Bab 88 Situasi Memanas

1203 Words
Casilda secepat kilat menghentikan tindakan ayahnya yang hendak menusuk perutnya sendiri menggunakan pisau. Semua orang-orang di meja seberang dengan pakaian serba hitamnya berdiri serempak dalam keadaan tegang. Bu Hamidah menahan napas melihat pergulatan keduanya, dan bunyi denting pisau yang jatuh ke lantai menandakan aksi berbahaya penuh adrenalin itu akhirnya selesai. “APA AYAH BENAR-BENAR SUDAH GILA?” maki Casilda kesal, mencengkeram salah satu tangan pria itu dengan penuh emosi. Sang ayah balas berteriak, terdengar pilu dan meratap seperti hewan yang dipotong, “benar! Ayah sudah gila! Sudah gila sampai tidak tahu lagi bagaimana menolong keluarga kita! Ayah hanya bisa melakukan hal terakhir ini, tapi malah terjerat tumpukan hutang! Apa salahnya seorang ayah berusaha demi keluarganya sendiri? Ayah terus berusaha agar adikmu bisa mendapat perawatan yang layak! Ingin melihatnya sembuh dan normal seperti anak-anak lainnya! Apa kamu pikir ayah selama ini begitu tega membiarkan hidup kalian sepahit ini? Tidak! Ayah sendiri merasa bersalah karena sudah memberikan penderitaan ini kepada kalian semua! Puas menghakimi ayah, hah? Siang-malam! Siang-malam Ayah mencoba mencari jalan keluar, tapi semuanya buntu! Hanya judi dan mabuk yang membuat ayah merasa ada harapan! Ayah ingin membantumu agar tidak susah payah lagi bekerja keras! Juga ingin menyembuhkan adik dan ibumu! Tapi, ternyata tidak semudah itu! Apa kamu pikir, kita yang sudah seperti ini bisa mendapatkan uang banyak dengan cara yang mudah? Tidak, putriku! Tidak! Jalan kotor hanyalah satu-satunya cara! Apa kamu sanggup mendapatkan uang banyak dalam waktu singkat? Kamu jangan terlalu sok suci dan egois, putriku! Ayah tahu mana yang baik dan yang buruk sejak dulu! Tapi keadaanlah yang membuat kita kadang memiliki yang buruk!" Pria tua itu melampiaskan isi hatinya sembari menangis sesenggukan parah, berlutut di lantai sembari lemas di depan kaki putrinya. Ingusnya meleleh cepat seiring memukul-mukul dadanya yang terlihat begitu menyiksa. Mata merahnya menunjukkan betapa pedih penderitaan yang dirinya tanggung Casilda tergagap dalam diam, bibirnya gemetar, ikut-ikutan melelehkan air mata mendengar penjelasan ayahnya. Sedikit banyak dia sangat paham akan hal itu. Demi biaya operasi adiknya, dia bahkan rela melakukan apa pun. “Ayah... ayah hentikan semua ini... berdirilah...” “Tidak! Tidak! Ayah tidak berguna lagi! Bahkan putri sendiri sama sekali tidak peduli kepadaku!” “Ayah... aku mohon... hentikan semua ini...” pinta Casilda berbisik sedih, mencoba menarik ayahnya untuk segera berdiri, tapi dirinya malah ikut-ikutan berlutut dan mulai meneteskan banyak air mata. “Kenapa kamu malah ikut menangis juga? Putriku bodoh! Bukankah kamu tak peduli kepada ayahmu ini?” Sambil menangis sambil menjelaskan dengan wajah sedih, Casilda berbisik kecil seiring keningnya bertaut dalam, “ayah... aku hanya ingin ayah jangan bikin masalah lagi. Bisa, tidak? Saat ini, Danish lebih membutuhkan sosok ayahnya daripada sebelumnya. Apa ayah tahu betapa kesepiannya dia selama ini?” Ayah dan putrinya ini saling menangis sesenggukan, mata bertemu dengan penderitaan yang terpancar dari masing-masing sorot mata keduanya. “Casilda, putriku, sejujurnya, meski kamu tidak bisa memahami apa yang ayah lakukan selama ini. Semuanya, semata-mata demi kalian semua. Ayah tahu caranya salah, tapi hanya ini yang bisa ayah lakukan untuk kalian....” Ayah Casilda menundukkan kepala, air matanya lebih banyak mengalir deras. Kesedihan pria tua itu yang tengah putus asa terasa jelas di ruangan ini. Casilda menatapnya sembari masih terus sesenggukan. “Ayah... jika ayah sungguh-sungguh dengan perkataan ayah, maka ayah harus tahu satu hal pahit saat ini....” Casilda melihat reaksi ayahnya yang tiba-tiba terdiam, air matanya berhenti. Awalnya, dia pikir itu hanyalah akting, tapi ketika merasakan dan melihat rasa sakit di kedua bola mata sang ayah, Casilda tahu itu bukanlah kebohongan. “Apa maksudmu? Apanya yang hal pahit?” Casilda merapatkan bibirnya, mengerutkan wajah. Sambil menahan kedua tangan sang ayah, sambil menarik napas tegar. “Ayah... Danish harus dioperasi dalam waktu dekat. Jika tidak, kata dokter, akibatnya akan sangat fatal.” Pria itu tertegun kaget, kata-kata hilang dari tenggorakannya. Dia tidak salah dengar, kan? *** “Apa?” Arkan menaikkan nada suaranya dengan penuh protes. Rena, sang manager mengedikkan kedua bahunya malas, berdiri sembari bersedekap dengan gaya dewasa. “Aku hanya bisa memberimu tawaran seperti itu. Mengatasi gosip terakhir kali tidaklah mudah. Itu sudah viral dan terjadi secara langsung. Meski begitu, tetap saja masih ada yang bisa kami tangani agar tidak keluar ke masyarakat.” Arkan mendengus geli, duduk di sofa tamu di ruangan minimalis itu, gayanya angkuh dan tinggi. “Kamu gila? Kalau memang hanya mengatasinya dengan konfrensi pers, aku tidak mau!” “Yah, kalau begitu, terima saja tawaran dari salah satu stasiun televisi itu untuk meliput kegiatanmu seharian sembari menjelaskan latar belakangmu yang unik tersebut. Bukankah kamu pernah bilang akan menceritakan dan menjernihkan gosip soal tuduhan operasi plastik yang melekat kepadamu?” Arkan seketika berubah suram. “Ya. Tapi tidak dengan cara seperti ini.” Rena berjalan dari sisi jendela kaca besar ke sofa tamu. “Tuan Arkan yang terhormat, saat ini kita tidak punya pilihan lain selain meredakan gosip yang ada dengan memberikan dirimu penjelasan resmi meski hanya 30 menit. Semua jadwal syuting, pemotretan, dan kontrak barumu sedang kutahan. Kalau kamu berpikir untuk istirahat, mungkin tidak begitu buruk. Selama ini dirimu juga sudah bekerja terlalu keras sampai ke tahap ini.” Arkan berdiri dari duduknya, suram dengan mata menyipit berbahaya, “apa kamu sedang mengancamku?” Rena tertawa elegan. Kadang, Arkan memang begitu sangat mendominasi dan begitu keras kepala, tapi berita yang dibuatnya akhir-akhir ini sampai membuat departemen yang khusus menangani skandal dan gosip para artis di agensinya, nyaris menyerah dibuatnya. Apalagi ayah dari aktor arogan itu adalah pria dengan latar luar biasa yang sebenarnya sudah lama jadi incaran semua orang di industri hiburan. Sekali bocor, sudah seperti bendungan yang retak. Tentu saja tidak akan dibiarkan lepas begitu saja. “Kita semua sudah dewasa, Arkan sang Top Star. Dari gayamu selama ini sejak kejadian di panti asuhan, sepertinya tidak begitu ambil pusing.” “AKU MEMPERCAYAI KINERJAMU!” potong Arkan cepat, wajah mengeras. Rena yang sudah merasa lelah sejak tadi berdebat dengannya, akhirnya menghela napas berat. “Kalau begitu, maka turuti perkataanku. Terima saja konsep acara baru itu, sekalian menjernihkan beberapa skandal dan gosip tentang dirimu,” mulut dimajukan menunjuk sebuah naskah cukup tebal di atas meja. “Isinya terlalu lebay!” “Terlalu lebay atau tidak, jika bisa menyelamatkanmu itu sudah sangat bagus. Kamu paham, bukan, kalau nasib seorang aktor dan model itu bisa jadi sangatlah pendek? Tidak peduli dia seterkenal apa. Akan ada masanya dia bisa dengan mudahnya redup dari pandangan semua orang.” Arkan tertohok mendengarnya, tidak suka dengan kenyataan itu. Wajahnya menunduk suram, menggelap seraya menggigit gigi menahan amarah bertalu di hatinya. “Oh, ya, satu lagi. Lisa adalah pasangan sempurna untukmu. Jadi, jangan kacaukan status di antara kalian berdua. Apalagi kembali dengan kebiasaan kotormu itu. Kita tidak mau, kan, jika para penggemar Lisa menyatakan perang terbuka dengan kita? Aku capek mengurusi banyak hal tentangmu, jangan membuat mejaku penuh lagi. Ok?” “Kamu menyebalkan!” koar Arkan dengan rahang mengeras, kedua tangan mengepal di sisi tubuhnya. “Ya. Mungkin benar.Tapi, akulah manager yang paling hebat sejauh ini, bukan?” Arkan tak bisa mengelaknya, tapi sungguh menyebalkan tidak bisa mengalahkan argumen wanita berambut pendek itu kali ini. Sekarang, apakah dia benar harus mengambil tawaran lebay yang mengharuskannya diliput 3 hari 3 malam demi memuaskan ego orang lain di luar sana? Dia benci kehidupan cintanya diusik!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD