CHAPTER 2: Just a Comforter

1046 Words
Pagi ini, begitu sampai di kantor, Dathav langsung disambut oleh Lisha. Entah sejak jam berapa dia datang dan berbaring santai di atas sofa. "Selamat pagi, Dathav. Hari yang cerah, bukan?" "Kenapa kau ada di sini?" tanya Dathav sembari duduk di kursinya. "Untuk berkunjung. Aku merindukan wajahmu yang selalu terbayang di benakku." Lisha menggigit bagian tepi bibirnya, berharap Dathav akan tergoda. "Tanpa menghubungiku terlebih dahulu untuk memberitahu kau akan datang?" Dathav meliriknya tajam. "Ayolah, Dathav. Kita tidak perlu terlalu formal." "Kenapa tidak?" "Karena kita sudah sangat dekat selama ini." Lisha bangkit dari sofa, dia berjalan ke arah Dathav dan duduk di atas mejanya. "Jangan berlagak seperti kau baru mengenalku, padahal kau sudah mengenal setiap detail tubuhku, bahkan yang paling sempit dan tersembunyi sekali pun." "Kau yakin aku benar-benar mengenal setiap detail tubuhmu? Bukankah waktu itu aku sedang mabuk berat?" Dathav menunjukkan seringai kecil di wajahnya. "Ya, kau memang sedang mabuk berat, tapi aku yakin, kau masih mengingat setiap bagian yang kau sentuh hari itu, Dathav." Lisha mengangkat dagu Dathav. "Baiklah-baiklah, terserah apa katamu." Dathav menepis tangan Lisha. "Tapi jika boleh jujur, aku benar-benar tidak mempunyai perasaan apa pun kepadamu." "Kenapa? Apa kau sudah menemukan wanita lain?" Raut muka Lisha berubah masam, ditambah dengan tatapan penuh selidik. "Ya, aku bertemu dengan wanita cantik yang sangat sopan. Rambutnya panjang, dia juga memakai dupatta, gelang kaca, dan bindi kecil, dia benar-benar luar biasa. Rasanya aku ingin mencium setiap helai rambutnya yang harum, menarik dupatta-nya sampai lepas, menggenggam pergelangan tangannya sampai semua gelangnya pecah, dan meninggalkan kecupan pada bindi-nya. Aku ingin mengajari wanita sopan itu untuk menjadi liar agar bisa bermain dengan baik di malam hari, karena itu akan jauh lebih menyenangkan dan menggairahkan daripada harus menghadapi seekor singa betina di atas ranjang." "Cukup!" Lisha menggebrak meja, dia berdiri dengan cepat. "Siapa wanita itu?! Di mana dia?! Aku akan membunuhnya sekarang juga!" "Kenapa kau ingin membunuhnya? Apa karena dia jauh lebih baik darimu?" "Ya dan karena dia sudah membuatmu berpaling dariku! Aku tidak terima itu! Tidak boleh ada yang memilikimu selain aku! Hanya aku yang akan memilikimu, Dathav!" Lisha menggila, dia menarik kerah baju Dathav dan membuatnya berdiri, kemudian mencekiknya. "Tenanglah, kalau tidak, semua orang akan datang ke sini nanti." Dathav masih tampak tenang-tenang saja. "Aku tidak peduli!" "Tapi aku tidak mau mereka mengganggu waktu kita. Ini saatnya aku menghabiskan waktu bersamamu, aku tidak ingin ada yang mengganggu." "Setelah mengatakan semua tadi, kau ingin menghabiskan waktu denganku?! Omong kosong macam apa yang kau bicarakan?! Kau anggap apa rasa cemburuku?!" "Kau tidak perlu cemburu, bukankah dengan mendapat kesempatan untuk menyentuhku itu sudah cukup bagimu?" "Apa maksudmu berkata begitu?! Kau benar-benar menganggapku sebagai wanita jalang?!" "Entahlah." "Aku sungguh menggilaimu, tapi kau hanya menganggapku sebagai mainan?!" "Tidak." "Lalu?!" "Posisimu aman, Lisha. Karena aku cukup menyukai wanita gila sepertimu, daripada wanita lugu yang masih mengutamakan cinta di atas segalanya." "Tapi ... wanita yang kau bicarakan tadi–" "Aku hanya bercanda." "Itu tidak lucu!" Lisha mengerucutkan bibir. "Tapi sangat menyenangkan bisa mempermainkanmu." Dathav tersenyum puas. Lisha memeluk Dathav erat-erat. Lelaki itu sudah benar-benar membuatnya tergila-gila, tetapi entah dia sadar atau tidak, Dathav sama sekali tak pernah menghiraukannya. Dia hanya mencari mainan untuk menghilangkan kejenuhan saja. "Aku yakin kau tidak akan memandang wanita lain," bisik Lisha manja. "Bagaimana kau bisa yakin? Aku tidak tertarik dan juga tidak terikat denganmu, bagaimana kau bisa yakin aku tidak akan meninggalkanmu?" "Karena hanya aku yang bisa menghiburmu." Jari lentik Lisha menyapu pipi Dathav. "Benarkah?" "Aku berani taruhan." "Oh ya? Kau sampai berani taruhan?" Dathav kembali duduk dengan menyilangkan kakinya. "Tentu saja." Lisha meraih belakang kepala Dathav, lalu melumat bibirnya. Dathav hanya diam menikmati tanpa membalasnya, membiarkan Lisha mengambil tempat di pangkuan, membuka kancing kemeja, dan menjamah d*da bidangnya. Wanita itu benar-benar sudah mahir menghibur Dathav dengan menjangkau titik-titik yang akan membuatnya nyaman. Setelah beberapa menit, Lisha menyudahi aktivitasnya. Dia terlihat belum cukup puas, tetapi sudah merapikan pakaiannya dan pakaian Dathav juga. "Kenapa sudah berhenti?" "Aku harus pergi sekarang, karena akan ada meeting satu jam lagi. Nanti malam aku akan datang ke apartemenmu, kita lanjutkan di sana." "Baiklah." "Ah, aku hampir lupa, akhir minggu ini aku akan pergi ke Paris, aku ingin kau ikut agar kita bisa berlibur bersama." "Tidak bisa, karena hari Senin depan aku akan menghadiri pernikahan temanku di Kanpur. Aku tidak ingin terlalu kelelahan." "Baiklah, tapi lain kali kau harus mau ikut liburan bersamaku." "Ya, meski aku tidak bisa janji." "Tidak perlu berjanji, karena aku bisa memaksamu dengan caraku." Lisha mencium Dathav sekali lagi sebelum pergi. Sekitar 15 menit setelah Dathav pulang, Lisha datang ke apartemennya dengan membawa dua botol wine yang siap untuk mereka nikmati bersama. Meski tahu Dathav tak terlalu suka dan tak kuat minum, Lisha sangat suka melihatnya mabuk. Lelaki yang biasanya tegas dan tenang itu akan menjadi lemah dan gusar saat sedang berada di bawah pengaruh minuman. "Kau sudah mandi, Dathav?" "Sudah, kenapa?" "Ouh … kau tahu, 'kan, aku suka bau keringatmu, kenapa malah mandi dulu?" "Jangan menjadi wanita jorok, karena aku suka kebersihan. Jangan bilang juga kalau kau belum mandi?" "Aku sudah mandi. Aku hanya suka keringatmu, bukan keringatku sendiri." Lisha mengambil dua buah gelas, lalu menuangkan wine hingga memenuhinya. "Ah sudahlah, akan kubuat kau berkeringat lagi." Dathav hanya tersenyum tipis sebelum meminum wine-nya, sedangkan Lisha membuka blazer yang dia kenakan terlebih dahulu, menyisakan tanktop ketat berwarna hitam. Wanita itu meneguk wine dan membiarkan beberapa tetes jatuh dan mengalir ke belahan dadanya. Dia selalu berharap Dathav akan tergoda melihatnya, tetapi Dathav selalu saja tak mengindahkannya. Terlebih setelah mabuk, Dathav selalu terhanyut dalam perang antara isi pikiran dan hatinya, sehingga dia tidak begitu memperhatikan Lisha. Lisha tahu itu semua, tetapi asalkan bisa menghabiskan waktu dengan Dathav yang dia inginkan—yaitu Dathav yang rapuh—dia rela mengorbankan sedikit kesenangan mendapat serangan darinya. Setelah menghabiskan satu botol wine, Dathav sudah sangat mabuk. Dia pun berhenti minum, kemudian menyandarkan kepala dan punggungnya pada sandaran sofa. "Dathav, kau sudah tak kuat minum lagi?" Lisha bergelayut di pundak Dathav. "Aku … ingin istirahat … aku lelah … aku benar-benar lelah," racau Dathav. "Kalau begitu, kita ke kamar sekarang?" Tanpa menunggu jawaban Dathav, Lisha memapahnya ke kamar. Mereka berjalan sempoyongan sampai jatuh di atas ranjang. "Aku akan membantumu beristirahat dengan nyaman, Dathav." Lisha melepas kancing piyama Dathav satu per satu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD