Sebelum Yuri tiba di sekolah, ia berdebat terlebih dahulu dengan Anna. Seribu satu alasan ia lontarkan sebagai alasan tidak sekolah hari ini hanya untuk menghindari Zacky.
“Aku lagi enggak enak badan, Mi.” Alasan itu yang Yuri pakai setelah keluar dari kamar dengan keadaan masih mengenakan piyama.
Anna melangkah mendekat, menangkupkan punggung tangan di dahi dan pipi Yuri sambil mengernyit. “Enggak panas, kok. Mandi sana.” Kalimat itulah yang terlontar dari mulut Anna. Selanjutnya Yuri mengeluarkan alasan-alasan lain walau gagal dan ujung-ujungnya menuruti Anna.
Ya, akhirnya Yuri tiba di tempat yang ia hindari hari ini. Ia memasuki gerbang sekolah dan melihat orang yang ia hindari, Zacky, di pelataran parkir dan baru saja turun dari motor. Mereka sempat beradu pandang tapi dengan cepat Yuri membuang wajah dan setengah berlari menuju kelas.
Melihat Yuri yang terlihat jelas menghindar, memicu tawa Zacky dan membuat temanya yang berdiri tak jauh darinya terheran-heran.
“Sial! Kenapa harus ketemu dia sih!” Langkah Yuri semakin cepat hingga tak sadar seseorang memanggil dan mengejarnya dari belakang.
“Yuri!”
Cowok yang memanggilnya tadi menarik lengan Yuri, membuat tubuhnya terdorong ke belakang dan terhindar dari sebuah mobil yang hampir menyerempetnya karena berbelok tanpa memberi lampu sein . “Kamu enggak apa-apa?” Yoga melihat wajah Yuri pucat dan terdiam karena kaget.
Sementara mobil sedan berwarna putih itu terus melaju menuju parkiran mobil dan terhenti di sana.
Yoga dan Yuri melihat Zacky berlari mendekati mobil itu yang baru saja terparkir.
Zacky mengetuk jendela mobil tepat di bagian supir. “Keluar.” Ia meminta si pengemudi dan masih menahan emosi. Namun, karena tak ada balasan dari pengemudi yang tidak terlihat karena kacanya terlalu gelap itu membuat Zacky kembali mengetuk jendela dengan kasar. “Keluar!”
Beberapa teman Zacky yang sejak tadi menyaksikan, berlari berhamburan ke arah Zacky. Mereka cemas Zacky melakukan hal ekstrim mengingat Zacky tidak pernah takut pada siapapun, sekalipun Kepala Sekolah.
Setelah mesin mobil dimatikan, seseorang dari dalam mobil itu membuka pintu lalu turun dari mobil.
Kedua mata Zacky membulat dan terkejut melihat orang yang berdiri di depannya seorang cewek yang mengenakan seragam sekolah dan menutupi kedua matanya dengan kaca mata hitam.
“Ada apa?” Cewek itu membuka kaca mata hitamnya, menaruhnya di dalam saku kemeja yang terlihat masih kaku lalu menatap sinis Zacky.
Telunjuk Zacky menunjuk wajah cewek itu dan mengernyit. “Lo bukannya cewek yang tadi malam?” tebaknya yang yakin setelah melihat perawakan tubuh cewek itu sama persis dengan cewek yang ia temui. Tinggi semampai, berambut sebahu, cantik dan menjengkelkan.
Kedua tangan cewek itu menyilang di depan d**a, sebelah sudut bibirnya terangkat dan tatapannya sama seperti tadi. “Ternyata dunia ini sempit. Gue enggak nyangka sekolah terkenal ini ternyata ada murid yang senang nyerobot antrian,” cibirnya, senang melihat respon raut wajah Zacky yang kesal.
“Apa?” Zacky setengah tertawa. Ia membaca nama di emblem seragam cewek itu dan yakin belum pernah melihat cewek itu sebelumnya di sekolah.
Tania Riyanti.
Nama yang bagus tapi tidak dengan perilaku yang kasar dan tidak sopan, menurut Zacky.
“Sebaiknya lo enggak usah bahas itu, tapi minta maaf karena lo hampir menyerempet dia.” Tangan Zacky menunjuk ke arah Yuri yang masih terdiam di tempat tadi, tapi tidak dengan teman-temannya yang berlari mendekat penuh penasaran.
“Ada apa, Bro? Butuh bantuan?” tanya salah satu teman Zacky yang berkepala plontos memegang bahu Zacky. “Cakep juga nih cewek,” bisiknya yang terdengar jelas oleh Tania.
Zacky mengabaikan ucapan temannya, ia beradu pandang dengan Tania dan menanti itikad baik Tania.
“Minta maaf?” Alis kanan Tania melengkung ke atas. “Gue enggak lakuin kesalahan untuk apa minta maaf? Lo menuduh gue hampir menyerempet dia? Itu salah dia yang jalan enggak hati-hati. So, enggak ada alasan gue untuk minta maaf.” Senyumnya mengembang melihat Zacky berjalan selangkah mendekat dengan kedua matanya yang menatapnya tajam dan memaksa Tania menengadahkan kepala.
Telunjuk Zacky terjulur di depan wajah Tania. “Lo memang hampir menyerempet dia, karena temannya berhasil mendorong dia ke belakang. Kalau enggak, mungkin lo sudah nabrak dia dan gue pasti kasih pelajaran buat lo.”
“Sayangnya itu enggak terjadi," sahut Tania cepat. "Buktinya dia baik-baik aja. Enggak lecet sama sekali.” Senyumnya memudar lalu melangkah meninggalkan Zacky yang mengumpat kesal. Tania pun berjalan penuh percaya diri meski semua puluhan mata menatapnya dari atas sampai bawah seperti menganggapnya seorang artis. Ia kembali meraih kaca mata hitamnya dari saku kemeja seragam barunya lalu mengenakannya lagi sambil berjalan mencari ruang TU.
“Sial!” Zacky melihat Tania yang terus berjalan. teman-temannya memberinya pertanyaan tapi tidak satu pun ia menjawab pertanyaan mereka. Pandangannya fokus pada Tania, tapi teralihkan setelah melihat Yuri dan Yoga berjalan menuju kelas. “Yuri!”
Zacky berlari mengejar mereka yang tak lama Yuri menoleh dan menghentikan langkahnya. “Kamu enggak apa-apa?” Melihat Yuri mengangguk.
“Ya. Aku baik-baik saja. Karena Yoga…,”
“Syukurlah.” Zacky menyela ucapannya, melirik Yoga yang setengah tertawa lalu ia pergi meninggalkan mereka setelah salah satu temannya merangkulnya menuju kantin.
Yuri terdiam melihat Zacky yang berjalan semakin menjauh. Tiba-tiba bibirnya melengkung ke atas dan wajahnya merona lalu tersadar setelah Yoga mengajaknya ke kelas.
Bel sekolah sudah berdering sepuluh menit yang lalu tapi suasana kelas 2 yang paling ujung terdengar ramai. Guru PPKN yang jadwalnya hari ini memberi pelajaran, belum tiba di kelas, tidak seperti biasanya yang tidak pernah terlambat.
Zacky duduk bersandar dengan kedua kaki di atas meja sementara tangannya sibuk memainkan ponsel, mengetik pesan yang ia kirimkan untuk seseorang.
‘Gimana tadi malam bisa tidur nyenyak?’ Zacky mengirimkan pesan itu yang tak lama mendapat balasan.
‘Ya. Kenapa?’ Lawan chatnya membalas menambahkan emoji melengkungkan bibir ke bawah.
Senyum Zacky mengembang, ia kembali mengetik lagi. ‘Enggak apa-apa. Mau lagi enggak?’
Tidak ada balasan. Zacky menanti sampai setengah menit tapi tetap saja tidak ada notifikasi balasan hingga akhirnya pintu kelas terbuka dan seorang pria bertubuh kurus dan tinggi memasuki kelas.
Zacky bergegas menurunkan kakinya dan membalas sapa guru itu bersamaan dengan siswa yang lain. "Pagi juga, anak-anak." Sang guru membalas sapa lalu menyampaikan sesuatu. "Hari ini Bapak mau memperkenalkan kalian pada teman kalian yang baru,” kata sang guru yang ucapannya disambut dengan berbagai pertanyaan dan ucapan yang membuat seisi kelas menjadi ramai. “Tolong tenang. Kalau enggak tenang, Bapak enggak mau lanjut,” ancamnya yang tak lama suasana kelas pun menjadi kondusif.
Sang guru tadi berjalan menuju pintu yang sejak tadi setengah terbuka. Ia membuka pintu lebar lalu menyilakan masuk seorang gadis ke dalam kelas. “Silakan kamu perkenalan diri di depan,” ucapnya.
Gadis cantik itu melangkah menuju depan kelas lalu tersenyum. Tepatnya tersenyum pada Zacky yang tak lama berkata, “Oh shit.”
❤️❤️❤️
Istirahat siang ini Yuri enggan ke kantin bukan karena Anna melupakan memberinya uang jajan, tapi Anna sudah menyiapkan bekal kesukaan Yuri. Dua tangkup sandwich yang berisi irisan daging ham, keju lembaran, selada, tomat, timun Jepang lalu ditaburi mayones dan saus sambal di dalamnya, sudah cukup untuk mengganjal perutnya hingga siang nanti.
Namun, saat ini Yuri menyantap setangkup sandwich itu di dalam kelas, bukan di taman ataupun di lantai empat yang kerap diramaikan siswa.
Walaupun Zacky sudah ‘menolongnya’ tadi pagi, Yuri masih enggan untuk bertemu dengannya lagi. Itu sebabnya, berada di dalam kelas bersama beberapa temannya yang melakukan hal yang sama adalah solusi yang terbaik, apalagi sambil memandangi langit yang perlahan sedikit gelap.
Sayangnya, ‘persembunyian’ Yuri diketahui Zacky. Cowok itu memasuki kelas Yuri, berjalan mendekat lalu menarik kursi dan duduk di samping Yuri. Tangannya meraih setangkup sandwich dari kotak makan yang belum tersentuh lalu menggigitnya.
Yuri menghela napas kesal memandangi Zacky yang menikmati setiap gigitan sandwich itu dan tampak lahap. “Apa kamu enggak bisa sehari aja enggak ganggu aku?”
“Enggak.” Zacky menelan baik gigitan roti itu, sebelah tangannya meraih botol minuman Yuri lalu meneguknya dengan kepala mendongak dan mulut yang terbuka.
Bias sinar matahari yang masih terlihat dari kaca jendela seakan memberi efek cahaya di wajah Zacky. Ia benar-benar terlihat tampan seperti halnya aktor luar negeri yang sering Yuri lihat di YouTube. Sangat sempurna.
“Karena aku cuma punya waktu empat hari buat ganggu kamu,” sambung Zacky yang membuyarkan lamunan Yuri.
Yuri terkesiap, ia meraih botol minuman lalu meneguknya cepat, tapi tersadar. Zacky baru saja meminum air itu dari botol yang sama. Ia tersedak lalu terbatuk-batuk. Ia juga melihat Zacky bergegas bangkit, mengambil beberapa lembar tisu dari meja temannya lalu kembali mendekat dan menyodorkan tisu itu cepat. “Thanks.”
“Lain kali pelan-pelan minumnya.” Zacky kembali melanjutkan gigitan di sandwich yang masih tersisa sedikit.
Secara perlahan senyum Yuri mengembang melihat Zacky menghabiskan gigitan terakhir sandwich itu. “Maksudku, thanks kamu sudah menegur cewek tadi.” Yuri terpaksa menjelaskan dan mengungkapkan kalimat yang sejak tadi pagi tertahan di hati. Anna selalu mendidiknya untuk tidak segan mengucapkan kata ‘terima kasih’ sekecil apapun kebaikan yang orang lain lakukan untuknya, sekalipun orang itu Zacky.
Kepala Zacky terangguk-angguk. “Itu kewajibanku menegur dia. Karena kamu…,” Tatapannya lekat menatap dua bola mata cantik Yuri. “Milikku.”
Setelah kata itu terucap, tiba-tiba petir menggelegar hebat, langit semakin gelap, matahari menghilang dan tak lama tetesan hujan turun perlahan. Mereka saling berpandangan disaksikan hujan yang membasahi jendela, tapi Yuri berdehem mengakhiri adegan yang hanya membuat dirinya terhanyut. Adegan bahwa hubungan mereka hanya sekadar menjalani tradisi sekolah. Bukan hubungan dua orang yang saling jatuh cinta seperti novel yang sering ia baca. Lagipula ia sadar dirinya masih pelajar, walau ingin merasakan dicintai dan mencintai di masa remajanya, tapi tidak dengan Zacky. Baginya Zacky terlalu sempurna. Ia tidak sanggup menjadi kekasih dari cowok yang menjadi rebutan banyak cewek di sekolah, apalagi anak orang kaya.
Ya, Yuri sadar diri. Walaupun tahu Zacky juga menyukainya.
“Kenapa kamu enggak balas pesanku?” Zacky masih menatapnya meski Yuri membuang wajah.
Seperti ada dorongan untuk tidak mengabaikan Zacky, Yuri membalas tatapan Zacky, tapi ia terkejut melihat setitik noda mayones melekat di sudut bibir Zacky. Tangannya reflek mengambil tisu di atas meja lalu menyekanya cepat.
Sapuan tangan Yuri terhenti setelah Zacky mencengkram pergelangan tangannya dan membuat Yuri terheran.
"Aku tidak bisa balas karena ada guru.” Yuri membuat alasan, ia tahu Zacky tidak suka diabaikan. Ia harus menjawabnya. “Lagi pula buat apa kamu tanyain tidurku nyenyak atau enggak?” Dahinya berkerut. “Enggak penting banget,” gumamnya, kembali membuang wajah.
“Penting.” Zacky bangkit, mendorong kursi ke belakang. Ia membungkuk dan mendekatkan bibir di telinga Yuri. “Karena aku akan melakukannya lagi.” Senyumnya mengembang puas lalu melambaikan tangan sambil berjalan dan berkata, “Thanks sandwichnya. Istirahat besok aku ke sini lagi.” Ia berbalik melihat Yuri terdiam lalu kembali melanjutkan langkahnya menuju pintu.
“Ups.” Yoga terkejut dirinya berpapasan dengan Zacky saat hendak memasuki kelas. Sangat jelas segurat kebahagiaan terpancar dari wajah satu-satu cowok yang menjadi rivalnya. Cowok yang kerap membuatnya kesal. “Empat hari lagi,” ledeknya, sengaja mengatakannya sambil menyeringai, tapi tak ada respon.
Zacky mengabaikan dan terus melangkah di sepanjang koridor sambil bersiul.
“Sial!” umpatnya pelan. Yoga memasuki kelas melihat Yuri merapikan meja yang atasnya terdapat kotak makan lalu memasukkannya ke dalam tas. “Apa dia ganggu kamu lagi?” Jika menebak dari wajah Yuri yang berseri-seri, ia yakin sesuatu sudah terjadi di antara mereka. Sesuatu yang mungkin menjadi awal kisah hidup mereka, begitu juga dengan dirinya.
Dan, benar saja. Yuri menggeleng, kedua pipinya merona, bibirnya melengkung ke atas dan kilau matanya seakan bicara, ‘Sudah jatuh cinta dengannya’.
❤️❤️❤️
“Bagaimana sekolah kamu yang baru?” Pertanyaan itu memecah keheningan di meja makan persegi panjang yang mewah tapi hanya diisi dengan tiga orang saja.
Pertanyaan itu ditujukan pada Tania yang sejak tadi melahap potongan ikan bakar dari pada menyuapi mulutnya dengan nasi.
Tania mengangkat kedua alis. “Not bad.” Menjawabnya sambil mengunyah. “Gedung sekolahnya lumayan bagus, aku suka seragamnya tapi ada satu orang yang enggak aku suka.” Ia terpaksa menyudahi makan malamnya setelah menghabiskan satu ekor ikan bakar.
Suara tawa kecil terdengar dari Jimmy Ellison. Ia menatap lekat wajah cantik putri bungsunya yang paling manja dan tidak pernah berubah meski sudah hampir 4 tahun lamanya tinggal di Kanada. Sebagai ayah, tentu saja prihatin mendengar ucapan Tania. Walaupun tahu Tania terlalu selektif memilih teman. “Apa dia cowok?” tebaknya.
Kepala Tania mengangguk. “Yup. Dia ganteng, but he’s annoying.” Memajukan bibir bawahnya, pertanda sungguh-sungguh tidak menyukai cowok yang ia maksud.
“Benarkah? Seberapa ganteng apa dia? Zayn Malik? Chris Evans atau mirip dengan mantanmu yang mommy boy itu?” Pertanyaan Jimmy seakan mengolok-olok mantan pacarnya, cowok Kanada.
Menjawab pertanyaan Jimmy tidaklah mudah. Zacky tidak mirip dengan Zayn Malik, Chris Evans ataupun Chase White, mantannya. Zacky seperti perpaduan bule Aussie dan Asia. Tidak bosan dilihat, tapi tidak dengan sikapnya yang kasar dan menyebalkan. Namun, dibalik sikapnya yang tidak menyenangkan, ia menarik. Zacky satu-satunya cowok yang menarik di sekolah itu.
“No, Pa.” Tania menggeleng. “Dia enggak mirip mereka, tapi…,” Senyumnya mengelak kesan Jimmy tentang Zacky. “Dia menarik.”
“Siapa namanya, Sayang?” Kali ini Eva angkat bicara setelah sekian lamanya ia menikmati lauk yang terhidang dan menyimak ucapan mereka. “Siapa tahu kita bisa beri dia sedikit kejutan,” tawarnya dengan senyum tipis.
“Kejutan?” Tania mengernyitkan dahi yang tak lama senyumnya mengembang dan paham arti kata Eva. Tanpa ragu ia pun memberitahu mereka dan berhasil membuat wajah Eva pucat. “Zacky. Namanya Zacky Jones.”