Bab 58 Andai Semua Ini Hanya Mimpi Buruk 3

1511 Words
Casilda sekali lagi menurut, hatinya mendingin hebat. Jika bisa tertawa gila, saat ini, dia ingin tertawa gila dengan keadaannya yang sepertinya tidak tertolong lagi. Tenggorokannya tercekat hebat, rasa asin mengalir turun ke tenggorokan. Tuhan, sesulit inikah mendapat 500 juta itu demi biaya operasi adiknya? Dia rela melakukan apa pun, tapi tidak terbayang seperti ini rasanya. Di sela-sela membuka kepala kostum itu, dengan cepat dia menghapus air matanya diam-diam, tidak ingin memberikan pria itu ide baru dalam mempermalukan dirinya. Detik berikutnya, dimulailah Casilda merangkak mengelilingi ruangan sambil mengeluarkan bunyi babi yang menggelikan, menggoyangkan pantatnya dengan bodoh, kemudian menjilat lantai 3 kali dengan gerakan kaku dan terlihat terpaksa. Tanpa dilihat oleh siapa pun, air matanya yang bagaikan mutiara besar-besar jatuh bergulir di pipinya, membasahi lantai di bawahnya. Menangis dalam diam. Semua orang tertawa sangat puas, begitu puas sampai mereka mungkin sudah bisa gila karenanya, atau perut mereka jadi melilit sakit karena terguncang keras. Dengan tubuh diseret paksa, badan gerah dan tak nyaman, Casilda terus bertahan untuk menyelesaikan tugas itu sampai akhir. Dia tak bisa lebih lama menahan isak tangisnya lagi, keluar begitu saja bagaikan terompet rusak. Suara di sekitarnya tiba-tiba menjadi hening secara perlahan. Di dunia ini, kenapa tak ada yang bisa berlaku baik kepadanya? Apakah dia memang tak bisa dimaafkan? Apakah dia memang sangat jahat di masa lalu dibanding mereka semua ini? Kenapa rasanya sangat tidak adil baginya? Semua orang bergembira di balik topeng-topeng misterius mereka, merasa tinggi daripada Casilda yang kini bagaikan hewan rendahan di tepi ruangan, bertingkah bodoh dan konyol. “Jilati yang benar! Bukankah kamu dibayar mahal untuk ini?!” teriak seorang tamu pria, lalu melemparnya air, meludah ke arahnya dengan tampang jijik yang puas. Musik instrumental yang energik pun berbunyi, menghibur hati para tamu dengan tontonan Casilda sebagai badut menyedihkan di lantai. Casilda terus saja merangkak dan merangkak, kepalanya berdenging hebat. Mereka menunjuk-nunjuknya sambil tergelak keras menahan perut, memakinya dan menghinanya dengan berbagai sumpah serapah. “Dasar menyedihkan! Bukankah kamu dulu itu pintar? Lihatlah dirimu sekarang! Menjilati lantai seperti hewan kotor menjijikkan! Hahaha!” “Siapa yang sangka dia akan menjadi seperti itu setelah bertahun-tahun? Karma memang pembalas perbuatan yang paling tepat sasaran! Tidak meleset sedikit pun!” “Mana suara babinya? Apa kamu minta disiram lagi? Haus, ya?!” “Hei, babi jelek, jalanmu lambat sekali! Percepat sedikit! kamu ini babi atau siput, sih?” Lidah Casilda yang sudah lelah menjilati lantai, mulai terasa kering dan pegal, bahkan tangannya yang diinjak oleh Arkan tadi masih terasa berdenyut di kulitnya. Semakin lama dia merangkak dan menjilati lantai, air mata Casilda semakin banyak berjatuhan. Bibirnya gemetar merasakan air matanya yang menyentuh lidahnya di lantai, gigi bergemelutukan. Namun, semua kesedihannya susah payah ditelan kuat-kuat hingga ke perut. Jika dia kasihan kepada diri sendiri, pasti akan lebih menyedihkan lagi di hadapan orang-orang jahat itu. Dia yang datang sukarela ke kandang singa, maka harus menerima konsekuensinya seorang diri. Di tempat kerja pun, dia juga selalu diperlakukan buruk, dijadikan tempat sampah berjalan oleh bosnya sendiri dan dimanfaatkan habis-habisan. Mata dikerjapkan kuat-kuat, memohon dengan perasaan bodoh dan menyedihkan dalam hati agar suatu hari ada seseorang yang mau menjaganya, menyayanginya, dan jika bisa, mencintainya layaknya sebagai ratu sungguhan, atau setidaknya sebagai seorang wanita yang berharga dengan limpahan kasih sayang. Bukan malah memperlakukannya sangat rendah dan tidak berperikemanusiaan di pesta busuk ini. Tapi, apakah itu mungkin? Itu hanyalah mimpi indah untuk menghiburnya sesaat di kala sedih. Sesosok bayangan samar seorang pria terlintas cepat di benak Casilda. Hati Casilda langsung berdenyut sakit sekali. Sebenarnya, ini bukan pertama kalinya Casilda dipermalukan di sebuah pesta besar. Hanya saja, kali ini sangat buruk sampai bisa masuk rekor dunia sebagai kategori bullying mengerikan. Pesta satunya tidak separah saat ini, namun cukup membuatnya mendapat kerusakan mental parah selama setahun penuh akibat patah hati, bahkan memberikannya sedikit trauma dekat-dekat dengan pria berwajah tampan. Untungnya trauma itu perlahan sembuh akibat keseringan bertemu Ryan di tempat kerja, dan juga melihat banyak pengunjung yang berwajah tampan datang ke kedai mereka. Dulu, dulu sekali, beberapa jam sebelum keluarganya dinyatakan jatuh bangkrut, dia dengan gilanya menyerbu masuk ke acara pertunangan pacarnya yang diam-diam sudah memilih wanita lain sebagai pasangan sehidup-sematinya. Tawa lemas mengejek diri sendiri keluar pelan dan lemah dari bibir Casilda, lalu kembali menjilati lantai dengan tatapan hampa. Air mata bercucuran hebat. 'Pria sialan! Terkutuk! Semua ini karena dia! Semua ini terjadi... terjadi karena aku memberikan semua hatiku padanya...' batin Casilda dengan tangis pilu di hatinya. 'Bodoh... bodoh... kamu memang bodoh, Casilda.... ditipu mentah-mentah oleh pria bajing4n itu....' batin Casilda lagi, terus mengeluh dengan hati sedihnya mengingat masa lalu. Awal kejatuhan dirinya dan seluruh keluarganya ke jurang tanpa dasar. Seluruh tubuhnya tiba-tiba mulai terasa ringan, air matanya mengalir semakin deras, tidak peduli lagi dilihat oleh semua orang di pesta ini, termasuk Arkan si iblis itu. Suara tawa terus tertuju pada Casilda ketika akhirnya kembali ke posisi awal, dan sebuah lemparan minuman kembali mengarah ke tubuhnya. “Haus, kan? Pasti haus! Minum ini!” Casilda tertegun kaget, ingin muntah mencium isi gelas yang dilemparkan ke tubuhnya. Ludah? Itu kumpulan air ludah mereka? Casilda akhirnya membalikkan tubuhnya, muntah tidak karuan, merangkak menjauh dengan cepat dari tengah ruangan, menyeka wajahnya yang sudah ternoda itu. Tangannya panik meraih air di dalam ember kecil yang ada di dekatnya, mengguyur dirinya sendiri hingga tubuhnya menggigil di dalam kostum itu. Tentu saja itu adalah air es untuknya yang entah kapan akan diberikan oleh Arkan kepadanya. Arkan tertawa puas melihat penderitaan Casilda, semua tamu juga ikut tertawa. Kembali pria bertopeng iblis itu berkata di mic, tangan terangkat memberi kode untuk diam: “Ide wanita tadi cukup bagus. Bagaimana dengan yang lain? Apa ada ide yang menarik lainnya?” Casilda menahan napas seolah menunggu hukuman mati, memeluk ember dengan kedua tangannya. Wajah sangat pucat dan menyedihkan, tapi tak satu pun dari mereka yang terlihat kasihan kepadanya. Sebuah tangan dinaikkan ke atas, dan Arkan lalu menunjuknya dengan gerakan untuk maju ke depan. Para tamu di depan si pemilik tangan ini bergeser memberikannya jalan. Rupanya, itu adalah seorang wanita dengan pakaian ungu gelap dan seksi, serta sebuah topeng merak hitam. Mata para pria di ruangan itu langsung tertuju kepadanya, terlihat kagum dan mulai bisik-bisik ribut. Arkan mendekat, dan memberikan mic padanya. Kali ini, tidak seperti tamu wanita sebelumnya, dengan mesra meraih tangan sang wanita dan memberikan mic secara hati-hati, sebelah mata mengedip nakal dengan nada menggoda, “sebaiknya idenya sangat menarik.” Sang wanita bergaun ungu ini terpesona dengan perlakuan itu, lalu menganggukkan kepala penuh khidmat. “Jika tidak menarik, apakah saya akan mengajukan diri, Tuan Arkan?” Arkan terkekeh lembut, begitu mempesona mendengar nada godaan sang tamu seksi di hadapannya. Semua wanita yang melihat itu langsung meleleh dibuatnya, para pria juga jadi risih dan rendah diri. Seorang tamu wanita bahkan sudah jatuh pingsan karena senyuman maut dan pesona aktor playboy itu. Para tamu wanita merasa dadanya sudah panas naik-turun seperti detak jarum bom yang siap meledak. Tiba-tiba sangat iri kepada wanita yang berbicara dengan Arkan sang Top Star. “Katakan, apa ide menarikmu itu.” Wanita itu tersenyum bangga pada diri sendiri, menatap para tamu lainnya dengan gaya genit yang elegan di sekitarnya, seolah menjadi orang paling hebat di acara itu. Dengan satu tangan di pinggang, dan bahasa tubuh menggoda, dia pun membuka suara dengan gaya bicara lambat-lambat: “Bagaimana... kalau menyuruhnya berciuman liar dengan pria paling jelek di ruangan ini? Sedikit buka-bukaan biar lebih panas, lalu kita rekam dan unggah ke internet. Bukankah semua file yang masuk ke internet akan menjadi abadi selamanya tanpa bisa dihapus? Tidakkah itu ide yang sangat jenius? Balas dendam yang sempurna, bukan? Dia akan malu seumur hidupnya. Hahaha.” Casilda membeku dalam diam. Bukan hanya Casilda yang tertegun kaget dan syok dengan ide sangat gila dan sinting itu hingga kedua bola matanya membesar ngeri, tapi juga Arkan, sang tuan rumah pesta tersebut, diam-diam syok hebat di dalam hatinya bagaikan disambar petir di siang bolong. Tubuh pria ini pun sampai tak bisa bergerak selama beberapa detik, pupil mengecil akibat terguncang secara psikologis. Sangat luar biasa efeknya sampai otaknya kosong sesaat. Dia? Si gendut itu? Berciuman liar dengan seorang pria? Di depan banyak orang? Sebetik rasa panas menyengat hatinya bagaikan ditetesi oleh lava pijar, perih menusuk. Tangan kanan Arkan seketika mengepal kuat tanpa disadarinya. “Bagaimana, Tuan Arkan? Ide hebat, bukan?” tanya sang tamu wanita bergaun ungu, bibir merahnya merekah indah, menatap sang tuan rumah menunggu jawaban. Di sekelilingnya, para tamu lainnya mulai heboh sendiri, kembali tertawa keras dan terpingkal-pingkal. Semua ponsel sudah siap di tangan, berada dalam mode siaga untuk merekam. Keberanian mereka itu juga muncul karena semua tamu pesta itu memakai topeng, tidak akan ada yang tahu siapa identitas mereka jika muncul di internet. Casilda, di seberang ruangan, memundurkan tubuhnya hingga menabrak kaki kursi, kepala menggeleng takut, air mata meluruh membasahi pipinya. Sangat kacau. Andai semua ini benar-benar hanyalah sebuah mimpi buruk. Andai... semua ini... benar-benar hanyalah sebuah mimpi buruk.... Tubuh Casilda gemetar dingin dari ujung kaki hingga kepala, hati menjerit pilu. Arkan membalikkan tubuhnya, menatap Casilda dalam diam. Kedua mata mereka saling bertemu, terkunci satu sama lain seolah hanya ada mereka berdua di ruangan penuh lautan manusia jahat itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD