CHAPTER 4: Imperfect Man

1783 Words
Hari Minggu pagi, Dathav sudah bersiap untuk pergi ke Kanpur, tepatnya ke rumah Sanjay. Dia sengaja berangkat lebih awal, sesuai permintaan temannya tersebut yang diutarakan melalui telepon tiga hari yang lalu. Sanjay mengatakan, dia ingin menikmati sisa masa lajang bersama teman-temannya, sebelum akhirnya menikah. "Aku ingin melihat bagaimana wajah Sanjay. Karena akan menikah besok, dia pasti sangat bahagia hari ini, sampai-sampai wajahnya kaku akibat terus tersenyum. Bagi laki-laki sepertinya, menikah dengan wanita yang dicintai pasti adalah saat-saat yang sangat membahagiakan." Dathav menghadap cermin besar di lemari pakaiannya, mematut pantulan dirinya pada cermin itu. Setelan kemeja berwarna biru muda dengan lengan dilipat hingga siku dan celana hitam panjang, sudah cukup membuatnya tampak menarik. Orang-orang yang melihatnya, terutama kaum hawa pasti mudah terpikat, mendapati seorang lelaki tampan dan rapi yang begitu karismatik. Mungkin dia terlihat sebagai sosok yang sempurna bagi sebagian besar orang, tetapi bagi dirinya sendiri tidak demikian. Dia melihat bayangan dirinya sebagai lelaki yang penuh lubang, ibarat wadah yang pernah ditusuk berkali-kali. Dia memiliki banyak bekas luka, menyisakan banyak kekurangan dan sangat tak pantas diberi gelar sempurna. Bekas luka terparah tentu ada pada jiwanya, jiwa yang terasa kosong, kering, bak setangkai mawar dalam vas yang telah ditelantarkan tanpa ada setetes air untuk menyegarkannya. "Orang sepertiku mana mungkin bisa merasakan apa yang dirasakan Sanjay saat ini? Merasakan jatuh cinta saja belum bisa, apalagi merasakan kebahagiaan ketika akan menikah dengan wanita yang dicintai, rasanya mustahil sekali." Bunyi panggilan dari ponsel di atas nakas membuyarkan renungan singkatnya. Dathav melihat siapa yang memanggil dan ternyata nama Lisha tertera di layar ponsel. Agak malas memang, tetapi jika tidak dijawab sekarang, dia mungkin akan terus memanggil di sepanjang perjalanan nanti. Terlebih, karena naik pesawat Dathav harus mematikan ponsel dan Lisha pasti akan mengoceh panjang-lebar sebab merasa panggilannya selalu diabaikan. Mau tidak mau, dia harus menjawab panggilannya sekarang juga. "Halo?" [Halo, kenapa lama sekali mengangkatnya?] "Aku sedang bersiap-siap untuk berangkat ke Kanpur." [Oh, aku lupa kalau kau akan berangkat hari ini. Kabari aku jika kau sudah sampai di sana nanti.] "Baiklah, itu pun kalau aku tidak lupa." [Begitu pulang, akan aku bunuh kau kalau sampai lupa.] "Coba saja." [Ah sudahlah, aku tidak mau tahu, kau tidak boleh sampai lupa mengabariku. Satu lagi, jangan melirik wanita lain di sana, walau ada wanita yang jauh lebih cantik atau seksi dariku, mengerti?] "Tidak." [Aku benar-benar akan membunuhmu, Dathav.] "Iya, terserah kau mau melakukan apa. Aku sudahi dulu panggilannya atau aku akan terlambat nanti." [Oke, selamat jalan, semoga perjalananmu menyenangkan.] "Terima kasih, singa betina yang manis." Dathav langsung mengakhiri panggilan, bergegas melanjutkan bersiap-siap dan segera berangkat. ===《《 ♡ 》》=== Setibanya di rumah Sanjay, Dathav mendapatkan sambutan hangat darinya dan keluarganya. Memang Dathav dan Sanjay jarang berkomunikasi sekarang, hanya saja mereka pernah menjadi sahabat karib saat semester terakhir kuliah dulu. Tak terlalu lama, tetapi cukup membuat hubungan mereka lumayan erat. Karena itu, Sanjay sampai menjadikannya tamu spesial di hari bahagianya. "Hari ini kita akan pergi jalan-jalan sebentar bersama teman-temanku yang lain dan kau harus ikut." "Tentu, aku kemari lebih cepat karena itu, 'kan?" "Ya. Kau tidak perlu khawatir, kita hanya akan pergi ke kafe favoritku yang tak terlalu jauh dari sini dan menghabiskan waktu sebentar di sana, karena sebenarnya aku tak boleh keluar rumah hari ini. Masa bodoh dengan larangan itu, aku cuma ingin menikmati waktu bersama teman-temanku sejenak. Tidak masalah buatmu, 'kan? Ini hanya akan menyita waktu istirahatmu sebentar saja." "Kau pikir aku kakek-kakek tua yang mudah lelah hanya karena perjalanan singkat?" Dathav menyilangkan tangannya. "Jarak dari Jaipur ke Kanpur bukanlah jarak yang jauh bagiku, Sanjay. Kau tahu? Aku ini sudah mirip seperti burung pengembara jika akhir minggu tiba." Gelak Sanjay terpancing begitu saja. Dia tahu betul bahwa temannya itu suka bepergian jauh dan begitulah reaksinya jika diremehkan. "Apa yang lucu?" "Tidak, tidak ada." Sanjay menyeka sedikit air matanya yang keluar. "Sudahlah, kau istirahatlah sebentar sembari menunggu teman-temanku datang. Aku juga harus mengurus sedikit hal untuk pernikahanku." "Baiklah, aku tunggu di sini." "Akan aku minta bibi Dhami membawakan makanan dan minuman untukmu." "Tidak perlu repot-repot, Sanjay!" "Tidak masalah, kau adalah tamuku yang berharga, jadi nikmatilah jamuan di rumahku ini!" "Terserah kau sajalah, terima kasih banyak." "Sama-sama. Aku akan segera kembali, kau pasti senang bertemu dengan teman-temanku nanti." Sanjay sangat ceria, mirip seperti anak-anak yang baru saja mendapatkan hadiah istimewa. Dathav bisa memahaminya, meski dia belum tahu bagaimana senangnya saat akan menikah. Setidaknya dia bisa membayangkan perasaan senang ketika akan menjalani hidup bersama orang yang diinginkan atau dicintai. Sekitar 30 menit berlalu, barulah Sanjay kembali bersama tiga orang temannya. Sebelum sampai di kamar tempat Dathav istirahat, mereka terdengar berbincang sambil tertawa sepanjang jalan, menandakan betapa gembiranya mereka hari itu. "Maaf membuatmu menunggu lama, Dathav. Ini ketiga temanku, Fikhar, Ravi, dan Areev." "Salam kenal," sapa Fikhar, Ravi, dan Areev bersamaan. "Salam kenal," balas Dathav. "Karena kita sudah berkumpul, mari kita berangkat sekarang!" Mereka pergi menggunakan salah satu mobil Sanjay. Kafe yang akan mereka kunjungi tidak terlalu jauh, hanya perlu waktu kurang lebih sepuluh menit untuk sampai ke sana. Dalam waktu sesingkat itu, Dathav sudah cukup akrab dengan teman-teman Sanjay. Mereka yang ramah dan Dathav yang mudah bergaul, memang tidak akan sulit untuk saling mengakrabkan diri. Di kafe, mereka langsung memesan minum dan makanan ringan, agar bisa segera datang sementara mereka mengobrol. "Dathav, maaf jika menyinggung, karena sebenarnya aku tidak bermaksud untuk menyinggungmu. Aku hanya ingin bertanya saja, kau paling tua di antara kami, apakah kau sudah punya rencana untuk menikah?" Ravi melontarkan pertanyaan untuk membuka topik obrolan. "Belum, aku masih belum siap untuk menikah." "Kenapa? Padahal kau sudah memiliki cukup bekal untuk masa depan, kau punya pekerjaan yang mapan, bahkan sebuah perusahaan besar yang merupakan milikmu sendiri, dan tentunya itu semua akan lebih dari cukup untuk kau gunakan menghidupi istri dan anak. Bukankah seharusnya kau sudah siap untuk menikah?" "Benar, aku saja yang hanya seorang karyawan biasa sudah siap membina rumah tangga," celetuk Fikhar. "Aku akan segera mengakhiri masa lajangku juga setelah pacarku lulus kuliah nanti." "Nah, sekarang coba jelaskan alasan kenapa kau belum siap untuk menikah, Presdir Dathav?" Sanjay sebenarnya sudah tahu alasan kenapa Dathav masih membujang, tetapi dia tidak tahan untuk tidak menggoda sahabatnya itu tentang pernikahan. Dathav tersenyum simpul. Sekilas terpikirkan olehnya, mungkin lebih baik jika dia menuruti Lisha dan membawanya untuk diperkenalkan sebagai calon istri. Dengan begitu, dia pasti tidak akan menghadapi pertanyaan tentang pernikahan seperti ini. "Pernikahan itu … tidak main-main, 'kan?" Seperti biasa, Dathav harus menjawab menggunakan alibi yang sering dia pakai untuk menghadapi pertanyaan mengenai pernikahan, meski dia sangat bosan melakukannya. "Aku mungkin siap dari segi materi, tapi dari segi mental aku belum cukup siap untuk menikah. Aku belum siap mengemban tanggung jawab sebagai seorang suami." "Tapi menjadi suami tidaklah sulit jika kau bisa mencari nafkah." Areev mendebat alasan Dathav yang dirasanya kurang kuat. "Istri tidak hanya membutuhkan nafkah saja. Kau tahu wanita biasanya sangat sulit dimengerti, 'kan? Sebagai suami, bukankah kita harus belajar mengerti apa yang diinginkan istri? Membuat mereka bahagia terkadang tak semudah kelihatannya, tak hanya dengan uang mereka akan langsung bahagia." "Kau benar, Dathav. Untuk menikah kita memang perlu lebih dari sekadar materi." Sanjay menepuk bahu Dathav. "Kita juga perlu mengerti pasangan kita dan mencintainya dengan sepenuh hati. Aku tahu itu semua akan sulit bagimu yang sejak dulu adalah seorang bujang abadi." "Kau mengejekku?" "Tidak, aku justru membela dan membantumu. Kau yang belum tahu bagaimana cara mencintai seorang wanita, pasti merasa kesulitan untuk mengerti apa yang diinginkannya, tapi kalau kau sudah bisa mencintainya, kau akan bisa tahu dengan mudah apa yang diinginkannya dan bagaimana perasaannya. Karena itu aku sarankan, sebelum menikah kau harus belajar jatuh cinta dulu." "Aku setuju dengan Sanjay, kalau kau memang belum pernah memiliki pengalaman menjalin hubungan dengan seorang wanita, kau harus mendengarkan sarannya. Dia 'kan ahlinya kalau masalah hati." Ravi memuji Sanjay dengan bangga. "Benar, dulu aku juga berguru kepadanya," tambah Fikhar. "Di kampus juga banyak yang berguru kepadanya, sampai dia terkenal sebagai konsultan hati dan masalah mengenai wanita." Dathav ganti menepuk-nepuk bahu Sanjay. "Beruntung sekali calon istrinya, dia pasti tidak akan kekurangan perhatian dan kasih sayang nanti." "Ya, Sanjay pasti akan sangat memanjakan Ragta dengan banyak cinta nanti." Areev menyiku lengan Sanjay. "Tentu saja, setiap saat akan aku buat Ragta merasa bahwa dia adalah seorang ratu." "Dan dia pasti akan memujamu layaknya dewa baginya. Setiap istri harus begitu, 'kan?" "Tidak, bagiku sudah cukup dia mencintaiku, tak perlu memujaku segala." "Terserah kau sajalah, lagi pula itu 'kan urusan rumah tanggamu." Ketika pesanan datang, terlihat mereka kompak memesan latte art sebagai minuman dan kue kering untuk pelengkap. "Dathav, kalau tidak salah ingat, bukannya kau tidak bisa minum kopi karena punya gangguan lambung?" tanya Sanjay. "Ya, tapi aku sudah mulai mencoba meminumnya. Setidaknya sudah bisa minum kopi dengan campuran." "Kalau kopi hitam belum bisa?" "Belum, kalau aku paksa, segelas kecil saja sudah bisa membuat lambungku sakit." "Apa sakit lambungmu sangat parah, Dathav?" Fikhar tampak agak khawatir, begitu juga Ravi dan Areev. "Dulu cukup parah, tapi sekarang sudah jauh lebih baik." "Memang apa sebabnya sampai kau punya masalah lambung seperti itu?" "Eee … entahlah, aku tidak begitu ingat." Dathav lupa apa yang menyebabkannya memiliki gangguan lambung, tetapi dia ingat, faktor penyebabnya bukan hanya tentang pola makan tak teratur saja. Mereka tidak menghabiskan waktu lama di kafe, karena merasa sudah cukup puas mengobrol bersama. Mereka memutuskan untuk pulang, lagipula masih banyak yang harus dipersiapkan untuk pernikahan besok. Hanya saja, dalam perjalanan pulang, Sanjay menghentikan mobilnya di tengah jalan. Dia baru ingat kalau tadi diminta untuk membelikan ayahnya rokok, sebab rokok yang dibeli oleh pembantunya kemarin bukanlah rokok yang disukai ayahnya. Dathav, Fikhar, Ravi, dan Areev diminta untuk menunggu di mobil, sementara dia pergi ke toko di seberang jalan. Karena sudah diperingatkan oleh ibunya untuk tidak pergi lama-lama, Sanjay membeli rokok dengan cepat dan buru-buru kembali. Hampir saja dia tertabrak mobil saat akan menyeberang tanpa memperhatikan kanan-kiri terlebih dahulu. Beruntung dia masih sempat menghindar dari mobil yang sudah sangat dekat dengannya. Jantungnya berdegup cukup kencang karena kaget, begitu pula Dathav dan teman-temannya yang melihatnya dari balik kaca mobil. "Astaga, apa dia sudah gila?! Kenapa terburu-buru begitu?! Bagaimana kalau terjadi sesuatu kepadanya?! Apa dia lupa kalau besok dia akan menikah?! Atau karena saking senangnya akan menikah besok, dia sampai tidak ingat untuk menjaga keselamatannya sendiri?!" Fikhar menggerutu. Ketika Sanjay sampai di mobil, dia langsung disambut oleh wajah-wajah kesal yang disebabkan oleh tindakan cerobohnya tadi. "Dari dulu kau selalu saja ceroboh, ya? Seiring bertambahnya umurmu, apa kau tidak bisa berubah?" Dathav mengomelinya. "Maaf, aku tadi terburu-buru." Sanjay meringis dengan salah satu tangannya memegang telinga. "Kalau sampai terjadi hal buruk kepadamu, pikirkanlah Ragta yang akan sangat sedih nanti," tutur Areev. "Keluarga Ragta dan keluargamu juga akan sedih, jadi jangan selalu ceroboh, Sanjay!" Ravi ikut menasihatinya juga. "Baiklah-baiklah, aku akan lebih berhati-hati. Tolong maafkan aku!" Sanjay kembali menjalankan mobil.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD