Bab 173 Bertengkar di Telepon

2101 Words
“Terima kasih sudah mengajak saya datang ke pertunjukan ini, Presdir Ethan. Apalagi bisa bertemu dengan mereka berdua. Saya sungguh merasa beruntung,” terang Casilda dengan wajah cerah ketika baru saja selesai bertemu pianis dan penari balet yang telah menyelesaikan pertunjukan. “Sama-sama. Ini hanya hal kecil.” Ethan tersenyum lembut melihat Casilda yang sedang menatap layar ponsel miliknya, sangat senang melihat foto-foto mereka berempat beberapa saat lalu. “Aku senang kamu tidak tertidur selama pertunjukan berlangsung. Tidak semua orang bisa bertahan sampai akhir. Sepertinya kamu benar-benar menyukai pianis dan penari itu.” Casilda tersenyum kikuk, mengangguk pelan. Sebenarnya, dia telah bertemu kedua orang itu beberapa tahun silam. Tapi, dengan perubahan bentuk tubuhnya sekarang dan pipi bakpaonya yang sangat khas, jelas sulit membuat orang-orang untuk mengenalinya setelah sekian lama berlalu. Belum lagi hanya pernah sekali bertemu. “Permainan Tuan Logan memang sangat luar biasa sejak dulu. Semakin umur bertambah, dia semakin cakap dalam bermain. Bagaimana saya tidak akan serius mendengarkannya?” “Apakah kamu pernah bercita-cita menjadi pianis atau penari balet? Bisa bermain piano atau suka menari?” tanya Ethan dengan sengaja. Sejujurnya, Ethan sedikit ragu untuk mengajak Casilda ke pertunjukan itu karena merasa dia pasti sedih jika mengingat kesukaannya di masa lalu harus kandas di tengah jalan. Tapi, siapa sangka begitu memperlihatkan tiket tersebut, matanya langsung berbinar. Dia senang melihat hal yang disukainya tidak menjadi hal yang menusuk hatinya karena gagal meraihnya di masa lalu. Pertanyaan Ethan sedikit aneh dan sensitif untuknya. Sebelum keluarga Casilda bangkrut dan jatuh miskin, dia sempat berpikir untuk menekuni dunia balet secara serius. Setelah tamat SMA, dia berencana untuk masuk ke universitas khusus seni di luar negeri agar bisa mewujudkan impiannya. Seiring waktu berlalu, dia pun sadar kalau tidak semua apa yang kita inginkan bisa didapatkan dengan mudah, bahkan ada yang hilang di tengah jalan dan tidak akan bisa kembali. Sama seperti balet. Mengingat soal balet, Casilda jadi teringat dengan acara pesta topeng yang diadakan oleh Arkan untuk menghinanya. Bagaimana pria itu bisa tahu dia dulu pernah berlatih balet? Casilda sempat menyimpan pertanyaan ini cukup lama, dan kini kembali muncul di benaknya lagi. Apa dia harus menanyakannya nanti agar rasa penasarannya terpenuhi? “Casilda?” tegur Ethan pelan, membuyarkan lamunan Casilda yang tampak diam sejak tadi. “Y-ya, Presdir Ethan?” “Apakah ada yang menganggumu? Kenapa kamu terlihat tidak nyaman begitu?” Casilda menggeleng cepat. “Tidak ada apa-apa. Saya hanya mungkin sedikit lelah saja.” “Kalau begitu, waktunya tepat sekali, bukan?” balas Ethan dengan nada naik satu oktaf, mengecek jam tangannya dengan senyum lebar di wajah dinginnya yang tampan. “Bagaimana kalau kita makan malam bersama? Di sekitar sini ada restoran yang sangat terkenal dengan steak daging wagyu kualitas premium nomor satu. Aku yang traktir sebagai ucapan terima kasih hari ini.” “Hah? Ma-makan malam bersama?” gagap Casilda linglung. ‘Aneh. Kenapa Ethan bersikap seperti Ethan yang dulu, ya? Ataukah dia hanya bersikap baik begini karena aku adalah rekan bisnis pentingnya? Tapi, memangnya sepenting apa, sih, seorang manager biasa sepertiku?’ batin Casilda tak mengerti. Detik berikutnya, seolah terkejut dan tampak berpikir rumit, dia kembali membatin kepada diri sendiri. ‘Bodoh! Casilda, kamu adalah manager dari dua superstar di perusahaan agensi besar itu! Arkan dan Julian adalah tambang berlian mereka! Tentu saja kamu adalah rekan bisnis penting Ethan! Jangan pikirkan masa lalu! Yang terpenting saat ini adalah bagaimana cara agar bisa lepas dari jeratan playboy sialan itu! Hidup harus melihat ke depan! Jangan ke belakang! Lagi pula, Ethan tidak tahu siapa dirimu, kan? Berpura-pura tidak kenal adalah salah satu cara untuk bertahan hidup!’ “Casilda? Kamu sungguh baik-baik saja? Apa perlu kuantar ke rumah sakit?” tanya Ethan cemas, meraih kedua bahunya dengan sangat erat. Gelombang keterkejutan menghantam Casilda. Perhatian Ethan sekarang pun sama persis dengan perhatiannya ketika mereka belum ada konflik apa pun. Apakah dia sedang berhalusinasi? “Sa-saya baik-baik saja, Presdir Ethan. Mungkin hanya sedikit pusing saja karena terlalu lama berada di luar,” elak Casilda seraya terkekeh sembarangan. “Apa imunitasmu sangat buruk? Kamu sering cek kesehatan ke rumah sakit, kan?” tanya Ethan muram, menatap prihatin wanita berkepang satu di depannya. Casilda yang dikenalnya dulu adalah wanita sehat dengan tubuh langsing dan sangat ideal. Sekarang? Dipikir-pikir lagi, Ethan seketika khawatir dengan bentuk tubuhnya yang sedikit berisi itu. Walaupun dia tidak keberatan dengan fisik Casilda yang apa adanya, yang paling utama adalah kesehatannya. Mendengar pertanyaan Ethan, seketika saja membuat punggung Casilda membeku dingin. Untuk apa dia tanya-tanya soal kesehatannya? “Maaf, aku tidak bermaksud ikut campur. Tapi, kesehatan rekan bisnisku juga termasuk prioritasku. Kamu mengerti, kan?” ujar Ethan dengan sedikit berbohong dalam suaranya. “Oh, iya. Benar juga. Maaf, jika reaksi saya agak aneh.” Suara tawa elegan Ethan terdengar rendah dan menawan. “Kamu bicara apa? Sudahlah. Lagi pula, sekarang kita berteman, kan? Sudah sewajarnya jika aku mengkhawatirkanmu juga. Hari ini, aku akan maklumi sikapmu yang terlalu kaku. Ke depannya, bersikap dan berbicara santailah kepadaku.” “Ba-baiklah, Presdir Ethan,” balas Casilda gugup, mengerjapkan mata pelan. Setelah percakapan ringan, Ethan mengajak Casilda ke sebuah restoran steak yang diceritakannya beberapa saat lalu. “Wuah! Hebat! Dagingnya empuk sekali!” seru Casilda takjub, menatap daging yang ditusuknya di garpu. Senyum Ethan merekah indah, sangat senang melihat Casilda makan dengan lahap. “Makanlah yang banyak. Kamu bisa pesan lagi jika masih mau.” Keringat dingin menuruni pelipis Casilda, menatapnya linglung. Reaksi itu disambut dengan tawa lucu dari sang lawan bicara. “Jangan lihat aku seperti itu. Sebagai seorang pebisnis sudah sewajarnya aku membuat rekan bisnisku senang, bukan? Ingat, kita juga sudah berteman, Casilda. Aku berharap hubungan kita lebih baik lagi di masa depan. Tolong rawat aku dengan baik,” ujar Ethan dengan senyum dinginnya yang menggoda, mata tampak bersinar dengan cara yang sedikit aneh. Casilda menguyah dagingnya perlahan, terbodoh menatapnya dengan sorot mata semakin linglung. Dia serius? Apakah nama lengkapnya sama sekali tidak mengingatkannya dengan masa lalu mereka berdua sampai detik ini? Pria dingin dan kejam seperti Ethan, ternyata benar-benar mengerikan. Untung saja mereka sudah putus. Menghadapinya sekarang membuat bulu kuduk Casilda merinding entah kenapa. Tampaknya, kesan Casilda di masa lalu sebagai pacar tidak ada artinya sama sekali di mata pria itu. Bahkan namanya saja tidak berbekas di hatinya, kan? “Casilda?” tegur Ethan untuk kesekian kalinya, mengamati sang wanita yang setengah melamun dengan mulut penuh garpu dan potongan daging. “Ma-maaf, saya melamun lagi,” katanya tak enak hati, tertawa pelan dengan kepala ditundukkan cepat. “Apakah menurutmu kegiatan seharian ini bersamaku sangat aneh bagimu?” “Hah? A-apa maksudnya?” “Aku hanya tidak enak hati jika kamu masih memikirkannya sebagai kencan. Tapi, aku tidak keberatan sama sekali kalau memang bisa seperti itu.” Daging di tenggorokan Casilda segera tersangkut, membuatnya terbatuk hebat dan meraih gelasnya dengan terburu-buru. Ethan bergegas membantunya sebisa mungkin. “Aku mengejutkanmu, ya?” tanyanya gugup. Casilda menggeleng cepat, tertawa dengan wajah lega setelah daging yang tersangkut itu bisa turun ke tenggerokannya. “Tidak juga. Candaan Anda sungguh tidak biasa, Presdir Ethan. Saya mulai sedikit terbiasa, kok.” Ethan terdiam dengan senyum miris. “Begitu, ya? Syukurlah.” Nyatanya, Ethan mengatakan isi hatinya yang sebenarnya. Sayangnya, karena keseringan menutupi niatnya dengan alasan bercanda, kini Casilda mengira dia sedang main-main dengannya. Ponsel Casilda tiba-tiba berbunyi, membuatnya bisa mengambil waktu untuk menghindari Ethan selama beberapa saat. “Maaf, saya angkat telepon dulu,” ujar Casilda seraya menaikkan ponselnya yang berdering, bertujuan menunjukkan alasannya yang masuk akal agar bisa menghindari suasana yang agak canggung itu. Ethan mengangguk sambil tersenyum, matanya mengikuti kepergian wanita itu menuju ke arah salah satu balkon. Kemudian, dia sendiri melakukan panggilan telepon kepada Jimmy. “Apa-apaan tadi itu?” tanyanya muram, terdengar dingin dan sangat menusuk. Jimmy yang ada di seberang telepon segera memahami maksud ucapannya yang ambigu. “Maaf, Presdir Ethan. Pihak managemen pertunjukan piano benar-benar sama sekali tidak menyangka kalau wanita tua itu akan maju ke depan dan mengganggau kesenangan Anda." “Kamu bercanda? Aku tidak mengeluarkan uang banyak secara percuma, sementara hasilnya hanya membuatku kesal. Kamu tahu betapa mengganggunya wanita tua itu selama pertunjukan berlangsung? Aku sama sekali tidak bisa menikmati waktu berduaku dengan Casilda!” geramnya marah, aura dinginnya yang mematikan bahkan bisa terasa sampai ke lawan bicaranya di ujung sana. Jimmy membeku diam di tempatnya, tersenyum kikuk mendengar keluhan Ethan. Tidak ada kata-kata yang bisa keluar dari mulutnya. “Gajimu akan dipotong bulan ini. Paham?” tegas Ethan kesal, kening berkerut dalam dengan api panas memenuhi dadanya. Bagaimana dia tidak marah dan mengeluh seperti itu? Dengan sengaja, Ethan mengadakan pertunjukan tersebut khusus untuk Casilda hanya dalam waktu singkat. Bahkan dengan sedikit bantuan dari jaringan yang dia miliki, para penonton yang datang ke tempat itu sebenarnya adalah hasil manipulasi Ethan dengan berbagai cara. Entah dengan promo potongan harga, atau dengan undangan jalur khusus. Dia tidak ingin membuat Casilda merasa aneh, makanya mengatur banyak hal secara diam-diam agar terlihat alami. Tentu saja tidak masuk akal mengadakan pertunjukan piano dan balet dengan persiapan hanya dalam satu hari, bukan? Namun, demi mewujudkan keinginannya, uang senilai hampir 1 milyar habis dalam semalam hanya untuk mengatur pertunjukan dadakan tersebut. Ethan juga telah merancang tempat duduk di sana agar hanya dia dan Casilda yang ada di barisan paling depan. Sayangnya, semuanya malah hancur dalam sekejab mata. Kalau mau, dia bisa saja menyewa satu gedung, tapi itu pasti akan sangat mencurigakan, dan jelas akan mengungkap niatnya dengan mudah. Mau seperti apa pun Ethan menjelaskan kejadian di masa lalu, Casilda pasti tidak akan mau mendengarkannya. Jalan satu-satunya adalah mendekatinya seperti sekarang. Sementara Ethan masih mengomeli kinerja Jimmy yang dinilainya tidak becus, di sisi lain, Casilda keringat dingin melihat layar ponselnya menunjukkan nama yang ingin dia hindari. Kalau dia tidak segera menjawabnya, Casilda yakin pria itu akan dendam kesumat kepadanya dan menghukumnya dengan sadis, atau malah akan nekat pulang dari Bandung dalam hitungan jam hanya untuk bertengkar dengannya. “Halo?” sapa Casilda gugup. “Kamu di mana? Kenapa lama sekali baru mengangkat teleponku, hah?” balas Arkan jengkel, nadanya terdengar sangat gusar. “Maaf, aku sedang sibuk saat ini.” “Sibuk? Sibuk apa? Bukankah kamu sedang sakit perut? Apa kamu sedang menonton film-film itu lagi? Tidak perlu! Lain kali saja setelah kamu sembuh. Ken bilang apa kepadamu saat diperiksa kemarin? Dia tidak datang pagi ini mengecekmu?” “Oh, itu. Dia bilang aku hanya perlu banyak istirahat dan makan buah. Tidak perlu pemeriksaan kedua.” “Hanya itu? Dia tidak mengatakan hal yang lain?” “Hah? Hal lain? Memangnya dia mau mengatakan apa lagi?” Sudut bibir Arkan berkedut tak sabaran. “Itu... dia tidak memberimu resep obat lain?” “Resep obat lain? Untuk apa? Aku hanya sakit perut karena masa haidku yang tidak teratur. Tidak separah itu, kok!” “Bukan itu maksudku. Obat pencegah kehamilan. Apa dia tidak memberitahumu sama sekali?” terangnya cepat dan terkesan agak sedikit malu. Casilda termenung mendengarnya, tidak menangkap kalau nada suara Arkan agak aneh. “Casilda? Kamu masih di sana? Hei?!” “Berisik! Jangan berteriak begitu! Kamu pikir aku tuli? Aku mendengar semua perkataanmu dengan jelas, Tuan tukang memerintah!” balasnya dengan nada sedikit emosi. Arkan terdiam bodoh mendengar kemarahannya yang tiba-tiba tanpa alasan. Kenapa dia malah marah? “Kalau hanya ingin bertanya hal seperti itu, kamu bisa mengirim pesan kepadaku. Tidak perlu menelepon di saat aku sedang sibuk begini.” Arkan terpancing dengan emosinya. Nadi di pelipisnya langsung berdenyut hebat. “Sibuk? Kamu sibuk apa, Gendut?! Kamu hanya menonton film sepanjang hari, apanya yang sibuk? Baru juga diberi tugas seperti itu, sudah merasa sok hebat, ya?” “Apa? Arkan! Aku sedang mengurus masa depanmu dan Julian! Sikapmu ternyata masih saja tidak beres! Kamu pikir bisa seenaknya begitu mentang-mentang kamu adalah superstar yang disukai oleh banyak orang? Kalau kamu kehilangan sponsor dan investor, kamu pikir bisa lanjut di dunia hiburan? Tidak peduli kamu dari keluarga hebat sekalipun, sekali kena blacklist, tamat riwayatmu! Kenapa ada manusia yang sangat sombong sepertimu, sih?” Arkan tampak linglung dan mulai berpikir negatif. “Apa maksudmu dengan mengurus masa depanku dan Julian? Kamu di mana? Dengan siapa, hah? Kamu sibuk melakukan apa sekarang? Cepat alihkan ke panggilan video!” “Apa aku harus menjawab semua pertanyaan bodohmu itu? Aku tidak mau!” “KAMU ADALAH ISTRIKU, RATU CASILDA WIJAYA!” raung Arkan marah, menggenggam ponselnya erat-erat, menahan keinginan untuk membanting ponsel ke lantai. “Oh, ya? Benarkah? Apa kamu bisa membuktikannya di depan umum?” sinis Casilda dingin, tersenyum mengejek ketika mengatakannya. Arkan membeku mendengar sindiran tajam tersebut, dan seketika saja panggilan telepon ditutup tanpa peringatan. “Casilda? CASILDA?!” seru Arkan terkejut, super marah mendapati Casilda berani menutup panggilannya dengan sangat dingin dan cuek.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD