Bertaruh Untuk Menjauh

1884 Words
“Kamu jadi pacar aku.” Kalimat itu terus terngiang-ngiang di pikiran Yuri sejak kemarin siang. Ia sulit tidur dan masih teringat raut wajah Zacky yang mengatakan kalimat itu serius dengan kilau mata penuh kesungguhan. Bukan gurauan atau prank. Namun, Yuri sadar dirinya seorang pelajar yang kewajiban utamanya belajar, bukan menjalin hubungan seperti yang teman-temanya lakukan. Ia ingin menjadi wanita karier yang sukses dan bisa membahagiakan orang tua dan adik satu-satunya. Pacaran hanya bisa membuat prestasinya turun, karena Yuri menargetkan tahun ini harus bisa mendapatkan beasiswa. Setidaknya bisa meringankan beban ayahnya yang sudah menyekolahkannya di sekolah mahal.  “Yuri?” Yuri mengerjap-ngerjapkan mata, melihat Anna berdecak dan menggeleng. “Sampai kapan kamu ngelamun? Kamu enggak sekolah?” Ucapan Anna membuat Yuri tersadar dari lamunan di meja makan dengan kedua tangan memegang sandwich dan memaksanya melirik jam di dinding. “Ya ampun aku terlambat, Mi!” Yuri bangkit, tangannya menyambar ransel lalu bergegas berlari menuju pintu utama tapi ia berbalik dan mencium pipi Anna. “Aku berangkat dulu.” Lalu kembali melanjutkan langkahnya tergesa-gesa. Tiba di teras, napas Yuri seakan terhenti melihat motor sport merah terparkir di depan gerbang dan cowok yang tidak lain adalah Zacky, menunggangi motor lengkap dengan helm full face.  Zacky menggoyangkan kepala ke arah jok belakang. “Buruan naik,” pintanya tergesa-gesa. Tak ingin berpikir lama dan tak ada pilihan lain karena sudah terlambat, Yuri menaiki motor dan duduk menukik di belakang Zacky sambil mengenakan helm. “Pegangan,” ucap Zacky lagi, mengingatkan Yuri seperti kemarin. Kedua mata Yuri berputar cepat. “Iya, iya.” Tangannya berada di kedua sisi pinggang Zacky seperti berpegangan pada ojek online. Tanpa aba-aba, Zacky melajukan motornya dan memaksa Yuri melingkarkan kedua tangan di pinggangnya setelah menambah kecepatan. Tentu saja membuatnya tersenyum lebar merasa Yuri tak lagi malu-malu menaiki motor. Tidak seperti kemarin. Kemampuan Zacky yang mengendarai motor memang membuat jantung Yuri berdetak kencang laksana diboncengi seorang pembalap MotoGP. Motornya meliuk-liuk di jalan raya seakan berada di lintasan sirkuit ternama. Karena takut terjatuh, genggaman Yuri semakin erat dan membuat kedua dadanya membentur hangat punggung Zacky. Akhirnya setelah menghabiskan waktu lima belas menit dan Yuri merasakan bokongnya pegal, mereka tiba lima menit sebelum bel masuk berdering. Pemandangan kedatangan mereka berdua yang menaiki motor yang sama, menjadi perhatian para siswa. Terutama para siswi yang melihat iri Yuri turun dari motor Zacky selama ini tidak pernah membonceng siswi manapun meski banyak siswi yang cantik selain Yuri di sekolah mereka.  “Thanks.” Yuri turun dan memberikan helm, ia merasa tak nyaman dengan beberapa puluh pasang mata yang melirik ke arah mereka sambil mencibir. Ia terpaksa mencari cara agar pandangan mereka tidak terpaku pada dirinya dan Zacky yang hanya menjadi bahan gibahan. “Aku ke kelas dulu.” Mencoba melangkah menuju kelas tapi langkahnya terhenti setelah Zacky menarik tangannya dan membuatnya berbalik. “Ada apa?”  “Pamit yang sopan, Yuri.”  Lagi-lagi Zacky kembali pada sifatnya yang arogan dan anehnya ia semakin menjadi-jadi ketika berada di sekolah, memaksa Yuri tidak mempunyai pilihan lain selain mengiyakan permintaannya. Bibir Yuri melengkung ke atas, meski terlihat dipaksakan. Ia menekuk sebelah kakinya dengan kedua tangan mengangkat sedikit rok laksana wanita di zaman Victoria. “Aku permisi dulu, Mister.” Senyumnya memudar lalu berbalik dan berlari kecil menuju kelas. “Yuri, Yuri.” Senyum Zacky mengembang dan merasa puas, tapi melihat cowok tampan yang tersenyum menyambut Yuri membuat senyumannya memudar dan menggerutu. “Shit.” “Di mana kalian bertemu?” Yoga menyapa Yuri di depan kelas dan mengikuti langkahnya ke dalam. “Apa dia menjemput kamu di rumah?” “Ya.” Yuri terus melangkah menuju loker yang berada di belakang kursi Yoga. Ia menaruh tas setelah mengeluarkan buku dan alat tulis. “Dia sudah tahu rumahku. Dan dia…,” Ia melangkah menuju kursi lalu duduk dan menoleh ke belakang. “Bertamu di rumahku.” “Apa?” Yoga cukup terkejut. Ia tidak menyangka Zacky senekat itu mendekati Yuri. Terlebih lagi mendatanginya hingga ke rumah. “Pantasan aja dia…,”  Suara bel masuk menghentikan ucapan Yoga yang tak lama seorang guru pria masuk menyapa mereka Dan memaksanya mengakhiri pembicaraan mereka. ❤️❤️❤️ Suara erangan dan derit ranjang memenuhi suite room hotel yang menjadi saksi bisu sepasang manusia yang siang ini bercinta penuh hasrat. Sementara di luar sana, hujan turun dengan deras membasahi tanah dan menambah keintiman mereka. Pria tampan yang usianya empat puluh tahunan itu memiliki sepasang mata tajam, rahang tegas yang ditumbuhi bulu-bulu halus, tubuh tinggi dan tegap itu menengadahkan kepalanya dan mengerang panjang setelah mencapai kepuasaan lalu mengakhiri dengan sebuah kuluman pada wanita cantik yang terbaring di bawahnya.  Pria itu tersenyum puas lalu berkata, “Kau tahu, dua minggu tidak bertemu denganmu. Aku merindukanmu, Eva.” Untuk kesekian kalinya bibirnya menarik dan menghujamkan lidah ke dalam mulut Eva Maria, wanita cantik yang tubuhnya masih seksi dan kencang laksana gadis muda. Seakan tak ingin mengakhiri permainan ranjang pria yang bernama William Jones itu, Eva membalas semua kuluman William. Kedua tangannya mengusap wajah dan rambut William yang basah. Ia mengakhiri kulumannya setelah membuka mata dan menatap sayu William. “Aku juga, Will.” Usapannya terhenti setelah mendengar dering ponsel dan memaksa William menjatuhkan tubuhnya di samping. “Aku harus mengangkatnya. Itu pasti Jimmy.”  Eva meraih ponsel di atas nakas dan tebakannya tepat. Ia duduk bersandar dengan sebelah tangan meraih dan menutupi tubuh polosnya dengan selimut hingga batas d**a lalu bicara. “Hallo, Honey.” Menyapa Jimmy dengan suara pelan, sementara matanya melirik William yang bangkit mengenakan kimono. Telunjuk William menunjuk ke arah sofa tanpa bicara, Eva mengangguk dan melanjutkan pembicaraannya. “Kau di mana, Sayang?” Jimmy berdiri di depan jendela kaca yang pemandangannya berupa gedung-gedung tinggi dan puluhan meter di bawahnya terdapat jalan raya yang dipenuhi kendaraan yang lalu lalang. “Apa kau sedang photoshoot?” tanyanya lagi sambil menatap sebuah gedung tinggi yang estetik dan paling menonjol diantara gedung tinggi lainnya. Selama sebulan sekali yang dilakukan Eva selain menghabiskan uang Jimmy, ia melakukan photoshoot sebagai model pada sebuah situs website di bawah naungan produk baju merk ternama. Jimmy tahu benar kegiatan istrinya meski tidak pernah memaksa Eva untuk mencari uang. Namun, tebakan Jimmy salah. Eva berada di sebuah tempat yang tentu luput dari pengamatannya sebagai suami. Menjawab panggilan Jimmy, Eva menjawab, “No, Honey. Teman kerjaku mengajakku ke Bogor. Kami sedang survei tempat untuk photoshoot minggu depan dan kami harus bermalam di sini.” Membuat jawaban logis, karena yang ia katakan memang benar berada di Bogor, tapi tidak untuk survei. Jimmy selalu memahami kesibukan istri-istrinya terlebih lagi terhadap Eva. Sebagai suami yang baik tentu saja ia tidak melarang. Seperti yang ia katakan ini pada Eva, “Jaga dirimu baik-baik, Sayang. Jika kau kesulitan, kabari aku. Aku akan mengutus orang untuk menjemputmu besok.” Setidaknya itulah kalimat yang sering ia lontarkan sebagai bukti perhatiannya sebagai suami pada Eva. Seperti biasa. Eva sudah menduga Jimmy bersikap seperti itu. Tidak pernah mencurigainya sama sekali. Senyumnya pun mengembang, rencananya berjalan sesuai keinginannya untuk bersama William hingga besok siang. “Thanks, Honey. Aku akan mengabarimu lagi besok. I love you.” Ia menutup panggilan Jimmy setelah mendengar balasan kalimat yang sama lalu bangkit mengenakan kimono. “Apa dia mencurigaimu?” William memalingkan pandangannya dari jendela kaca, menoleh ke arah Eva yang sedang membuat ikatan simpul di kimono. “Tidak.” Eva berjalan dengan sebelah tangan menyugar rambutnya yang panjang sepunggung. “Dia tidak pernah mencurigai ataupun cemburu padaku.” Langkahnya terhenti di sofa lalu duduk dan meraih sebatang rokok. Tangan William menjentikkan macis dan mendekatkan ke arah rokok yang sudah terselip di kedua bibir Eva. Ia duduk di samping Eva yang menyandarkan punggung di sofa. “Benarkah? Mengapa dia selalu membanggakanmu setiap kali aku bertemu dengannya?” Eva sedikit terkejut, dari lubang hidungnya meluncur pelan asap putih. Ia setengah tertawa mendengar ucapan William. “Membanggakanku? Ia hanya bisa membanggakan kecantikanku dan sudah memberinya anak perempuan. Tidak dengan yang lain.” ucapannya terdengar seperti sebuah penyesalan. Bukan hal yang membuatnya bahagia sebagai seorang istri dari pengusaha ternama. “Aku hanya wanita miskin yang ia asuh lalu ia nikahi. Aku tak punya kuasa menolak tawarannya untuk menikah meskipun aku sudah menganggapnya sebagai ayah angkat. Tapi … ini sudah suratan takdir, Will. Masa mudaku kuhabiskan hanya bersama dia. Aku bahkan tidak pernah bercinta dengan pria lain sebelumnya dia menikahiku, padahal saat itu banyak pria yang mendekat dan menginginkanku sebagai kekasih. Ironis bukan?” Ia tersenyum terpaksa dan berusaha untuk tidak menangisi perjalanan hidupnya sebagai istri kedua Jimmy. William menggeser bokongnya untuk duduk lebih dekat. Tangannya merangkul bahu Eva lalu menciumi pipinya. “Tapi sekarang kau sudah mendapatkan aku, Sayang.” Pandangannya tertuju pada bibir Eva yang terlihat seksi ketika mengembuskan asap rokok. Senyum Eva kembali terlihat. “Ya, Will. Sebagai kekasih gelapku.” “Awasi dia baik-baik. Jangan sampai mereka mencurigaimu. Kali ini aku akan bertindak.” Sebelah sudut bibir Jimmy terangkat. “Memisahkan mereka dengan cara lembut.” ❤️❤️❤️ Sorak sorai terdengar dari lapangan basket ketika Zacky berhasil melakukan jump shot di keranjang lawan. Puluhan gadis yang menonton, berteriak memanggil dan mengelu-elukan Zacky tapi tidak dengan Yuri yang berjalan di pinggiran lapangan itu bersama Yoga. Sebelah tangan Yuri memegang segelas air jeruk dalam kemasan gelas plastik. Saat Yuri berniat untuk meminumnya melalui sedotan, seseorang merebut dari tangannya dan bergegas meminumnya cepat, secepat nafasnya yang terengah-engah dan wajahnya dibasahi keringat. “Zacky?!” Yuri gusar melihat Zacky yang tiba-tiba merebut minuman itu dari tangannya dan menghabiskannya cepat. Zacky menyodorkan ke tangan Yuri gelas yang kini hanya menyisakan potongan es batu itu sambil tersenyum lebar. “Thanks.” Lalu berlari dan kembali ke lapangan. “Dasar b******k!” Kalimat itu Yuri lontarkan setengah berteriak tapi sayangnya ucapannya dikalahkan dengan sorak sorai gadis-gadis yang memberi semangat untuk Zacky yang melanjutkan pertandingannya. “Mau aku beliin yang baru?” tawar Yoga. Ia melirik Zacky yang kembali berhasil melakukan lay up shoot dan memenangkan pertandingan. Dengan lugas Yuri menolak tawaran Yoga. “Enggak usah.” Ia tidak enak hati menerima kebaikan Yoga yang kerap mentraktir makanan dan minuman. “Kamu duluan. Aku ke kantin dulu.” Yuri berbalik dan bermaksud melangkah untuk kembali ke kantin tapi Yoga menarik tangannya. “Kenapa?” Bibir Yoga melengkung ke atas. “Kita pergi sama-sama, ok?” Ia tidak melepaskan genggamannya sebelum bola basket mendarat kepalanya dan memaksanya berbalik melihat pria yang berhasil melempar bola itu ke arahnya. Sepasang mata itu menatap tajam Yoga tanpa senyum lalu mengatakan, “Lepasin tangan lo. Kalau enggak, lo harus bertanding lawan gue.” Zacky menantangnya serius. Kilau matanya memperlihatkan kecemburuannya terhadap Yoga yang justru menggenggam tangan Yuri lagi. “Oh ya?” Yoga membalasnya dengan senyum sinis, ia senang melihat Zacky dengan raut wajah seperti itu. “Apa yang gue dapetin kalau gue menang?” Membalas tantangan Zacky, walau sudah melihat kehebatan Zacky bukan berarti dirinya takut. Kedua kaki Zacky melangkah mendekati Yoga dan terhenti tepat beberapa jengkal saja. Karena tinggi tubuh mereka hanya berbeda beberapa inchi, mereka sama-sama mengangkat dagu. Pandangan Zacky sempat tertuju pada genggaman Yoga lalu menatap yoga dan berkata, “Kalau lo menang, selama sebulan gue enggak akan ganggu Yuri dan menghalangi lo dekatin dia. Tapi kalau lo kalah…,” Ia menyeringai dengan pandangan sama seperti tadi. “Lo harus traktir gue setiap hari selama sebulan. Gimana? Deal?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD