sibuk mengemudi sambil sesekali melirik Arkan melalui kaca spion depan.
Suara Arkan terdengar sangat serius dan tampak gusar, begitu jelas akan meledak marah kapan saja, tapi sepertinya ditahan sebisa mungkin.
“Apa? Kamu yakin? Kalau begitu kirimkan semua foto dan videonya sekarang juga,” titah Arkan dingin, raut wajahnya sangat jelek seperti ingin membunuh orang.
Selesai berkata demikian, sambungan telepon diputus, dan beberapa menit kemudian, di layar tablet ukuran sedang, Arkan menggertakkan gigi marah menonton beberapa rekaman CCTV yang memperlihatkan interaksi antara Casilda dan Ethan sepanjang hari ini. Sangat akrab dan seolah-olah adegan itu adalah pasangan yang sedang kencan romantis di akhir pekan.
‘Wanita ini! Beraninya berselingkuh di belakangku!’ geram Arkan membatin sangat marah, penuh kecemburuan di hatinya. Mata sudah memerah hingga urat-uratnya terlihat mengerikan. Napasnya menjadi dingin seolah sanggup membuat Casilda mati beku karenanya. Raut wajahnya menggelap sangat buruk dan menakutkan.
Garvin yang merasakan perubahan suhu di dalam mobil seketika bergidik ngeri menyadari ada yang tidak beres dengan kemarahan sang aktor. Apa pun itu, jelas bukanlah hal baik. Di dalam hatinya, dia bersyukur tidak menjadi sasaran pelampiasan amarah Arkan seperti apa yang sering dilakukannya selama ini kepada orang-orang di sekitarnya.
“Kenapa kamu mengemudi lambat sekali? Tambah kecepatannya! Apa kamu kura-kura berusia 100 tahun?!” raung Arkan bagaikan singa yang marah.
“Ini sudah cepat, Kak Arkan! 90 km per jam sudah bikin kita berada di ambang pintu kematian! Kalau lebih dari itu, kita mungkin benar-benar akan langsung naik ke langit lapis tujuh!” balas Garvin cepat, panik menjawab permintaan tidak masuk akalnya itu.
Sebagai seorang superstar dan bintang nomor satu di perusahaan mereka, jelas keselamatan Arkan adalah nomor satu di atas segalanya. Bagaimana mungkin Garvin berani membahayakan sumber uang mereka yang sangat berharga itu?
Julukan Top Star dan Superstar yang disandangkan oleh Arkan jelas bukanlah hal yang bisa dianggap remeh. Dalam sebulan, pendapatan normal Arkan bisa membuat perusahaan hidup makmur dibandingkan mendidik beberapa talent kelas menengah.
Terlebih lagi, dia adalah putra tunggal dari keluarga Yamazaki yang sangat berpengaruh di dunia entertainment. Membuatnya terluka sedikit saja sama saja mengakhiri karir Garvin dalam sekejab mata! Dia bisa masuk ke dalam daftar hitam jika berani berbuat kesalahan fatal seperti itu!
“Hentikan mobilnya, aku yang akan mengemudi sekarang!” titah Arkan tidak sabaran, tampaknya sekujur tubuhnya sedang dialiri oleh hawa panas dari neraka.
Garvin seketika gemetar ketakutan, melirik gugup ke kaca spion.
“Ada apa dengan kakak? Bukankah kita sepakat mengemudi setiap 90 menit sekali? Masih ada 30 menit untuk berganti tempat, sebaiknya kakak tidur saja dulu, ya?” bujuknya dengan keringat dingin menghiasi wajahnya.
Gawat kalau sampai memberikannya kemudi dengan keadaan seperti itu. Jika bisa menebak, maka Arkan pasti akan mengebut gila-gilaan seperti orang kesurupan parah.
“Kamu masih mau berdebat denganku?” tanya Arkan dengan suara rendah, semakin dingin dan tajam.
“Kak Arkan, kalau mengemudi terlalu cepat, kita juga bisa kena tilang. Kakak mau berurusan dengan polisi dan masuk berita gosip lagi?” jelas Garvin dengan wajah panik yang mulai naik satu level, berusah tetap fokus mengemudi dengan kecepatan stabil.
“Aku bilang aku yang akan mengemudi sekarang. Kamu masih tidak memahami ucapanku, hah?” sinis Arkan dengan raut wajah sudah seperti iblis di kaca spion depan.
Keringat dingin mengucur deras di wajah Garvin, dan dalam hitungan detik, mobil itu segera berhenti di pinggir jalan.
“Kak Arkan... kita tidak boleh berhenti di sini, loh...” ungkap Garvin dengan wajah ingin menangis, segera memikirkan ada berapa banyak pelanggaran yang harus diurusnya nanti gara-gara sikap gila aktornya.
“Berisik! Apa gunanya uang di dunia ini?”
Arkan yang sudah duduk di kursi pengemudi tersenyum menyeringai lebar dengan mata berkilat tajam ke arah depan. Di benaknya, dia sudah membayangkan bagaimana akan memberi pelajaran kepada istri nakalnya di rumah.
Garvin langsung saja memejamkan mata takut, berpegangan kuat di kursi begitu Arkan langsung mengemudikan mobil dengan kecepatan di atas 110 km per jam!
Apakah tidak ada yang pernah mengingatkan aktor playboy itu kalau manusia hanya punya satu nyawa?! Ini benar-benar hari yang gila!