Bab 11 Menjadi Tenaga Tambahan

1503 Words
Di mansion Arkan. Lantai 2. Arkan menatap dirinya di depan cermin besar, memasang kancing kemeja putihnya dengan wajah begitu dingin. Rambut basahnya berkilau, seksi, dan menggoda. Wajah Casilda terbayang di benaknya sambil meminta maaf. Wanita berpipi bakpao itu berkata kalau dia benar-benar lupa siapa dirinya. Yang membuat Arkan makin kesal adalah ucapannya yang begitu rendah hati, mengakui dirinya akan masa lalunya yang buruk. Dia juga berkata kalau dia tidak seperti dulu lagi. Benarkah itu? Mana dia percaya! Pria ini tidak bisa melupakan perkataan perempuan yang sudah mengubah hidupnya sedemikian rupa. 'Berani sekali dia melupakanku dan berkata seperti itu! Awas saja kamu, Ratu Es!' batinnya dengan hati masam, tatapan matanya merendah dingin dan angkuh pada pantulan cermin. “Kamu terlihat tampan sekali hari ini,” puji sebuah suara perempuan yang terdengar dari arah pintu, merdu, ringan, sangat enak didengar. Lisa Rosalinda Altezza, tunangan Arkan. Dia melenggang masuk ke dalam kamar dengan penampilan bak seorang dewi. Sangat rupawan dan indah khas seorang supermodel ternama. Lisa mengenakan dress ketat cokelat pucat selutut, dipadu bersama sebuah scraf senada yang dibentuk cantik di lehernya, dan sebuah mantel merah indah menutupi tubuhnya. Rambut hitam legamnya tergerai indah sebatas bahu, membuatnya terlihat dewasa dan elegan. Perempuan ini meletakkan tas cokelat mahalnya di atas tempat tidur, meraih dasi biru tua di sana dan berjalan menuju pria tersebut. “Lisa? Kenapa tidak menghubungiku dulu?” Kening Arkan mengernyit ringan. “Kenapa? Ingin menjemputku sendiri? Aku tidak mau. Sesekali memberimu kejutan membuatku sedikit puas,” jelasnya dengan gerakan tangan mulai memasang dasi pada leher sang pria. Arkan ingin bilang kalau dia bisa menyuruh supir menjemputnya, tapi dia mengurungkan niat itu. Mood perempuan di depannya ini mungkin saja bisa hancur setelah mendengarnya. Hari ini mereka akan mengunjungi sebuah panti asuhan sebagai promo drama terbaru yang akan ditayangkan 2 bulan lagi, dan menghadapi temperamen buruk tunangannya saat suasana hatinya buruk bukanlah hal yang bisa dianggap remeh. “Apa kamu sudah sarapan?” tanya Arkan cuek asal-asalan, berjalan ke arah sofa setelah Lisa memasangkan dasinya, meraih sebuah vest dan jas cokelat gelap dengan perasaan malas. Lisa melipat tangan di dadanya. “Kamu tahu kalau seorang model tidak boleh makan sembarangan, kan?” “Ya. Tentu saja aku tahu,” balasnya masa bodoh. Lisa tersenyum tipis, lalu membantu pria itu memakai setelan jasnya di balik punggung. Nada suaranya lembut penuh perhatian. “Akhir-akhir ini, aku dengar kamu jarang berolahraga dan tidak memerhatikan dietmu.” “Aku tidak punya jadwal pemotretan selama syuting drama terbaru ini, jadi kurasa melanggar sedikit tidak apa-apa.” “Tubuh seorang model adalah harta karunnya. Tolong lebih perhatian lagi ke depannya.” Lisa memeluk punggung lelaki itu dengan mesra usai mengatakan kalimat terakhirnya dengan penuh cinta. Entah kenapa Arkan tidak suka dengan apa yang diperbuat oleh sang wanita. Padahal dulu, meski Lisa melakukan hal serupa, dirinya tidak keberatan sama sekali layaknya sebuah batu. Tapi, kenapa sekarang dirinya tidak begitu nyaman dan dihinggapi oleh perasaan gelisah? “Orang-orang sudah berkumpul di bawah. Tidak baik membuat mereka semua menunggu terlalu lama.” Arkan melepas tangan Lisa dari dadanya, berjalan cepat meraih jam tangan dan ponsel di atas nakas. Lisa mengerutkan kening, sedikit kesal karena merasa ditolak. Namun, dia menyembunyikan perasaan kesalnya itu, melempar sebuah senyum anggun. “Baiklah. Ayo, segera turun.” Lisa berjalan ke arahnya dan menggamit lengan kanannya. Pria berjas itu ingin menolak sekali lagi, tapi Lisa menahan lengannya dengan sangat kuat. Dengan terpaksa sang aktor turun dengan gaya bergandengan tangan menuju tangga. Ketika keduanya hendak mulai menuruni tangga, seorang kru pria bertopi merah dan berpakaian kasual hitam-putih dengan kemeja tartan biru tua terikat di pinggangnya, berteriak kepada Arkan di anak tangga terakhir di lantai satu. “Maaf, Arkan! Mobilnya masih sedang dipersiapkan. Pesanan ayam krispi yang akan dibawa ke panti asuhan masih sedang diatur bersama bingkisan lainnya. Tolong tunggu beberapa menit lagi,” katanya, lalu melihat jam sambil melanjutkan, “kira-kira 10 menit saja. Kemudian kita semua akan segera berangkat bersamaan ke sana.” Arkan mengangguk khidmat, lalu melihat pri aitu pergi dengan lambaian tangan di udara. “Kita akan ke panti asuhan. Memang kamu bakal betah bertemu anak-anak?” Lisa meliriknya pelan, ada nada mengejek dalam suaranya. Arkan tidak menjawab pertanyaan itu, terdiam memikirkan hal lain. Di luar, tidak jauh dari pintu masuk utama mansion, Casilda sibuk melakukan panggilan telepon atas perintah seorang kru yang menerima pesanan. “Iya. Katanya mereka ingin minta tenaga ekstra. Mereka akan membayar layanan ekstranya, bos. Bagaimana?” Dalam hati, Casilda sangat berharap Bu Hamidah menyetujuinya karena bayarannya membuat Casilda menelan air liur tanpa sadar saat mendengarnya. “Apa kamu bodoh? Tentu saja! Layani mereka dengan baik. Lagi pula kita tidak akan menerima pesan antar lagi hari ini selain di kedai.” Bu Hamidah tertawa keras dan puas di seberang sana. “Oh, ya! Apa anakku ada di sana? Dari tadi aku mencarinya tapi sama sekali tidak melihatnya,” nada suara Bu Hamidah terdengar ketus. “Eng... itu...” Casilda mengarahkan pandangannya pada Ryan yang sibuk mengamati keadaan mansion mewah itu di dekat mobil mereka, dan sesekali menyapa ke arah kru wanita yang tertarik kepadanya. 'Hadeh! Dia percaya diri sekali tebar pesona seperti itu,' batin Casilda dengan mata menyipit datar. Ryan menangkap tatapan matanya, kemudian tersenyum lebar, menaikkan jempol kanan ke depan. “Jika memang dia ada di sana, tolong awasi baik-baik, Casilda. Setelah pulang nanti, aku akan memberinya pelajaran. Haaah... tapi setidaknya dia akan membantumu juga. Kalian dibayar perorangan, kan?” “Iya, mereka bilang seperti itu. 5 juta per orang,” jawabnya dengan nada pelan. “Luar biasa! Itu namanya durian runtuh! Hahaha! Ya, sudah. Itu artinya kalian akan digaji lebih banyak. Pastikan saja putra pemalasku itu tidak mengacau di sana. Memang kalian akan ke mana, sih?” “Katanya mereka akan ke sebuah panti asuhan di kota Bandung.” “Oh. Begitu. Oke. Jangan mengecewakanku. Kalau kalian menjaga kualitas layanan tetap prima, bisa jadi mereka akan tetap terus memesan dan menjadi pelanggan utama kita! Dunia hiburan itu, kan, uangnya banyak. Hahaha! Bayarannya saja sangat luar biasa demi layanan ekstra! Bagaimana jika kita dapat proyek dari mereka? Ingat kerja yang benar, ya!” “Ah... ba-baiklah,” ucapnya dengan perasaan tidak yakin. Bu Hamidah sudah setuju soal Ryan. Apa yang dikatakan oleh pemilik kedai itu benar adanya, dirinya hanya perlu mengawasi Ryan dengan baik, maka dirinya juga akan mendapatkan uang tambahan demi biaya operasi sang adik. Casilda menghela napas berat, sedikit bersyukur karena rejeki sepertinya datang bagaikan jackpot ketika membutuhkannya. Namun, apakah akan terkumpul dalam 2 bulan? Jelas wanita ini sangat meragukannya. 500 juta dalam 2 bulan? Dirinya butuh keajaiban besar untuk mencapai jumlah uang sebanyak itu. Hatinya resah, tapi percuma saja memikirkan tanpa melakukan apa-apa. Setelah menutup telepon, perempuan bertopi hitam dan memakai kaos rajut orange tua itu melapor kepada seorang pria yang memakai jas hitam, sepertinya seseorang yang penting tanpa perlu menanyakan identitasnya. “Kami bersedia memberikan layanan ekstra. Tinggal dimasukkan saja semuanya pada tagihan pesanan itu,” terangnya dengan penuh semangat. “Bagus. Kalau begitu kalian siap-siap di mobil. Ini kartu pengenal kalian, tolong jangan sampai hilang, ya! Tanpa ini kalian bisa diusir jika tidak bisa menunjukkannya di sana.” “Heh?” Casilda terbodoh sejenak. Memangnya ke sebuah panti asuhan serepot itu, kah? Yang didengarnya, mereka akan melakukan promosi drama di sebuah panti asuhan yang menjadi salah satu setting penting dari drama tersebut. Pemilihan panti asuhan itu dilakukan oleh sang sutradara yang memiliki perasaan sentimentil pada tempat itu karena dia besar dan tumbuh di sana. Tapi, jika seketat itu, tidakkah terlalu berlebihan? Apakah pria berjas hitam ini adalah seorang bodyguard? Casilda bertanya-tanya seraya melirik beberapa pria berpakaian serupa di beberapa sudut ruangan. Yang membedakannya adalah, pria di depannya ini sedikit terlihat lebih bijaksana dan pakaiannya terlihat lebih berwibawa. Apa dia adalah ketua para bodyguard, itu, ya? pikir Casilda asal. “Ah! Arkan! Arkan! Sang Top Star kebanggaanku! Kamu benar-benar sangat tampan! Dan Lisa, kamu sangat cantik. Sangat, sangat cantik! Benar-benar pasangan serasi! Kalian berdua adalah bintang keberuntunganku!” Tiba-tiba sebuah suara berteriak di belakang Casilda menggunakan sebuah pengeras suara. Kaget, Casilda pun berbalik melihatnya. “Hah! Pak sutradara itu suka sekali heboh sendiri,” komentar sang pria berjas hitam di sebelah Casilda. Casilda mengikuti arah kepergian sang sutradara, dan secepat kilat menurunkan ujung topinya, tidak ingin dikenali oleh aktor sadis yang tengah dihampiri oleh sutradara itu. “Halo, pak sutradara. Pagi ini Anda semangat sekali, ya?” puji Lisa dengan senyum manisnya. Arkan hanya terdiam, lalu mengarahkan pandangannya ke arah pintu keluar melihat sosok Casilda yang dengan cepat menyembunyikan wajahnya dengan topi, tidak sempat melihat wajahnya dengan jelas. Casilda pun berbalik, berbicara kepada pria di sebelahnya dengan nada terburu-buru. “Jika tidak ada hal lain, saya akan menunggu di mobil sampai semuanya siap, Pak.” “Ah, ya! Ini alamat yang akan kita tuju.” Pria itu memberinya sebuah kartu nama. “Baik. Tolong beritahu kami jika kita sudah siap berangkat,” katanya cepat dan membungkukkan badannya sebelum pergi dari sana. Arkan memiringkan kepalanya melihat sosok bertopi hitam dengan tubuh berisi itu, ada denyar aneh misterius bermain di matanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD