Bab 13 Di Jalan Tol

1713 Words
Di mobil Ayam Krispi Yummy. Percakapan sedikit intens terjadi singkat di antara Casilda dan Ryan. “Menurutmu, kalau aku mencoba mengajukan diri jadi model, mereka akan menerimaku tidak, ya?” Ryan sibuk berkhayal di samping Casilda. Perempuan berkacamata tebal itu meski fokus mengikuti rombongan di depannya, pikirannya melayang pada perlakuan sok dekat Arkan si pria serba berbakat itu. Dari gosip yang didengarnya sebelum berangkat, ternyata pria itu juga adalah seorang model. Bukan hanya berkarier dalam negeri, tapi juga di luar negeri. Casilda menyipitkan mata sebal. Bukankah wajar jika pria itu juga adalah seorang model? Dia, kan, seorang Top Star negeri ini. Kemudian, perlahan raut wajah Casilda berubah muram. 'Apa perempuan super cantik dan manis itu adalah tunangannya? Pasti begitu,' batin Casilda. Teringat perkataan Arkan bahwa dia sudah punya tunangan yang tidak bisa disandingkan dengannya. Bukannya iri, hanya saja tidak menyangka ternyata perempuan itu benar-benar cantik bak sebuah boneka porselen. “Wajar. Sama-sama cantik dan tampan, kok. Saling tarik-menarik seperti magnet,” gumam Casilda berbisik pelan. “Apa? kamu bilang sesuatu?” Ryan menaikkan sebelah alisnya, menatapnya penuh semangat, di tangannya tergenggam sebuah ponsel. “Tidak ada. Kamu jangan bikin masalah, ya. Aku tidak mau bonusku berkurang gara-gara dirimu,” ucapnya pelan, kemudian membelokkan mobil memasuki jalan tol. “Tentu saja. Sebagai jaminan, kamu boleh ambil setengah gajiku nanti jika aku mengacau. Puas?” tegas Ryan dengan wajah cemberut. “Memang kamu sebaik itu?” sindirnya dengan lirikan menyipit penuh keraguan, mulutnya dimajukan dengan perasaan sebal. “Kamu ini, ya! Memang aku di matamu ini seperti apa, sih?” Tiba-tiba saja Ryan merasa kesal, tapi Casilda tidak menggubrisnya sama sekali. Dia sibuk menyetir agar tidak kehilangan mobil dengan lampu belakang yang berkedip-kedip di depannya. Hati pria ini entah kenapa ketika melihat wajah Casilda yang sibuk menyetir, tiba-tiba saja bergejolak mengingat perlakuan Arkan pada pegawai kedai ibunya itu. Wajah ditekuk gelap. Hatinya benar-benar tidak senang. “Tadi aku pikir kamu kenal dengan pria itu. Tiba-tiba saja dia menarikmu seperti kenalan lama. Aku benar-benar sangat terkejut.” Celotehan itu membuat Casilda tertegun kaget. Dia melirikkan matanya ke arah Ryan sejenak dengan perasaan takut-takut. Mau bilang apa? Kenal juga tidak, tapi sudah pernah bertemu dengannya di masa lalu sebagai salah satu korban bullying-nya. Itu bisa disebut apa, sih? Kenalan saja bukan. Casilda memutar bola mata bingung, menghela napas berat. “Kamu ini bicara apa. Aku baru bertemu dengannya kemarin, kok. Mungkin orangnya memang ramah seperti itu,” elak Casilda cepat. Perempuan ini sejak dulu tidak mau masa lalunya diketahui oleh banyak orang. Jadi, dia lebih memilih diam saja dengan komentar mengagetkan itu. Selama bertahun-tahun di tempat tinggal barunya, orang-orang di sekitarnya tahu kalau keluarganya miskin sejak dulu. Kalau tahu sejarah keluarganya yang rumit dan kelakuannya yang sangat buruk di masa lalu, Casilda takut orang-orang akan mulai menjauhinya. Selain itu, dia juga ingin memutus rantai kesialan akibat dikejar-kejar oleh orang-orang asing yang terkadang suka datang dengan banyak alasan aneh untuk meminta uang kepada keluarganya. “Ramah? Di mataku dia tidak punya kesan seperti itu. Yang ada, dia seperti pria sok kuasa dan suka memerintah. Kamu tahu? Tadi aku sempat berpikir kalau dia suka denganmu. Hahaha! Konyol sekali! Pas lihat tunangannya secara langsung, aku jadi berpikir, mungkin aku cuma berlebihan saja karena selama ini kamu, kan, hanya dekat denganku. Satu-satunya pria yang hanya peduli padamu,” kata Ryan bangga. Meski pria itu dulu menyukainya di masa lalu, tapi memang benar Arkan pernah menyukainya. Tebakan yang sedikit tepat itu membuat Casilda memucat dan gemetar. Jika pria itu mendekatinya dengan tunangan secantik itu di sisinya, paling-paling hanya ingin balas dendam saja kepadanya. Toh, tidak ada alasan masuk akal kalau dia masih menyukainya dengan fisiknya saat ini. Bukankah pria cenderung menilai penampilan? Baru bertemu saja dia sudah dicekik olehnya, bagaimana kalau bertemu terus? Hiiiyyy! Tidak ingin hatinya resah dan gelisah, dia menghapus pikiran menakutkan itu dari otaknya, dan lebih memilih mengomentari perkataan aneh Ryan dengan perasaan tidak karuan. “Hah! Apa? Peduli? Kamu? Otakmu rusak, ya?” omel Casilda dengan nadi di pelipisnya berdenyut kesal. Apaan peduli? Selama ini dia juga suka seenaknya kepadanya. Mentang-mentang anak bos. Untung saja Casilda tidak mudah ditindas olehnya yang bodoh dan pemalas itu. “Kenapa meledekku seperti itu? Kalau bukan aku yang meminta ibuku menerimamu kerja di kedai, kamu pikir ibu mau membiarkan gelandangan kurus krempeng sepertimu bekerja di tempat kami? Kamu harusnya bersyukur sudah aku ‘ternak’ dan bisa makan ayam gratis terus sampai gendut seperti sekarang ini!” jelasnya dengan nada penekanan khusus pada kata ‘ternak’. Sura ban berdecit tajam tiba-tiba memekakkan telinga. Casilda membanting mobil secara tiba-tiba, membuat Ryan terbentur jendela, dan memucat di kursi dengan perasaan horor. 'Ternak? TERNAK? Sialan! Kalau bukan anak bos, pasti sudah kutendang keluar dari mobil sekarang juga!' batin Casilda menggeram marah, keningnya berkedut jengkel. “Kamu mau bunuh kita, hah?!” bentak Ryan setelah mobil kembali berjalan normal, raut wajahnya pucat pasi. Kedua tangannya mencengkeram apa saja yang ada di dekatnya untuk menahan tubuhnya. Ponselnya sampai terjatuh gara-gara bantingan setir Casilda. “Maaf!” ucapnya malas dengan wajah cuek, mata datar menatap mobil di depannya. “Kalau menyetir yang benar, dong! Aku masih belum mau mati!” Sementara Ryan mengomel panjang lebar di sampingnya sembari memungut ponselnya, Casilda sibuk tenggelam dalam pikirannya. Benar. Sejak keluarganya jatuh miskin, mereka kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari. Bahkan tidak jarang harus puasa karena beli beras saja tidak mampu, dan masih harus mengandalkan belas kasih orang lain. Saat itu, Casilda masih muda, dan dia yang sejak kecil dimanja luar biasa oleh kedua orang tuanya, mana tahu hal yang namanya cari uang? Gengsinya dulu sangat tinggi untuk bekerja, karena berpikir tentang status, kecantikan, dan kepintarannya itu tidak bisa disamakan dengan orang lain walau sudah jatuh miskin. Namun, lambat laun, rasa lapar dan kemiskinan menggusur semuanya. Casilda menjadi perempuan yang gila uang. Tidak gila juga, sih. Lebih tepatnya, uang menjadi sangat berharga baginya seperti air di padang pasir. Tabungannya dulu bisa dibilang lumayan hingga akhirnya bisa lanjut kuliah dengan usahanya sendiri, meski lanjut dari hasil ujian kesetaraan SMA saja. Tapi, keburuntungan sepertinya masih belum berpihak kepadanya, Casilda terpaksa berhenti dan di-DO gara-gara pembayarannya selalu tertunda akibat harus menanggung biaya pengobatan adiknya yang tiba-tiba saja masuk rumah sakit, dan didiagnosa jantungnya bermasalah. Dia bahkan putus asa untuk mengambil cuti kuliah, toh mustahil juga untuk melanjutkannya dengan keadaan terjepit saat itu. Casilda menghela napas berat. Percuma saja mengingat masa lalu. Masa mudanya sungguh miris dengan banyak ujian yang menguras batinnya. Casilda teringat sindiran dari Arkan. Hatinya melemah. Pria itu menyindirnya yang dinilainya bersikap sok bijak. Bertanya apa yang telah terjadi kepadanya, lantas mengejeknya kalau dirinya mungkin sudah mendapat balasan atas semua dosa-dosanya yang keji di masa lalu. “Apakah aku yang membawa sial pada keluarga ini?” lirih Casilda dengan eskpresi tidak bertenaga. “—as! Casilda! CASILDA!” raung Ryan keras. Syok! Perempuan itu tersadar, dan menoleh sejenak kepadanya dengan sorot mata linglung. “Jangan sampai ketinggalan! Jarak kita sudah jauh di belakang! Mereka mau belok kiri, tuh! Kamu melamun sambil menyetir? Dasar cewek gila! Aku tidak mau mati sebelum kita sah!” Kesabaraan hati Casilda habis! Sudut bibirnya berkedut kesal luar biasa! “Mati sebelum kita sah? Kalau bicara itu jangan ambigu begitu, dong? Kamu bikin aku berpikir yang tidak-tidak, kan? Aku jadi jijik mendengarnya!” koarnya dengan hati panas. Casilda menaikkan kecepatan mobil, dengan segera menyusul rombongan di depannya, kemudian membanting stir ketika rombongan di depan mulai berbelok arah. Ryan tidak menanggapi komentar sengit Casilda, dia kembali fokus menahan tubuhnya agar tidak mengalami benturan kedua kalinya. Menggertakkan gigi kuat-kuat dalam keadaan takut dengan cara menyetir perempuan yang ada di sampingnya itu. Ryan bahkan mulai berteriak-teriak gila karena mereka hampir menyerempet sebuah mobil yang melaju pelan di dekat jendelanya. Sementara mobil van putih bergambar ayam itu sibuk terlihat ugal-ugalan di belakang sana, di mobil sedan mewah dan canggih pada rombongan tersebut, Arkan sang Top Star memantau mobil yang dikemudikan oleh Casilda melalui kaca spion luar. “Mobil pengantar ayam krispi itu sepertinya cukup gila, ya? Dari tadi aku perhatikan mereka mulai mengejar kita gara-gara ketinggalan jauh. Hampir saja menabrak mobil di dekatnya. Kenapa mereka harus ikut, sih? Padahal aku bisa meminta kendaraan dan tenaga tambahan dari agensiku saja. Mereka terlihat tidak profesional sama sekali,” cerocos Lisa dengan kening ditautkan kesal, melipat tangan di d**a dengan pose sangat anggun dan tinggi. Arkan yang duduk di sampingnya hanya bertopang dagu dalam diam. Sejak naik ke dalam mobil, pikirannya terusik dengan pria ceria yang baru ditemuinya tadi. Siapa pria itu? Kenapa dia sangat dekat dengan si Ratu Es? Pikiran ini sangat mengganggunya. Dari gaya bicaranya, sepertinya pria itu lebih tinggi posisinya daripada Casilda di tempat kerjanya. Apakah dia bosnya? Jadi bisa bersikap sok dekat dengan perempuan berkacamata tebal itu? Tapi, dia terlihat serampangan dan bodoh dari pembawaan dan sikapnya meski memiliki wajah yang terbilang lumayan. Sang aktor berdecak kesal dengan perasaan tidak puas. Selama dalam perjalanan itu, Arkan sibuk berpikir dengan banyak terkaan dalam hatinya, dan matanya selalu terpaut pada kaca spion, mengawasi mobil van putih di belakang mereka. *** Beberapa saat kemudian, akhirnya rombongan itu tiba di sebuah panti asuhan kecil yang didempet oleh dua rumah besar, bercat kuning dengan atap merah. Terdapat papan nama pada bagian depan atas rumah panti asuhan itu. Tertulis jelas: Panti Asuhan Kasih Ibu. Casilda menghentikan mobilnya untuk menunggu antrian mobil memasuki tempat parkir. Meski kecil, tapi panti asuhan itu punya halaman depan yang sangat luas. Di sana sudah berdiri sebuah tenda mewah dengan dekorasi indah, berisi deretan kursi-kursi cantik, dan lantainya dilapisi menggunakan karpet merah, terlihat sangat bagus dan mahal, serta ditata sedemikian rupa hingga terkesan megah nan menawan. Yang membuatnya tidak biasa adalah hadirnya beberapa orang penting sebagai tamu undangan dan para wartawan yang siap untuk meliput. “Wuah, benar-benar ramai, ya? Rasanya seperti sedang menghadiri acara resepsi pernikahan saja, bukan ke panti asuhan. Top Star memang beda!” komentar Ryan dengan ekspresi kagum, langsung lupa dengan keadaannya yang hampir sekarat gara-gara cara mengemudi Casilda. Hati perempuan berkacamata tebal di sebelahnya sedikit gugup. Tempat itu sangat ramai dan dipenuhi oleh orang-orang berpakaian bagus, itu artinya mereka bukan orang biasa. Beberapa di antaranya bahkan ada yang berlalu-lalang memakai batik resmi. Apakah ada orang pemerintahan daerah sini yang ikut datang ke acara promosi drama pria itu? Sembari bertanya-tanya dalam hati, Casilda mulai memajukan mobilnya memasuki tempat parkiran di sana.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD