Dua - Gerbang

1939 Words
Arkin bersama kedua orang tuanya naik ke bagian atas kapal setelah mobil terparkir dengan aman. Arkin menggoyangkan lengan mamanya antusias saat tiba di tengah laut, mereka melihat sebuah pulau besar yang di tengah-tengahnya berdiri sebuah sekolah yang tinggi dan juga besar. Pulau yang hanya bisa dilihat oleh para manusia yang memiliki kekuatan magisㅡ terutama para Patriani, mereka yang berasal dari Keturunan Penyihir Asli. Medlus, mereka yang orang tuanya Penyihir Asli dan Stulusㅡ juga bisa melihat pulau dan sekolah itu. Hanya para Stulus saja yang tidak bisa melihatnya. "Itu sekolah Arkin? Nanti Arkin sekolah di situ?" tanya Arkin tanpa melepas pandangan dari depan. Mama mengangguk, "Iya, bagus kan sekolahnya?" Arkin pun mengangguk, "Hu'um! Besar lagi!" Mama terkekeh pelan, "Jangan nakal nanti di sana ya." Arkin mengangguk patuh mendengar ucapan Mama, "Of course. Arkin kan good boy." Mama pun mengacak rambut Arkin pelan karena gemas. "Uhm... Kalo orang biasa nggak bisa lihat ya, Ma?" Arkin sedikit berbisik saat menanyakan ini. Mama mengangguk pelan, "Iya. Soalnya ada yang jaga tempat itu." Arkin kini menoleh ke arah Mama. "Iya? Siapa yang jagain?" Mama terkekeh, "Kalo siang dijaga sama Peri, terus kalo matahari mulai terbenam gitu dijaga sama naga." Arkin membulatkan matanya, "Naga betulan, Ma?" Mama kembali terkekeh dan mengangguk. "Iya, Sayang. Nanti Arkin pasti liat kalo udah di sana. Dia keluar dari laut kalo matahari mau terbenam." Arkin pun mengangguk, ia jadi tidak sabar hendak melihat naga itu. Kapal tiba di Kotabaru satu jam kemudian. Karena mobil Ayah masuk paling akhir, mereka pun bisa keluar lebih awal. Ayah langsung melajukan mobilnya ke sebuah toko yang menjual peralatan sekolah untuk Arkin. Bagi para Stulusㅡ manusia biasa, orang bodohㅡ toko yang mereka datangi hanyalah sebuah toko mainan yang menjual semua hal yang berhubungan dengan sihir. Mereka tentu saja tidak tahu jika dibalik tirai berwarna ungu itu terdapat berbagai macam benda-benda yang memiliki kekuatan sihir asli. Toko itu tidak sekecil yang terlihatㅡ tentu saja. Di dalam toko itu masih ada bangunan besar yang menjual berbagai macam kebutuhan sekolah bagi anak-anak yang hendak menempuh pendidikan sihir. Ayah dan Mama sempat menyapa pemilik toko, tak lupa mengenalkan Arkin pada beliau. "Namanya Aileen Arkin Nandana, anak cowok. Tapi mirip banget sama aku." Ujar Mama. Pemilik toko tertawa pelan, "Nggak papa lah, lucu." Arkin hanya terkekeh pelan mendengar itu. Beliau pun langsung menyiapkan peralatan sekolah yang akan dibutuhkan Arkin selama berada di asrama sambil terus berbincang bersama Ayah dan Mama. "Sapu terbang?" tanya beliau menggoda. Ayah terkekeh pelan, "Yang terbaik, of course." Beliau pun tersenyum dan mengambilkan sapu terbang terbaik untuk Arkin. Meninggalkan Ayah dan Mama yang sedang sibuk mengobrol, Arkin kini sedang melihat-lihat isi tempat itu. Di bagian alat tulis, Arkin terkekeh ketika melihat pulpen, pensil, bahkan penghapus meloncat kecil di dalam etalase saat ia mendekat. Mereka seolah meminta Arkin untuk membelinya. Lalu Arkin beralih ke rak buku, ada buku-buku yang terus diambil oleh pemilik toko, buku yang sepertinya memang wajib dimiliki semua murid. Yang membuat Arkin penasaran, buku itu selalu kembali muncul dari bagian atasㅡ di lantai dua toko itu, seolah ada seseorang yang melemparkannya dari sana. Melihat ke atas, Arkin takjub karena ada banyak sapu terbang di atas sana. Arkin pun ber-wah pelan karenanya. Kini ia beralih ke bagian tongkat sihir, Arkin reflek mengulum bibirnya saat melihat bentuk mereka yang sedikit berbeda. Arkin mencoba mengingat tips dari mamanya untuk memilih benda yang satu ini, ulurkan tangan, lalu rasakan. Arkin tidak boleh menyepelekan hal ini karena tongkat inilah yang seolah akan menjadi teman sehidup sematinya nanti. Arkin pun mengulurkan tangannya ke arah tongkat-tongkat itu, ia memejamkan mata, dan hening seketika. "Weak." Arkin sedikit terkejut mendengar suara bisikan itu, namun kini ia menggeser tangannya, "Weak." Lagi, Arkin menggeser tangannya. "No." Arkin pun menuruti suara yang entah datang dari mana itu, "Great." Lalu Arkin membuka matanya. Tangannya berada tepat di atas tongkat berwarna putih yang sejak awal menarik perhatiannya. Ayah, Mama, dan pemilik toko yang sejak tadi diam-diam memperhatikan Arkin hanya tersenyum. "Well, dia punya penjaga yang luar biasa." Lalu Mama tertawa. "Harus. Harus ada yang jaga dia. Dan itu harus dia." Pemilik toko itu mengangguk paham. "Dia pasti jagain anakmu, tanpa disuruh pun pasti begitu." Ayah dan Mama pun mengangguk bersama. Arkin kini mendekat pada kedua orang tuanya sambil mengulurkan tongkatnya. "Ini tongkat Arkin?" tanyanya tak yakin. Mama mengangguk dan mengusap rambutnya, "Yes, dear." Arkin pun tertawa senang. "Finally… Arkin punya tongkat sendiri." Mama pun tertawa, lalu beliau menyerahkan peralatan sekolah Arkin yang sudah dikemas  itu pada Ayah karena mereka harus bergegas. "Berapa semuanya?" Pemilik toko tertawa pelan, "Yang lain gratis, kecuali sapu sama tongkatnya." Mama menggeleng, memilih membayar sesuai harga. Pemilik toko menerima saja, mereka pun keluar dari toko itu. Namun ketika Mama hendak menutup pintu mobil di luar sana, beberapa lembar uang ikut masuk ke dalamnya. Mama pun menghela napas, lalu menoleh pada Arkin. "Kid." Arkin pun menatap mamanya, "Hum? Kenapa, Ma?" Mama menunjukkan beberapa lembar uang itu, lalu Arkin tertawa. Ia pun keluar dari mobil dan kembali masuk ke dalam toko untuk mengucapkan terima kasih pada pemiliknya. Pemilik toko yang tidak menyangka Arkin akan masuk kembali justru tertawa dan semakin gemas padanya. "It's okay, kid. Semangat nanti belajarnya ya." Arkin pun mengangguk, "Terima kasih sekali lagi, Sir." Barulah setelah itu mereka menuju Kementrian Sihir yang berada di daerah itu. Arkin sedikit bingung karena ayahnya memarkirkan mobil di depan gedung milik pemerintah. Mama pun tanpa ragu  membuka bagasi dan menyuruhnya membawa Owlie. Kopernya juga dibawa masuk oleh Ayah, dan peralatan sekolahnya dibawakan oleh Mama. Ketika mereka sudah masuk ke dalam gedung dan tiba tepat di tengah-tengah tempat yang ramai itu, suasana tiba-tiba berubah menjadi lebih gelap dan sedikit dingin. Beberapa orang masih terlihat lalu lalang, namun Arkin menyadari itu bukanlah orang yang ia lihat tadi. Arkin reflek merapat pada ayahnya dan Ayah pun membiarkan Arkin memegang tangannya. "Aileen Arkin Nandana," ucap Ayah setelah tiba di depan meja counter. Sebuah pena dari bulu ayam di atas meja tiba-tiba bergerak untuk menulis nama Arkin di sebuah buku besar yang sampulnya berwarna merah. Arkin pun terpaku menatap pena itu. "Undangan?" tanya resepsionis. Mama pun menyerahkan undangan yang Arkin dapatkan. Undangan itu diberi cap Kementrian Sihir, ditandatangani oleh sebuah pulpen berwarna biru, dan setelah pena dari bulu ayam itu selesai menulis beberapa data tentang Arkin, undangannya diserahkan kembali. Undangan itu kini menjadi tiket untuk Arkin bisa masuk ke Magicarts. "Terima kasih." Resepsionis itu mengangguk sopan. Ayah kini berjalan menuju ke bagian kiri bangunan dan Arkin reflek melebarkan matanya melihat apa yang ada di depan. Itu laut, laut Kotabaru ada di depannya. Tempat itu hanya berbatas dinding kaca setinggi pinggang orang dewasa, namun Arkin bisa melihat penghalang tak kasat mata di sana. "Ini kita ke laut, Ma? Langsung gitu aja? Naik apa?" Mama terkekeh, "Nanti bisa lihat sendiri naik apa, kamu juga nanti naik sama temen-temen ke sananya. Ayah sama Mama cuma bisa anter sampe sini aja." Arkin pun reflek memperlambat jalannya saat melihat kereta yang baru saja muncul dari dalam air. Dia akan menaiki kereta bawah laut. Arkin tiba-tiba merasa cemas dan takut. Mama yang baru menyadari Arkin tertinggal di belakang sana akhirnya kembali setelah menyerahkan peralatan sekolah pada Ayah yang baru saja memasukkan koper Arkin ke dalam salah satu ruangan di dalam kereta. Mama kini berlutut setelah tiba di depan Arkin, beliau pun menangkup pipi Arkin pelan, "Hey, anak Mama katanya kan mau jadi penyihir hebat, hm? Mau jadi siswa terbaik, kan? Mau jadi yang ke satu?" Arkin hanya diam menatap mamanya. "Jangan takut, Sayang. Mama yakin Arkin pasti bisa kok nanti di sana. Nanti di sana punya banyak temen, guru-gurunya juga baik, percaya deh sama Mama." Arkin menghela napasnya, ia melepaskan kandang Owlie dari tangannya untuk memeluk Mama. "Nanti pasti bakal kangen Mama sama Ayah." Mama mengangguk pelan, "Kita juga pasti kangen kamu, Sayang." Arkin kini melepas pelukannya setelah mendengar pengumuman kereta akan berangkat dalam waktu lima menit. "Mama sama Ayah jaga kesehatan, ya? Nggak usah khawatir sama Arkin, Arkin pasti jadi good boy kok nanti di sana. Arkin janji bakal bikin Ayah sama Mama bangga." Mama pun mengangguk, "Inget pesen Mama, ya? Jangan bergantung sama siapapun nanti di sanaㅡ" "Karena bayangan Arkin sendiri bisa ninggalin Arkin di kegelapan." Mama mengangguk puas mendengar ucapan anaknya. Beliau pun mengikuti Arkin yang kini berjalan menuju ayahnya. Arkin memeluk Ayah erat, Ayah pun balas memeluknya. "Jangan nakal ya di sana, makan yang banyak pokoknya, anak Ayah nggak boleh kurus." Arkin mengangguk dan terkekeh pelan, ia pun melepas pelukan. "Dadah Ayah, dadah Mama…" Arkin melambaikan tangannya sambil masuk ke dalam kereta. Ia pun tetap melambaikan tangannya saat sudah berada di dalam kereta. Hingga akhirnya bel tanda kereta akan berangkat berbunyi. Kereta itu langsung menyelamㅡ terjun turun ke dalam airㅡ membuat Arkin yang terkejut langsung oleng hingga jatuh terduduk di atas kursi lain. Arkin kembali ke tempatnya saat kereta sudah berada dalam posisi normal. Arkin kini melihat ke bagian luar kereta, ini di dalam laut, tentu saja yang terlihat adalah air dan ikan. Beberapa gurita, cumi-cumi, ubur-ubur, dan hewan-hewan laut yang lain. Arkin tersentak dari kegiatannya saat sedang menghitung jumlah buih yang terlihat di luar sana karena mendengar pintu ruangannya terbuka. Terdapat dua orang gadis yang masuk ke dalamnya. Arkin pun tersenyum canggung yang hanya dibalas tatapan oleh keduanya. "Tempat lain udah penuh. Sini doang yang kosong katanya. Sorry kalo ganggu." Ucap salah satunya. Arkin menggeleng pelan, "Nggak kok, santai aja, kan emang kereta buat semua siswa." Kedua gadis itu pun meletakkan barang-barangnya dan duduk tepat di depan Arkin. Karena tidak ingin suasana menjadi lebih canggung, Arkin memilih diam saja dan memainkan ponselnya. Siswa diperbolehkan membawa ponsel maupun gadget yang lain, namun benda itu akan dikumpulkan selama jam pelajaran dan hanya boleh digunakan bebas saat di dalam asrama. Bagi yang melanggar, tentu saja benda itu akan disita. Tidak terasa mereka akhirnya tiba di tempat tujuan setelah Arkin menyelesaikan playlist yang ia beri nama 'Heal,' di salah satu aplikasi musik yang ada di dalam ponselnya. Arkin pun melepaskan earphone-nya sambil menunggu dua gadis di depannya yang sejak tadi juga tidak berbicara untuk keluar terlebih dahulu. Arkin pun keluar dari dalam kereta tidak lama kemudian. Ketika keluar dari kereta, semua siswa langsung disambut oleh seorang guru yang ceria. Arkin menebak wanita yang berprofesi sebagai guru itu seusia dengan mamanya. Beliau pun langsung mengarahkan semua siswa untuk pergi ke arah kiri dan berbelok ke arah kiri pula ketika tiba di ujung peron ini. Arkin pun segera mengikuti instruksi setelah meletakkan koper, peralatan sekolahnya, serta Owlie ke dalam trolly. Arkin dalam hati membatin, 'Fasilitasnya modern ya sekarang. Pasti sekolahnya juga.' Dan ketika keluar dari area stasiun, tepat di halaman stasiun Arkin langsung melihat gerbang besar bertuliskan, 'Selamat Datang di Magicarts.' Para siswa banyak yang berhenti di depan gerbang itu dan tidak langsung masuk ke dalam karena asyik berfoto di tempat itu. Arkin sempat diam memperhatikan, teman-temannya itu ada yang rombongan, berdua, bahkan ada yang dengan percaya diri berfoto sendiri. Arkin menarik napasnya panjang, ia memang sedikit sulit bersosialisasi. Namun tentu saja ia akan berusaha keras untuk beradaptasi. Mereka yang sedang asyik berfoto itu bisa memposting foto-foto mereka selama bersekolah di tempat ini di sebuah aplikasi dan website khusus yang dibuat oleh pihak sekolah. Aplikasi itu seperti sosial media biasa di Stulus Orbis. Sedangkan website lebih dikhususkan untuk memposting hal-hal penting yang berhubungan dengan sekolah. Arkin pun akhirnya ikut memotret gerbang itu sekali, ia mengirimkan foto itu pada mamanya. Lalu ia menurunkan barang-barangnya dari trolly dan meletakkan trolly itu sebelum mengikuti beberapa temannya yang mulai memasuki area Magicarts. Arkin melihat punggung teman-temannya yang mulai menjauh, ia sempat mendongak sesaat sebelum melewati gerbang tempat di mana ia akan mengejar cita-citanya itu, lagi-lagi ia membatin. 'Magicarts, I'm coming.'
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD