Bab 12 Percuma Saja Memakai Topi!

1335 Words
“Bagaimana pesanan ayam goreng krispinya? Apa mereka membawa sesuai pesanan? Tidak ada masalah, kan?” tanya Arkan pelan. “Tenang saja. Semuanya sangat baik dan sempurna. Terima kasih sudah mentraktir kami semua dan panti asuhan itu. Abian bilang ini adalah idemu. Saat mendengarnya, aku sangat terharu,” nada suara Pak sutradara bergetar penuh haru, kedua bola matanya berkaca-kaca. “Ya. Bukan masalah besar. Di mana sekarang orang yang mengantarkan pesanan itu?” “Untuk apa mengurusi hal remeh seperti itu. Ayo, kita duduk dulu di ruang tamu,” cegah Lisa, menarik pelan lengan sang pria, tapi Arkan tidak goyah sedikit pun. “Aku perlu bicara dengannya sebentar.” “Kenapa?” Kenapa? Arkan juga tidak tahu kenapa, yang jelas dia merasa perlu melihatnya secepat mungkin. “Kemarin ada salah paham. Tunggu saja aku di ruang tamu, nanti aku akan ke sana,” dengan nada dingin, Arkan melepas gamitan Lisa, dan berjalan menuju pintu keluar. “Eh?" Lisa tertegun, tapi dia mengurungkan niatnya mengejar sang tunangan, gelisah dan tidak nyaman dengan sikap anehnya sejak di atas tadi, tapi wanita ini takut orang-orang di sekitar mereka mengendus hal aneh terjadi di antara mereka berdua. Seluruh negeri sudah tahu kalau mereka adalah pasangan sempurna yang sangat menjadi idaman siapa pun. Sedikit hal ganjil saja, pasti akan menjadi pembicaraan dan itu tidak baik untuk citra keduanya di dunia hiburan. Di dekat mobil van putih kedai Ayam Krispi Yummy. Kehebohan kecil sedang terjadi. “Keren! Mereka menyuruh kita memakai ini? Rasanya jadi seperti salah satu dari mereka!” Ryan memakai tanda pengenalnya, tergantung sempurna di lehernya, sangat terlihat profesional di dadanya. Pemuda itu kini sudah mengancing rapih kemeja hitamnya seraya tersenyum bangga karena bisa menjadi salah satu bagian dari acara penting pada sebuah drama yang diyakini bakal sukses besar 2 bulan lagi. “Kamu jangan buat masalah, ya! Ibumu sudah tahu kamu di sini, dan memintaku mengawasimu.” Ryan membatu dan tersenyum kaku. “Cas, jangan pandang remeh aku, dong. Memangnya aku sebodoh itu di matamu?” “Ya. Memang begitu, kok, kenyataannya,” balas Casilda dengan mata menyipit malas. “Dasar! Kenapa mulutmu itu tidak bisa dijaga, sih? Aku tampan begini, mana bisa dicap bodoh?!” “Jangan kegeeran, ya! Memang kenapa kalau tampan? Tidak boleh bodoh? Kerjaanmu tiap hari, kan, hanya main game saja! Itu pun kalau kerja di kedai, paling gara-gara ingin dapat uang tambahan untuk top-up, kan?” Darah Casilda mendidih memikirkan kelakuannya yang suka seenaknya itu. Ryan memang tampan, tapi dia tidak beda jauh dengan anak umur 5 tahun, manja dan banyak tingkah. “Kamu ini! Kenapa suka sekali membuatku kesal, hah?” Ryan mencengkeram kedua bahu Casilda dengan sangat kuat, raut wajahnya tidak enak dipandang. “Ryan! Lepaskan! Apa-apaan, sih!” koarnya galak. “Kalian ini bertengkar seperti kucing liar saja. Bikin kuping sakit mendengarnya,” sindir sebuah suara dari belakang keduanya, dingin dan menusuk. Casilda membeku. Suara itu, meski baru didengarnya akhir-akhirnya ini, tapi sudah masuk dalam folder berbahaya di otaknya. Dengan perasaan gelisah, perempuan berkacamata tebal itu berbalik cepat. “Hai,” sapanya dengan acuh tidak acuh, kepala dimiringkan malas. Tatapan dinginnya memikat, sama malas-malasannya dengan sikapnya sekarang, tapi mengandung bahaya dan godaan mematikan. Dengan pakaian yang dikenakannya, Arkan mirip seperti seorang CEO dingin misterius dan tidak berperasaan. Sudut bibir Casilda berkedut jengkel. Hai? Sapaan macam apa itu? “A-arkan? Arkan sang Top Star itu, kan?” gagap Ryan dengan mulut ternganga hebat. Arkan tidak membalas Ryan, dia hanya terdiam dengan ekspresi dingin di wajahnya, dan bulu matanya merendah lembut menatap tajam ke arah Casilda. Casilda menelan ludah gugup. Tenggorokannya terasa sakit sekali! Topi baseball-nya sama sekali tidak ada gunanya! Apa karena siluet tubuh gemuknya yang mudah dikenali? Atau karena mobil mereka yang begitu mencolok dengan gambar ayamnya? Kenapa dengan tatapannya itu? Untuk apa dia kemari, sih? pikir Casilda cepat, tidak nyaman dan waspada. Dia terbayang-bayang kejadian di kamar lelaki itu, membuat hatinya langsung gugup dan bergetar takut. Tenggorokannya merasakan sensasi aneh seolah tangan besarnya itu kembali mencekiknya. “A-apa kita bisa foto bersama?” dengan cepat Ryan meraih ponselnya di saku celana, dan mengutak-atik ke mode kamera. Namun, ketika Ryan mendekat, Arkan menolaknya. “Maaf, tapi aku tidak ingin sedang berfoto saat ini.” “Eh? T-tapi kenapa?” Ryan tertegun kaget, bingung dan merasa bodoh. Pria berjas cokelat gelap itu tersenyum kecil, lalu menarik Casilda ke arahnya. “Tapi, kalau foto bertiga, aku tidak akan keberatan.” Untuk sesaat, Ryan terdiam melihat aksi itu. Kebingungan dan keheranan. Detik berikutnya, entah kenapa, dia tidak suka dengan perlakuan semena-mena aktor tampan itu terhadap Casilda. “A-aku tidak usah foto. Tidak apa-apa, kok,” tolaknya halus pada Arkan dengan bibir gemetar, berusaha menarik lepas cengkeraman pria itu darinya. “Kenapa? Tidak mau foto?” Arkan menatap dingin pada Ryan, mengabaikan tolakan perempuan itu, dan masih menahan lengannya dengan kuat. Ryan sedikit salah tingkah, melirik Casilda yang terlihat tidak nyaman. “Aku harus bicara empat mata dengannya. Kalau tidak mau foto, kami pergi dulu.” “Apa?” Ryan terkejut. Kenapa dia mau bicara dengan Casilda? Memangnya mereka saling kenal? Perasaan tidak suka pada sang aktor seketika menyalip di hatinya. “Maaf, jika Anda ingin membicarakan soal pesanannya, silakan bertanya kepada pria yang berjas hitam itu,” dengan cepat Casilda menutupi hubungan aneh mereka di depan Ryan, menunjuk pria berjas tadi yang sibuk memberikan arahan kepada beberapa kru di seberang mansion. Jantung Casilda tertegun kaget! Arkan langsung memberinya lirikan sinis yang menusuk, membuat perempuan itu terdiam membatu. Pucat dan berkeringat dingin. Tidak berani melanjutkan kata-katanya. Wajah Ryan melunak mendengar penjelasan Casilda. Tertawa lepas, lalu dengan pembawaan riang dia pun membuka suara: “Ah, begitu! Soal pesanan, ya? Benar yang dikatakan oleh Casilda. Kami hanya tinggal menunggu perintah untuk ikut dengan rombongan kalian. Jadi, aku rasa sudah tidak ada masalah lagi yang perlu dibicarakan.” “Rombongan?” Sebelah kening Arkan terangkat, menatap tidak puas pada pria di depannya. “Loh? Tidak tahu? Kami akan ikut ke panti asuhan itu. Mereka kekurangan tenaga, jadi kami memberikan layanan ekstra.” Ryan menunjukkan tanda pengenalnya dengan senyum bangga. Wajah tampannya sedikit bodoh. Menyadari hal itu, Arkan tersenyum misterius, kemudian melepas cengkeramannya pada tubuh Casilda. “Maaf, aku tidak tahu hal itu. Baiklah. Kalau begitu sepertinya tidak ada masalah dengan pesanannya. Tadinya, aku ingin menanyakan beberapa hal terkait pesanan itu karena aku yang memesannya atas nama Abian Pratama.” Casilda tertegun sekali lagi. 'Dia yang memesannya? Kenapa perasaanku tidak enak, ya?' batin Casilda dengan wajah menggelap suram. “Oh! Anda, ya, yang memesan 100 kotak ayam krispi itu? Terima kasih banyak, Arkan sang Top Star!” Ryan menggaruk-garuk belakang kepalanya dengan sedikit pembawaan canggung, kepalanya menunduk sedikit dan terlihat malu-malu. “Ya. Sama-sama. Layanan kalian kemarin ‘sangat bagus dan memuaskan’. Aku jadi memberikan rating bintang 5 di aplikasi,” jelas sang aktor, melirik Casilda dengan sebuah sorot mata penuh arti, sudut bibirnya samar-samar tersenyum dingin dan jahat. Dengan sengaja, Arkan memberikan tekanan khusus pada kata-kata ‘sangat bagus dan memuaskan’. Casilda tertohok dibuatnya. 'Sialan! Apa-apaan dia bicara tidak sopan seperti itu? Jadi, dia yang memberikan rating dan komentar itu? Bukan Abian Pratama?' batinnya dengan perasaan panas tidak karuan. Tanpa peringatan, Ryan menarik Casilda ke sisinya, dan meletakkan lengan kirinya pada kedua bahu Casilda, setengah merangkulnya dan berkata dengan nada bangga sembari mengacungkan jempol kanannya ke arah Arkan. “Pegawai kami satu ini memang sangat berbakat! Dia memang suka sekali bekerja keras dan penuh semangat, apalagi kalau sedang mengejar bonus. Cas for cash! Dasar cewek mata duitan ini! Hahaha!” 'Apa-apaan dia ini?' batin Casilda kesal. Cas for cash, plesetan panggilan pendek dari nama Casilda, yaitu Cas. Penyebutannya sedikit mirip dengan “Cash” yang artinya uang tunai dalam Bahasa Inggris. Jelas membuat Casilda bermuka masam mendengarnya. Ryan tertawa terbahak-bahak puas, setengah meledek Casilda dan menepuk-nepuk pelan puncak topi baseball perempuan itu dengan pembawaan gemas, masih dalam pose merangkul bahunya. Arkan memiringkan kepalanya angkuh dan arogan melihat kedekatan keduanya yang terlihat sangat akrab dan santai, terdiam dingin dengan tatapan mata sulit untuk ditebak.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD