Bab 67 Terbangun di Ranjang yang Sama

1590 Words
Keesokan paginya, Minggu dini hari, mansion sang aktor. Di sebuah ranjang besar dan empuk serba putih, seorang pria dalam balutan kemeja putih kusut dan celana panjang berbaring di sana sambil memeluk seorang wanita yang diselimuti hingga ke batas leher. Kedua orang berbeda gender ini terlihat sangat lelap, khususnya sang wanita yang di dahinya terpasang plester kompres demam. Napasnya teratur dan tidak pernah tidur senyenyak ini dalam keadaan sakit parah. Sang pria lebih dulu terbangun dengan kelopak mata terbuka pelan. Bulu matanya bergerak-bergerak anggun di wajah tampannya. Hal pertama yang dilihatnya adalah wajah memerah lembut gara-gara demam milik Casilda. “...” Selama beberapa saat, Arkan, pria ini, terdiam masih dalam pose memeluk sang wanita dengan satu lengan melingkari perutnya. Tatapan Arkan sedikit membesar dalam diam, seolah tertohok dengan apa yang baru saja didapatinya, tapi dia tidak bergerak sedikit pun dari pose memeluk wanita dalam kuasanya itu. Di kedua pipi pria ini tersirat sebuah semburat merah muda samar-samar ketika kembali mengingat kejadian semalam. Kejadian di mana tanpa perhitungannya, wanita yang ternyata demam parah ini, dengan berani mencium dirinya di hadapan banyak orang. Sakit kepala tiba-tiba menusuk otak Arkan sang Top Star. Dia mengerang pelan, kepala ditundukkan masuk ke dalam ceruk leher Casilda, memeluk erat tubuh sang wanita yang terbungkus oleh selimut putih dan lembut. Perasaan jungkir balik menguasi hatinya, bagaikan kembang api dan roller coaster dipadukan bersamaan. Bayangkan bagaimana rasanya itu! Usai memeluk Casilda kuat-kuat dan merasakan suhu tubuhnya menggunakan dahinya sendiri, pria ini bangun sambil melepas kasar pelukannya. Mengerang sangat kesal dan marah dengan hati gelisah, gigi digertakkan kuat-kuat seraya tangan kanan menyisir rambut bagian depannya. Rasa frustasi mengacaukan hatinya. 'Untuk apa sebenarnya semua ini?' batinnya dengan perasaan linglung. Pria ini tidak tahu sebenarnya apa yang dilakukannya kepada Casilda dengan label balas dendamnya. Walaupun dia sudah menyiksanya sedemikian rupa sejak bertemu pertama kali, tapi kenapa hatinya masih saja terasa kosong dan tidak bisa puas? Kenapa dia malah tidur di sampingnya tanpa bisa memikirkan hal apa pun selain kondisinya yang mengkhawatirkan ini? “Dasar bodoh! Kalau sakit, ya, istirahat! Kenapa malah keluar seperti ini?” makinya pelan dengan suara rendah yang menarik, mata melirik kesal pada Casilda. Sewaktu acara semalam, Arkan memang sempat merasakan suhu tubuh wanita itu cukup panas beberapa kali, tapi dipikirnya itu mungkin karena efek gara-gara permainan mereka kepadanya hingga membuatnya berkeringat dan panas berlebihan dari balutan kostumnya. Jika dia tidak pingsan, mungkin Arkan tidak akan tahu kalau wanita itu menahan diri sudah cukup lama. Sang aktor berbalik menghadap Casilda yang masih tertidur pulas. Wajah pria ini didekatkan pada wajah sang wanita, diamati dengan baik dari jarak 10 cm. Sekali lagi, dia mengecek demam Casilda, kali ini tidak mengeceknya melalui kulit leher sang wanita melainkan dahi ke dahi secara langsung. Perasaan lega dengan cepat menyiram hati pria ini. Demamnya masih ada, tapi setidaknya sudah tidak begitu panas seperti semalam yang sudah hampir mau meledak bagaikan gunung berapi. Arkan kembali menarik tubuhnya usai memeriksa suhu tubuh Casilda selama beberapa detik. “Sepertinya dia sudah lama sakit demam. Hebat sekali dia masih bisa bertahan. Dia habis apa sampai kelelahan begini? Bukankah kamu ini dulu adalah mahasiswa kedokteran? Juga sudah punya status dokter umum? Kenapa hal seperti ini saja kamu tidak bisa menanganinya? Apa otakmu sekarang hanya dipenuhi oleh akting dan wanita saja? Benar-benar mengecewakan.” “Jika demamnya masih belum turun dalam waktuu 2 jam, segera bawa ke rumah sakit. Paham? Saat ini aku hanya akan memberinya infus agar kondisinya stabil,” lanjut dokter Ken. Perkataan sang dokter terulang kembali dalam ingatan Arkan seperti sebuah alarm alami. Dengan cekatan, sang aktor meraih plester kompres baru dan memasangnya pada dahi Casilda. Entah kenapa dia melakukannya dengan sangat hati-hati seperti hendak ingin menjinakkan bom saja. Dokter Ken, teman satu fakultas Arkan selama menempuh pendidikan pada jurusan kedokteran datang terburu-buru setelah ditelpon berkali-kali oleh Arkan seperti orang gila. Bahkan sepanjang perjalanan menuju mansion pun, sang aktor masih saja menyerbunya hampir setiap 5 menit sekali dengan panggilan yang hampir membuat tekanan darah sang dokter meledak hebat. Pesta semalam langsung dibubarkan begitu saja oleh Arkan tanpa ada basa-basi panjang seperti sebelumnya. “PESTA SELESAI! BUBAR SEMUANYA!” Itu adalah kalimat pendek Arkan yang mengakhiri malam mengerikan itu. Suaranya tegas, mantap, dan membahana mengisi aula, membuat hati semua orang yang ada di sana menciut gemetar. Semua orang terdiam, dan tidak ada yang berani menginterupsi dengan pemandangan yang terjadi berikutnya. Wanita berpenampilan berantakan itu dibopong susah payah oleh Arkan naik ke lantai dua. Lantai yang hanya bisa dinaiki oleh orang-orang tertentu saja dengan izin dari sang pemilik mansion. Tubuh Casilda segera dibersihkan oleh para pelayan di sana dengan Arkan yang terus berteriak marah di depan pintu, menyuruh mereka segera cepat selesai melakukannya, persis seperti seseorang yang menunggu di depan pintu ruang operasi dengan tidak sabaran agar lampunya berubah dari merah ke hijau. Secara teknis dan status, dia memang juga adalah seorang dokter. Lebih tepatnya seorang dokter umum. Bukan hanya sekedar aktor dan model semata. Tapi, dia sudah lama hiatus dari pekerjaan itu berkat latar belakang yang dimilikinya dan pilihan hidup baru yang dibuatnya. Bisa dibilang, sebenarnya menjadi dokter bukanlah keinginannya, sementara menjadi aktor dan model, meski telat datang ke dalam pikirannya, Arkan sangat menginginkan pekerjaan itu. Lebih tepatnya membutuhkannya. “Hei, babi, jangan tidur terus,” bisiknya pelan pada Casilda, mata merendah lembut menatap wanita itu dengan pikiran nyaris kosong. Tidak tahu harus bagaimana, pria ini lalu kembali bangkit dan berdiri menuju dapur mini di seberang kamar, meraih gelas dan menuang air dari teko kristal mewah. Ketika sedang meneguk air tiga kali, tiba-tiba ponselnya yang ada di atas nakas samping tempat tidur berbunyi dengan keras di pagi subuh itu. Arkan tersedak kaget, terbatuk-batuk keras, dan dengan cepat berlari untuk meraih ponselnya. “Berisik sekali! Siapa sialan yang pagi-pagi begini menelponku?” makinya berbisik sembari mengelap mulutnya dengan punggung tangan. Mata melirik cemas ke arah Casilda, takut terbangun oleh suara ribut barusan. Dengan cepat, Arkan menerima panggilan tadi tanpa sempat melihat jelas siapa penelponnya, berjalan menuju pintu teras dan keluar dari kamar. “Halo? Siapa?” “Aduh, dingin sekali. Tidak lihat siapa yang menelepon? Aku ingin menanyakan barang milikku. Apa dia sudah sadar?” jawab si penelpon dengan nada menggoda. Arkan tertegun di kedua kakinya, lalu mata menutup cepat seolah menahan kekesalan di hatinya. “Sudah cukup main-mainnya,” koarnya galak. Pria di seberang telepon masih saja terus menggodanya, tertawa renyah dan usil, “kenapa? Bukankah kamu ingin menjual wanita gendut itu? Dia benar-benar berkualitas seperti katamu jika masuk ke timku. Aku tidak keberatan memilikinya. Kamu jual berapa? Aku akan bayar yang kamu minta.” “Kamu gila?” sembur Arkan marah, suara menggerung tinggi dengan mata melotot hebat. Keningnya sudah bertabrakan menyiratkan ketidaksukaannya dengan ide tersebut. “Gila? Sejak awal, itu adalah idemu, kan?” Arkan mengepalkan kedua tangannya, ponsel nyaris retak oleh amarah yang entah dari mana membakar dadanya. “Aku hanya ingin memberinya pelajaran agar tidak bersikap sombong dan sok berani. Tidak benar-benar ingin menjualnya.” “Benarkah? Perasaan, kemarin kamu benar-benar ingin menjualnya, kan? Aku tidak mungkin salah tangkap, Arkan. Nada suaramu terdengar sangat membencinya. Kamu tidak pernah semarah itu kepada siapa pun. Aku tahu dirimu dengan jelas.” Arkan membeku syok, pupil mengecil dan bergetar panik dalam diam. Benar. Dia memang ingin sungguh menjual wanita sialan itu agar hidupnya benar-benar hancur. Menjebaknya dalam jebakan lingkaran putus asa yang membuatnya tidak akan bisa keluar dengan mudah. Melihatnya hancur sehancur-hancurnya sampai tak bisa bangkit lagi, pasti akan sangat, sangat menyenangkan, bukan? Tapi... tapi.... Kenapa sekarang dia malah ragu dan tidak ingin wanita gendut itu disentuh oleh siapa pun setelah semua kejadian semalam? “Elric, aku memang bukan orang suci, tapi tidak sekotor dirimu. Itu hanya gertakan untuknya, paham?” Saat mengatakan hal itu, gigi Arkan gemetar oleh sebuah rasa takut yang berpusing di dalam dirinya. Rasa takut apa itu? Dia juga tidak bisa memahaminya. Belum pernah Arkan sang Top Star merasakan rasa takut semacam ini seumur hidupnya. Kenapa ini jadi begitu membingungkan? “Ah... baik! Baik! Kalau itu maumu terserahlah. Tapi, kamu harus memberiku kompensasi karena sudah membuang waktu berhargaku dengan permainan kecilmu itu. Aku tidak mau tahu kamu sedang terlibat apa, dan sedang merencanakan apa, tapi aku adalah orang yang tidak mau rugi.” “Akan aku kirim detik ini juga biaya layananmu semalam. Katakan saja berapa maumu.” “Berapa pun?” Ada nada menarik dari suara Elric seolah ingin memanfaatkan situasi. Menelan saliva gugup dan kesal, Arkan menutup mata dan menjawabnya cepat tanpa ragu, “ya, berapa pun.” “1 milyar. Aku mau 1 milyar. Kamu tahu, kan, aku orang sibuk? 30 menit berapa banyak yang aku hasilkan?” Pria bernama Elric itu bisa dirasakan oleh Arkan sedang tersenyum lebar penuh kemenangan nun jauh di sana. “Berengsek kamu, Elric! Baik. Akan aku kirim secepatnya.” “Senang bekerjasa sama denganmu, Tuan Arkan! Datanglah ke klub, aku akan memberimu layanan spesial. Kami punya banyak wanita baru. Akan kuberikan bonus setiap akhir bulan selama setahun ini. Ok?” Arkan tidak menjawab, langsung mematikan sambungan telepon begitu saja. Kedua tangannya bersandar memegangi pagar tembok di balkon, mata mengarah ganas pada pemandangan indah dan segar di depannya. Semua itu berbanding terbalik dengan suasana hatinya saat ini. Demi seorang wanita, dia tidak pernah buang-buang uang sebanyak ini selama menjadi seorang petualang wanita. Tapi, wanita gendut tidak bernilai di dalam kamarnya itu sudah menggedor isi rekeningnya seperti keran bocor saja. “Sial! Apa yang sedang kulakukan sebenarnya? Kenapa semuanya sekarang jadi kacau dan tidak jelas?” ucapnya pada diri sendiri, kepala ditundukkan bingung menatap pagar tembok di depannya, kedua tangan mencengkeram pagar besi putih kuat-kuat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD