CHAPTER 3: Fear and Trauma

1184 Words
"Jangan!!" Dathav tersentak dari tidurnya. Lisha pun ikut terbangun dan mendapati Dathav kini duduk sambil mengatur napas. Dia tahu, lelaki itu baru saja mengalami mimpi buruk. Mimpi buruk yang sama, yang selalu menghantuinya selama bertahun-tahun, akibat trauma masa kecil yang tak bisa diingat dengan jelas olehnya. "Tenang, Dathav. Tadi kau hanya bermimpi saja." Lisha menutupi tubuhnya hingga d*da menggunakan selimut, lalu memeluk Dathav untuk menenangkannya. "Aku tahu." Dathav menyandarkan kepalanya di bahu Lisha. "Kepalaku pusing." "Tentu saja, kau menghabiskan satu botol wine tadi malam." Dengan lembut, Lisha membelai kepala Dathav. "Kenapa kau tidak menghentikanku?" "Untuk apa menghentikanmu? Aku suka melihatmu mabuk." "Kau benar-benar jahat. Sekarang bagaimana aku akan ke kantor kalau kepalaku pusing begini?" "Tidak perlu ke kantor dulu, lagipula tidak ada meeting atau hal penting lainnya hari ini, benar, 'kan?" "Tetap saja aku ingin ke kantor, daripada sendirian di sini. Pasti membosankan sekali jika berada di sini seharian penuh." "Bagaimana kalau aku temani?" "Tidak usah, aku akan minum obat dan pergi ke kantor." Dathav turun dari ranjang dan langsung pergi ke kamar mandi. Lisha bisa saja menggunakan kamar mandi yang lain, tetapi dia lebih memilih memainkan ponselnya dan menunggu Dathav selesai. Air mengalir deras dari shower, membasahi seluruh tubuh Dathav mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki. Rasa pusingnya kian berkurang, digantikan rasa dingin yang menyegarkan. Dia menunduk memperhatikan lantai yang basah dan saat itu juga bayang-bayang mimpi buruk yang kabur terlintas di otaknya. Dalam mimpi buruk tersebut, Dathav melihat beberapa bayangan buram, salah satunya adalah seorang gadis muda yang wajahnya tak bisa dia lihat dengan jelas. Gadis itu menampilkan senyum yang entah kenapa membuatnya takut. Lalu, dia juga melihat bayangan sebuah truk yang melaju kencang ke arahnya dan tentu saja menabraknya. Beberapa bayangan lain yang dia lihat secara acak adalah sebilah pisau pensil, pemukul kriket, dan raket nyamuk yang semua diarahkan kepadanya untuk menyakitinya. Dia ingat, orang tuanya pernah mengatakan bahwa dia memiliki trauma akibat suatu peristiwa yang mengerikan dan dia pun mengalami amnesia sebagian karena peristiwa tersebut. Namun, mereka tidak pernah mau menceritakan peristiwa tersebut atau mengungkitnya sedikit saja, jangankan menceritakan secara rinci, sedikit petunjuk pun tak pernah mereka beritahukan. Alasan mereka adalah tak ingin Dathav sampai mengingat peristiwa yang menimbulkan trauma untuknya. Segera Dathav menengadahkan kepala dan membiarkan air dari shower mengenai mukanya, menimbulkan sedikit rasa sakit. Dia tak ingin mengingat hal-hal buruk di pagi hari, atau semua itu akan merusak suasana hatinya, menjadikannya garang sepanjang hari. Selesai mandi, dia keluar dengan mengenakan handuk piyama berwarna hitam. Melihat Lisha masih asyik bermain ponsel dengan muka bantal dan rambut acak-acakan, dia berdecak sebal. "Wanita jorok, sana pergi mandi!" "Kau sudah selesai?" Lisha masih tak mengalihkan perhatiannya dari layar ponsel. "Sudah, cepatlah mandi sekarang! Sebelum kau semakin mengotori tempat tidurku nanti!" "Baiklah-baiklah, aku akan mandi sekarang, dasar maniak kebersihan!" "Bagus, akan kupesankan makanan dulu untuk sarapan." "Akan lebih baik kalau kau menggunakan dapurmu dan membayar pembantu." "Aku tidak butuh dapur atau pembantu, makanan bisa dipesan dan aku bisa memastikan kebersihan tempat tinggalku sendiri." "Astaga, segitunya orang ini peduli akan kebersihan, sampai tak mempercayai siapa pun untuk membantunya bersih-bersih." "Jangan terus mengoceh dan segeralah mandi, Nona Lisha!" "Baik, Presdir Dathav! Baiklah!" Lisha meletakkan ponselnya di atas nakas, menyingkirkan selimut yang menutupi tubuhnya, lalu bergegas masuk ke kamar mandi. Dathav hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan wanita satu itu. Dia menyambar ponsel miliknya yang berada di samping ponsel Lisha dan meninggalkan kamar sembari memesan makanan. Tepat setelah Lisha mandi, makanan yang dipesan oleh Dathav pun datang. Lelaki itu menerima makanan dengan pakaian yang sudah rapi, siap berangkat ke kantor kapan saja. Meski masih merasa pusing, dia benar-benar tidak mau berdiam diri di apartemennya. Apartemen yang sepi dan dingin, tak seperti rumahnya dulu yang besar dan penuh kehangatan dari kedua orang tuanya. "Mungkin sepulang kerja nanti aku harus mampir ke rumah," gumam Dathav yang tangannya tengah sibuk menyiapkan makanan di atas meja. "Dathav, aku lapar, apakah makanannya sudah datang?" Lisha muncul dari kamar, masih dengan menggunakan gaun mandi. "Apa kau memang selapar itu, sampai tidak sempat memakai pakaianmu dulu?" "Tidak usah berkomentar soal itu, aku bisa pakai pakaianku nanti setelah sarapan, 'kan? Sekarang mana kopi untukku? Aku merasa agak pusing juga." Dathav menyodorkan segelas espresso yang tadi dipesan bersama makanan. Dia sendiri meminum milk tea, minuman favoritnya di pagi hari. Dia memang jauh lebih menyukai teh daripada kopi. Mungkin karena sejak dulu dia tak pernah diizinkan minum kopi yang selalu membuat lambungnya tak nyaman. "Mau coba espresso milikku?" "Aku belum bisa minum espresso. Kalau cappuccino atau latte aku sudah bisa minum." "Lambungmu masih sakit kalau minum kopi tanpa campuran?" "Begitulah." "Merepotkan, ya?" Lisha mulai memakan sarapannya. "Ah, katanya Senin depan kau akan pergi ke pernikahan temanmu, apa tidak mau mengajakku?" "Bukankah kau bilang, kau akan pergi ke Paris akhir pekan ini?" "Aku bisa membatalkannya." "Lalu? Kenapa kau lebih tertarik menghadiri pernikahan temanku yang bahkan tak kau kenal, daripada menikmati liburan ke Paris?" "Aku bukannya tertarik menghadiri pernikahan temanmu, aku hanya ingin menghabiskan waktu denganmu saja." "Kalau temanku bertanya tentang siapa tamu tak diundang yang datang bersamaku, aku harus menjawab apa?" "Itu mudah saja, kau bisa memperkenalkanku sebagai calon istrimu." "Cih! Mana mungkin calon istriku adalah wanita yang jorok?" Dathav tergelak pelan. "Aku tidak akan terlihat jorok kalau sedang di luar! Lagipula aku bukannya calon istrimu sungguhan!" "Memang, kau bukan calon istriku sungguhan dan tidak akan pernah menjadi calon istriku sampai kapan pun." "Apa aku sedemikian buruknya di matamu, Presdir Dathav?" "Kau tidak begitu buruk, Lisha. Kau cantik, seksi, berpendidikan, dan pintar bermain saat malam hari. Sayangnya, aku yang payah. Aku agak takut kepada wanita yang agresif sepertimu." "Kenapa? Apa yang kau takutkan? Kau takut kalah di ranjang, atau kau punya pengalaman buruk dengan wanita yang agresif?" Dathav terdiam, pikirannya segera berkelana jauh dalam sekejap. "Dathav, kenapa malah melamun? Ayo, jawab pertanyaanku!" "Entahlah … aku selalu risih melihat senyum seringai dari seorang wanita." "Dari seorang wanita yang membuatmu takut?" "Hm? Apa katamu?" "Ada seorang wanita yang membuatmu takut?" "Bukan begitu. Maksudku, aku takut kepada setiap wanita yang suka tersenyum menyeringai." "Bukan karena ada wanita yang membuatmu takut dengan senyum seringainya?" Pertanyaan Lisha tak bisa langsung dijawab oleh Dathav, karena dia pun tak yakin, apa penyebab dirinya takut kepada seringai yang ditunjukkan seorang wanita. Mungkin saja memang ada wanita yang membuatnya takut, tetapi dia tak ingat siapa wanita itu. "Tak perlu kau pikirkan, Dathav. Jangan sampai pagi ini kau terlihat cemberut hanya karena hal yang tidak penting." Lisha menggenggam tangan Dathav, membawa kembali fokusnya yang sempat hilang. "Ya, baiklah." Dathav membalas genggaman tangannya. "Bagus." Dengan gemas Lisha mencubit pipinya. "Untuk Senin depan aku tidak akan ikut ke pernikahan temanmu, sampaikan saja salamku kepadanya." "Akan kusampaikan salam dari orang yang tidak akan pernah menjadi calon istriku." "Terserah kau mau menyebutku apa, tapi lain kali akan kubuat kau meminum tiga botol wine, agar tak bisa bangun di pagi hari!" Lisha melahap potongan daging dengan cepat untuk menggertak Dathav. "Ouh, kejamnya singa betinaku ini." Dathav mencium Lisha dan mengambil potongan daging di dalam mulutnya menggunakan lidah. Mereka tertawa bersama usai melerai ciuman konyol tersebut, mewarnai pagi yang cerah dengan suasana yang menyenangkan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD