2. Pertemuan Pertama

780 Words
"Gara-gara mobil disita oleh ayah aku terpaksa harus naik taksi dan telat seperti ini" Evan menggerutu sambil menutup pintu taksi. Lalu ia merapihkan pakaiannya dan berjalan menuju sebuah gedung yang berada tidak jauh di depannya. "Selamat pagi, Pak Evan" seorang satpam berkata, menundukkan kepalanya dan tersenyum saat Evan tiba di depannya. "Selamat pagi" Evan mengangguk. Lalu satpam itu segera membukakan pintu untuk Evan. "Silahkan, Pak" katanya dengan kepala yang tertunduk. Evan hanya mengangguk. Lalu ia melangkah dan memasuki gedung itu yang merupakan salah satu perusahaan ayahnya yang ia kelola. "Selamat pagi, Pak" sapa seorang wanita yang berdiri di belakang meja resepsionis. "Ya, selamat pagi" jawab Evan, menganggukkan kepala dan terus berjalan menuju lift. Setelah tiba di depan lift ia berhenti. Lalu ia menekan salah satu tombol dan menunggu pintunya terbuka. TING! Pintu lift pun terbuka dan Evan segera melangkah masuk. Saat berada di dalam ia menekan sebuah tombol dan pintu kembali tertutup. "Aku harus berbicara pada ayah dan memintanya untuk mengembalikan mobilku. Agar besok aku enggak pergi ke kantor dengan menggunakan taksi lagi" ia bergumam dan mengalihkan pandangan. Tidak lama kemudian lift berhenti dan pintunya terbuka saat tiba dilantai yang dituju oleh Evan. Lalu ia segera melangkah keluar dan berjalan menuju ruangannya. "Jika ayah enggak menyita mobilku maka aku yakin aku enggak akan telat seperti ini" Evan berkata pada dirinya dan terus berjalan. BRUK! Ia langsung berhenti saat seorang wanita tidak sengaja menabraknya. "M-Maaf, saya enggak sengaja" wanita itu berkata, berjongkok di depan Evan dan merapihkan kertas-kertas yang berceceran di lantai. Evan mendengus. "Makanya kalau jalan hati-hati, pakai mata. Jadi enggak nabrak orang lain" cibirnya mengalihkan pandangan. "Iya, maafkan saya, saya benar-benar enggak sengaja karena sedang buru-buru" jawab wanita itu, bangkit dari posisinya dan berdiri di depan Evan. "Apa? Buru-buru?" Evan bertanya dan beralih menatap wanita itu. Namun ia mengerutkan dahi. "Tunggu, saya baru pertama kali melihat kamu di sini. Apakah kamu karyawan baru?" "Benar, Pak, saya karyawan baru di sini. Dan hari ini adalah hari pertama saya bekerja" jawab wanita itu dengan kepala yang tertunduk. "Karyawan baru tapi sudah membuat masalah dengan bosnya" Evan kembali mencibir, memutar mata dan mengalihkan pandangan. Lalu ia beralih menatap wanita itu. "Dengar, setelah ini saya enggak mau mendengar kamu membuat masalah lagi, apalagi seperti tadi dan membuat berkas yang kamu bawa terjatuh ke lantai. Ingat, kamu harus bisa mengatur waktu. Lagipula jika kerja terburu-buru maka hasilnya enggak akan bagus, malah jadi berantakan. Jika kamu membuat kesalahan lagi maka saya enggak akan segan untuk memecat kamu! Mengerti?!" "Iya, Pak, saya mengerti. Sekali lagi saya minta maaf" jawab wanita itu menundukkan kepala. Evan hanya mengangguk, menatap wanita itu sekali lagi tanpa mengatakan apa-apa. Dan kemudian ia segera beranjak pergi. Sedangkan wanita itu, ia menghela nafas. "Di hari pertama bekerja tapi aku malah membuat masalah" ia bergumam. Lalu ia melanjutkan langkahnya dan berjalan menuju ruangan HRD untuk memberikan berkas yang diminta. *** "Ngomong-ngomong, bagaimana hari pertama kamu bekerja di sini? Apakah kamu merasa nyaman?" seorang wanita bertanya, menatap wanita lain yang duduk di seberangnya. Ia adalah Indira Pramusita. "Aku merasa nyaman" wanita itu mengangguk. "Hanya saja tadi aku membuat masalah dengan bos" "Membuat masalah dengan bos?" Indira mengerutkan dahi. "Maksudmu Pak Evan?" "Jadi namanya Evan?" wanita itu bertanya dan beralih menatap Indira. "Iya, namanya adalah Evan. Dan setahuku perusahaan ini milik Ayahnya tapi ia yang mengelola" jawab Indira, menganggukkan kepala dan menatap semangkuk bakso di depannya. Wanita bernama Aruna Dinantika itu mengangguk dan beralih menatap semangkuk mie ayam yang berada di atas meja. "Kalau aku boleh tahu kamu membuat masalah apa dengan Pak Evan?" Indira bertanya dan beralih menatap Aruna. "Aku enggak sengaja menabraknya saat hendak menuju ke ruangan Pak Gibran membuat berkas yang aku bawa terjatuh dan berceceran di lantai. Lalu ia memarahiku. Ia bahkan mengancam akan memecat ku jika aku membuat kesalahan lagi" jelas Aruna dengan kepala yang tertunduk. Indira menghela nafas. "Sebaiknya enggak usah kamu pikirkan. Pak Evan memang seperti itu, galak dan tegas. Tapi menurutku itu wajar karena ia adalah seorang bos" katanya, mengusap bahu temannya. "Aku tahu" Aruna mengangguk. "Lagipula itu juga salahku. Jika aku lebih berhati-hati maka aku enggak akan menabraknya dan membuat berkas yang aku bawa terjatuh" "Enggak apa-apa, kamu bisa memperbaiki kesalahanmu dengan bekerja sebaik mungkin dan enggak mengulanginya. Dengan begitu maka aku yakin Pak Evan enggak akan memecat kamu" Indira berkata, menatap Aruna dengan senyum yang terukir di wajahnya. Aruna tersenyum. "Terima kasih, Indira. Aku harap seperti itu. Dan aku akan bekerja dengan baik. Karena aku enggak ingin mengecewakannya" katanya, beralih menatap Indira. Indira mengangguk dengan senyum yang tidak pudar dari wajahnya. "Kalau begitu ayo kita lanjut makan sebelum jam istirahat kita abis" katanya dan Aruna mengangguk. Dan kemudian mereka pun melanjutkan makan mereka yang sempat tertunda.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD