bc

Magicarts

book_age12+
124
FOLLOW
1K
READ
inspirational
witch/wizard
ambitious
highschool
sword-and-sorcery
friendship
self discover
witchcraft
school
twink
like
intro-logo
Blurb

Arkin bercita-cita menjadi penyihir terbaik di asrama dan di sekolahnya. Bersama para sahabatnya, ia menempuh pendidikannya di sekolah sihir terbaik yang ada di Indonesia. Namun dengan cita-citanya itu, tentu saja banyak yang tidak menyukai sosok Arkin.

"Ayo duel, yang kalah harus keluar dari sekolah."

chap-preview
Free preview
Satu - Ayah dan Mama
Suara alarm dari jam weker yang berbunyi membuat Arkin terbangun dari tidurnya. Dengan mata yang masih terbuka separuh ia mematikan jam weker itu. Arkin meregangkan tubuhnya, menguap sekali, lalu mengusap wajahnya pelan. Ia berjalan untuk membuka gorden jendelaㅡ melihat matahari yang mulai terbit dari balik gunung yang tidak jauh dari rumahnya. Arkin juga membuka jendela itu untuk merasakan angin pagi yang berhembus. Hari ini ia masih di masa liburan setelah lulus dari Sekolah Dasar. Dan Arkin sedang menunggu sesuatuㅡ sebuah surat undangan yang selalu diceritakan oleh kedua orang tuanya. Surat yang menurutnya sangat berharga. Surat undangan untuk masuk ke sekolah sihir terbaik di Indonesiaㅡ Magicarts. Ketika Arkin sedang sibuk mengkhayalkan bagaimana sekolahnya nanti di sana, mamanya tiba-tiba membuka pintu kamarㅡ membuatnya menoleh dan membolakan mata terkejut karena melihat apa yang dipegang mamanya itu. Sebuah surat undangan dengan warna keemasan yang mencolok, serta logo khas Magicarts yang berwarna merahㅡ benar-benar membuat Arkin senang. Ia langsung berlari dan memeluk mamanya itu. Mama tertawa pelan, beliau menepuk-nepuk punggung Arkin pelan. "Mau buka, mau buka." Ucap Arkin sambil melepaskan pelukan. Mama pun menyerahkan surat itu. "Aileen Arkin Nandana, berbahagialah karena kamu diundang untuk datang ke Sekolah Sihir Terbaik yang ada di Indonesia. Magicarts adalah tempatmu untuk menempuh pendidikan yang selanjutnya. Bawalah apa yang menurutmu perlu dibawa, jangan lupa untuk membeli peralatan sekolah di Magic Shop. Datanglah sesegera mungkin setelah surat ini dibuka. Magicarts menunggumu." Mama tersenyum, beliau mengusap pelan pipi Arkin. "Sip, gerbang udah dibuka. Mama antar kamu buat masuk ke dalamnya." Arkin terkekeh, "Ayah udah tau?" Lalu seseorang muncul dari balik pintu, "Ayah yang lihat suratnya, kid." Lalu ketiga orang itu menoleh ke arah jendela karena terdengar suara, itu burung hantu peliharaan Arkin yang dibiarkan bebas tanpa kandang. "Owlie udah siap tuh. Ayo, Mama bantu packing, nanti sore kita berangkat sama Ayah." Arkin mengangguk semangat, setelah meletakkan undangannya di atas kasur, Arkin pun membantu Mama untuk menyiapkan baju. Tak lupa Ayah menurunkan koper di atas lemari Arkin sebelum disuruh. "Nggak usah bawa baju banyak-banyak, baju tidurnya aja yang dibanyakin. Dia lho nanti jarang aktivitas pas siang." Mama menoleh pada Ayah, beliau menghela napas pelan sebelum mengeluarkan beberapa baju Arkin yang tidak dibutuhkan. "Nanti juga kan bisa dipaket kalo emang penting." Arkin tertawa karena Ayah dan mamanya. "Tapi bener kata Ayah, Ma. Nanti bisa dipaketin." Mama menatap Arkin, "Kamu ini pihak Mama apa Ayah?" Arkin kembali tertawa, "Sekarang pihak Ayah." "Oh,gitu ya…" Mama mendekat pada Arkin, Arkin pun bersiap dengan apa yang akan mamanya lakukan, beliau pun menyerang Arkin untuk menggelitiki perut anaknya itu. Arkin pun tertawa karena ia memang sensitif dan mudah geli. "Ampun, Ma, udah." Ayah yang melihat Arkin sampai mengeluarkan air mata tentu saja ikut tertawa, "Udah ah, kasihan tu anaknya." Mama pun berhenti sambil mengusap setitik air mata di ujung matanya. "Udah, buruan packing, terus sarapan. Kita main dulu nanti, terus sekalian berangkat." Arkin mendongak menatap ayahnya, "Mau main ke mana, Yah?" Ayah mengedikkan bahu, "Ada deh, nanti juga tau kok kamu." Mama pun ikut mendongak, "Naik ferry jam berapa?" Ayah menjawab pertanyaan Mama sambil keluar dari kamar Arkin, "Jam tiga." Lalu Mama membisik pada Arkin, "Paling ajak main ke Water Boom." Lalu keduanya terkekeh. "Ayo sarapan dulu, gantian mandinya nanti. Kamu mandi, Mama beresin ini, terus baru pergi." Arkin mengangguk mendengar perintah mamanya. Mereka pun segera sarapan di meja makan bersama Ayah yang sudah menunggu sambil membaca Koran. Arkin menyuap makanan ke mulutnya, "Nanti kalo di sana Arkin makan apa, Ma? Udah disediain gitu? Makannya enak nggak?" Ayah tertawa mendengar itu, "Kamu makan banyak nanti di sana, kid. Ada banyak menu, terserah kamu mau makan apa. Kita pastiin kamu kenyang pokoknya." Arkin membulatkan mulutnya, "Uuh… Enak dong ya berarti. Arkin bisa makan banyak." Mama menggelengkan kepala, "Kamu di rumah aja makan banyak. Apalagi nanti di sana. Tapi masakannya masih enakan punya Mama lho." Arkin menatap Ayah, mencoba mencari kebenaran dari ucapan mamanya itu, lalu ayahnya memberi gesture agar Arkin mendekat. Arkin pun mendekatkan telinganya pada Ayah yang membisik cukup kuat, "Bohong deng, enakan di sana. Di sana lho yang masak chef profesional." Lalu Ayah mendapat pukulan di lengannya. Ketiganya pun tertawa, Arkin bahkan tertawa hingga matanya menyipit. Dia pasti akan merindukan momen iniㅡ saat-saat di mana ia bercanda bersama kedua orang tuanyaㅡ karena dia tidak akan bisa bercanda bersama kedua orang tuanya lagi selama bersekolah nanti. Setelah selesai sarapan dan menurunkan makanan, Arkin pun pergi mandiㅡ membiarkan mamanya yang mengemasi barang-barangnya yang akan dibawa nanti. Arkin selesai mandi lima belas menit kemudian, Mama terkekeh pelan melihat perut Arkin yang sedikit buncit. "Ndut ya anak Mama." Arkin pun mendekap perutnya, "Biarin, yang penting makan banyak." Mama pun tertawa, lalu keluar dari kamar Arkin sambil membawa kopernya, membiarkan anak itu untuk memakai baju. Arkin langsung keluar dari kamarnya setelah selesai, ia pun keluar dari rumah untuk melihat sesuatu. Tak disangka ayahnya pun berada di tempat itu. "Boleh bawa Bunny, Yah?" Ayah sempat terdiam, "Susah nggak tapi ngurusnya nanti di sana? Kan kasihan kalo mati." Arkin pun menghela napasnya, "Berarti nggak bisa dibawa, ya?" Ayah memperhatikan kelinci putih yang sedang makan di dalam kandang yang cukup besar itu, "Nanti di sana nggak ada kandang, terus rame. Tau sendiri Bunny panikan, nanti kalo dia tiba-tiba kena serangan jantung gimana?" Arkin tertawa mendengar ucapan ayahnya, "Ayah ih, nggak serangan jantung juga." Ayah pun ikut tertawa, "Bawa Owlie aja, ya? Bunny biar di rumah." Arkin pun mengangguk, menuruti ucapan sang Ayah. Mama keluar dari dalam rumah sambil mengeluarkan koper, "Udah ini? Nggak ada yang ketinggalan lagi?" Arkin pun berlari untuk kembali masuk ke dalam rumah, ia belum memakai sepatu dan kaus kaki. Mama hanya menggeleng pelan sambil menunggu Arkin. "Udah, ayo!" Mama pun mengunci pintu setelah Arkin berlari kecil untuk turun dari rumah menuju ke mobil. Ayah pun memasukkan koper besar Arkin ke dalam bagasi, tak lupa beliau memasukkan Owlie yang baru mendekat ketika Arkin sudah masuk ke dalam mobil. Ayah menatap Arkin yang duduk di kursi belakang sendiri. "Udah, kan? Nggak ada yang ketinggalan lagi?" Arkin menggoyangkan ponselnya pelan, "Nggak ada kok, Yah." Ayah mengangguk, beliau pun melajukan mobil, meninggalkan pekarangan rumah yang menjadi tempat favorit Arkin. Seperti ucapan Ayah sebelumnya, beliau benar-benar mengajak Arkin untuk main. Tidak, bukan ke Water Boom. Ayah membelokkan mobilnya ke arah jalan pintas yang biasanya dilalui mobil yang mengangkut tambang. Arkin mengerutkan dahinya, "Mau ke mana, Yah?" Ayah hanya tersenyum menjawab pertanyaan Arkin, hingga akhirnya beliau berbelok ke jalur kanan dan berbelok ke arah kiri, masuk ke jalan yang sedikit lebih kecil. "Ke mana, Yah?" Arkin bertanya takut karena di pinggir jalan itu masih terdapat pohon-pohon besar. Namun ketakutan Arkin sirna ketika di depan sana banyak motor-motor dan mobil lain, ini tempat wisata. Ayah tertawa pelan, "Ini lho gunung yang kamu bilang itu. Katanya temen-temennya pada ke sini, kan? Ya Ayah ajak aja kamu ke sini." Arkin bertepuk tangan senang, "Hehe, Ayah the best deh." Mereka pun turun dari mobil. Ayah membeli tiket untuk tiga orang agar mereka bisa naik ke sebuah mobil yang membawa mereka naik ke atas gunung yang disulap menjadi tempat wisata itu. Arkin memegang lengan ayahnya kuat karena merasa takut, jalan yang dilalui cukup curam dengan tanah yang jika terkena hujan akan sangat licin. "Ini kalo macet, pasti mundur ke bawah." Ucap Arkin saat merasa mobil semakin naik. Mama tertawa mendengar ucapan anaknya itu, "Nggak lah, supirnya udah pro, kok." Mereka pun tiba di puncak gunung setelah beberapa menit menaiki mobil dengan jalan yang cukup sulit. Arkin reflek ber-wah pelan. "Ayo foto-foto dulu, baru nanti main." Arkin mengangguk mendengar ucapan ayahnya. Mereka bertiga pun menyusuri nyaris semua tempat di gunung itu. Arkin dan Mama berfoto di sebuah kayu yang dibentuk menjulur panjang dari arah tanah. Arkin langsung berpegangan erat pada mamanya ketika tiba di bagian kotak besar karena ia tahu di bawahnya ini adalah lereng gunung. "Ayah cepetan! Nanti jatoh ini." Ayah tertawa mendengar Arkin yang merengek. Beliau pun segera memotret dua orang tersayangnya itu. "Ayo ke kapal-kapalan! Temen Arkin banyak yang foto di situ." Ayah dan Mama pun menurut saja, mengikuti Arkin yang berjalan semangat menuju spot foto berikutnya. "Fotoin Arkin sendiri, fotoin Arkin sama Mama, nanti Mama fotoin Arkin sama Ayah, terus minta tolong orang buat fotoin kita bertiga." Ayah kembali tertawa mendengar ucapan Arkin yang sangat cepat, "Kebiasaanmu lho, sampe nular ke anak." Mama hanya terkekeh, "Ya kan anakku." Ayah pun memotret Arkin, Arkin dengan Mama, lalu Mama memotret Ayah dan Arkin, dan beliau meminta tolong pada orang lain untuk memotret ketiganya di kapal-kapalan itu. "Ayo, mau naik motor, mobil, tali itu, apa flying fox dulu?" Arkin tertawa mendengar tawaran ayahnya. "Tali, flying fox, motor, terus mobil." Ayah pun mengangguk, mereka pun berjalan menuju permainan yang ingin Arkin coba. Namun Mama memilih menunggu di depan warung yang tersedia di sana, melihat Arkin yang mulai naik bersama Ayah di belakangnya. Tak lupa Mama memotret Arkin ketika anak itu sudah berada di tengah-tengah tali. Arkin pun berlanjut menaiki flying fox, tawanya terdengar senang setelah turun dari permainan itu. "Sini minum dulu." Ayah dan Arkin pun menghampiri Mama dan meminum minuman yang sudah Mama beli. "Jam berapa sekarang, Ma?" tanya Arkin sambil meminum minumannya. "Setengah dua belas, tadi sampe sini jam sepuluh, kan?" Arkin mengangguk saja. "Ya udah ayo jadi naik motor sama mobil nggak, Arkin?" Arkin tentu saja mengangguk, "Jadi!" Ayah pun mengangguk, "Ya udah, habis itu turun terus cari makan. Ketinggalan kapal ntar." Arkin pun mengikuti langkah ayahnya menuju tempat diparkirkannya motor-motor serta mobil yang disewakan untuk menyusuri gunung itu. Mama hanya menggeleng pelan ketika melihat Ayah dan Arkin yang sudah kembali naik setelah bermain motor-motoran itu. Lalu beliau memotret keduanya setelah mereka kembali naik dengan menaiki mobil. "Udah, kan?" tanya Mama yang menghampiri mereka. Arkin mengangguk senang. "Udah, Ma." Setelah beberapa saat menunggu mobil yang akan membawa mereka turun, mereka pun segera keluar dari area itu karena jam sudah menunjukkan setengah satu. "Makan, habis itu langsung jalan." Ayah pun melajukan mobilnya ke arah mereka akan menaiki ferry. "Kenapa nggak lewat pelabuhan sana tadi? Kayaknya deketan ke sana." Ayah tertawa, "Iya, ya. Lupa lho. Udah terlanjur gini, lanjut aja nggak papa, kan?" Mama menggeleng pelan, "Ya udah, biarin lah." Ayah kini menatap Arkin dari spion yang ada di dalam mobil. "Mau makan apa?" Arkin berdengung cukup lama, "Hng… Apa ya… Mama mau makan apa?" Mama tertawa, "Kalo kamu tanya Mama ya jelas bakso jawabannya." Arkin pun mengerucutkan bibirnya, "Kalo Ayah mau makan apa?" Ayah mengedikkan bahu, "Ayah sih terserah, ngikut." Lalu Arkin menggeleng, "Emoh bakso. Nggak kenyang. Mau makan nasi." Mama pun ikut menggeleng, "Kamu tu belum bisa dibilang makan kalo belum kena nasi ya." Arkin tertawa, "Ih, Mama lho juga ya." Mama dan Ayah pun ikut tertawa. "Control C, Control V kalian tu." Ucap Ayah pelan. "Ya kan anakku," Mama menyahut. Ayah mengangguk saja, "Hm, iyain." Arkin pun tertawa melihat lengan Ayah yang lagi-lagi terkena pukulan oleh Mama. "Sate apa gado-gado?" tanya Ayah memastikan. "Sate!" Arkin pun berseru dengan senang. Ayah pun membelokkan mobilnya menuju rumah makan yang menjual sate. "Satenya tiga porsi, Mbak. Minumnya es teh tiㅡ" "Arkin mau es jeruk kalo ada." Mama pun mengangguk, "Es jeruknya ada, Mbak?" Penjual itu mengangguk, "Nggeh, ada, Bu." Mama kini menoleh pada Ayah, "Es jeruk apa es teh?" "Samain aja." Mama pun memesan es jeruk tiga. "Makannya nggak usah cepet-cepet banget, masih keburu kok. Orang udah di sini." Arkin pun mengangguk mendengar ucapan mamanya. Mereka pun menghabiskan makan siang dengan menu sate dan es jeruk itu dengan tentram. Setelah menyantap makan siang, Arkin dan Ayah langsung masuk ke dalam mobil, meninggalkan Mama yang membayar makanan. Mereka pun langsung bergegas menuju pelabuhan setelah Mama masuk dan memasang sabuk pengaman. Ayah melajukan mobilnya lebih cepat dari biasanya, Arkin yang baru pertama kali merasakan hal ini justru malah tertawa senang. Beruntung mereka masih sempat membeli tiket untuk naik ke atas kapal karena masih ada beberapa mobil yang belum masuk ke dalam. Mereka harus pergi ke Kotabaru terlebih dahulu dan mengunjungi Kementerian Sihir di sana. Arkin juga harus membeli peralatan sekolahnya di sebuah toko yang bernama Magic Shop. Barulah Arkin bisa menuju Magicarts setelah namanya terdaftar di Kementerian.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Everything

read
278.2K
bc

MENGGENGGAM JANJI

read
474.8K
bc

Enemy From The Heaven (Indonesia)

read
60.7K
bc

Just Friendship Marriage

read
507.5K
bc

Love Match (Indonesia)

read
173.3K
bc

Kujaga Takdirku (Bahasa Indonesia)

read
76.0K
bc

Nur Cahaya Cinta

read
359.1K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook