Tiga

2066 Words
Sial! Gadis barbar itu tidak bercanda ternyata! Jo benar-benar ditinggal di luar begitu saja. Mata Jo menatap ke sekeliling tempat itu. Ingatannya melayang ke film-film horor yang pernah di tontonnya. Ya, semacam tetiba muncul sundel bolong yang berdarah-darah di atas pohon. Jo langsung merinding. Ah, atau tetiba ada suara tangisan melolong ... Hiks ... hiks ... hiks ... "a***y! Eh, a***y! Beneran ada yang nangis?!" Jo setengah berteriak kaget mendengar isak tangis dari arah berlawanan. Hatinya ketar-ketir tidak karuan. Apa gedor saja ya, pintu kontrakan si gadis barbar itu? Tapi, gengsinya sudah melambung tinggi. Gak mungkin! Tapi suara tangisan itu makin jelas terdengar. Keringat dingin mulai menetes dari pelipisnya. Sudah dapat dipastikan lima menit lagi ia bertahan, celananya pasti basah. Ah, bukan basah yang membawa nikmat, tapi basah yang baunya menyengat. Ya, pipis di celana. Berani dikutuk jadi pria tertampan seumur-umur, Jo belum pernah merasakan ketakutan melebihi saat ini. Tempat kumuh ini selain menjijikkan juga sangat menyeramkan. Akhirnya dengan segala pertimbangan, Jo mendekat ke pintu. "Hei, gadis barbar! Buka pintunya!" Hening. Apa gadis itu sudah tidur ya? "Gadis barbar! Apa lo tuli? Buka pintunya!" Terdengar orang batuk, Jo lega. Gadis itu pasti bangun dan segera membuka pintu. Jo menunggu, 1 menit, 2 menit, 3 menit, hingga 30 menit berlalu, tidak ada tanda-tanda orang membuka pintu. Lalu suara batuk tadi siapa? Jo makin deg-degan. Mulutnya mulai komat kamit membaca segala doa yang ia tahu. Jo memutuskan untuk duduk di depan pintu yang tertutup rapat itu. Hingga lama-lama suara tangisan itu menjauh dan tak terdengar lagi. Kantuk mulai menyerang dan mengalahkan rasa takutnya. Jo tertidur di depan pintu begitu saja. *** Sena membuka jendela. Hawa segar mulai masuk. Pagi hari yang sibuk mulai menyapanya. Bersiap membuat sarapan dan pergi bekerja. Pagi sampai jam dua siang, Sena bekerja di toko kelontongan sebagai pelayan toko. Lalu selepas ashar ia bekerja di salah satu warteg pinggir jalan. Sebagai pelayan juga. Yah, Sena memang sesibuk ini. Mau bagaimana lagi, setelah kedua orang tuanya meninggal, Sena-lah yang bertanggung jawab atas biaya kuliah dirinya dan sekolah adiknya. Beruntung pemilik toko mengijinkannya bekerja hanya 3 hari. Jadi ia tidak mengganggu jadwal kuliahnya. Ingatan Sena melayang pada pria jangkung manja yang menjadi tambahan omsetnya mulai bulan ini. Kepala Sena melongok keluar jendela. "Kemana dia? Apa dia pulang lagi ke rumah orang tuanya?" "Siapa, Kak?" Suara Diwan membuat Sena menoleh. Adiknya sudah bersiap dengan seragam putih-abunya yang sudah sedikit belel. Beruntung, Diwan sangat cuek. Jadi saat Sena belum mampu membelikan baju seragam baru, Diwan malah bilang tanggung, sekolah SMA cuma tiga tahun. Jadi dia tidak mempermasalahkan baju belel yang ia pakai. "Kak, ditanya malah bengong?" "Eh, itu, pria cengeng yang temen kakak semalam kayaknya udah balik ke rumah emaknya lagi." "Baguslah, ketimbang ngerepotin kita kan?" "Iya juga sih." Klotrak! "Nah, apaan itu?" "Paling kucing liar. Coba kamu lihat! Kakak siapin sarapan dulu." Diwan keluar. Matanya menatap sekeliling. Dan sedikit terkejut melihat sosok tinggi meringkuk di atas tanah. "Siapa dia?" Diwan mendekat, apa pria ini orang gila yang baru ya? Bajunya masih bagus. Ah, atau gelandangan baru? Atau orang tersesat? Hm, jawaban terakhir lebih masuk akal. Bajunya nampak baju bermerek mahal. Tangan Diwan menyentuh bahu pria itu. "Heh! Siapa lo? Mau apa lo?" teriak pria itu tanpa membuka matanya. "Yah, kok nyolot sih? Lo yang siapa? Ini halaman rumah gua, k*****t!" Pria itu bangun dan mengucek kedua matanya. Dengan susah payah ia bangkit dan duduk di bangku panjang yang semalam ia jadikan tempat tidur. "Ini rumah lo? Berarti lo kenal sama gadis barbar itu?" "Gadis barbar yang mana?" "Yang cerewet, sukanya marah-marah. Gak ada manis-manisnya pula." Diwan terdiam sejenak. Otaknya langsung bekerja, "lo ... si orang kaya cengeng itu ya?" "Apa lo bilang?" Tanpa memperdulikan protes dari pria yang ternyata adalah Jo, Diwan malah berteriak kencang. "KAKAK! ANAK CENGENG ITU MASIH ADA!!" "Woi! Bocah gemblung! Lo mau rusak telinga gue?" Diwan menyeringai, lalu mengulurkan tangannya "oh, jadi lo rupanya. Ah, ralat. Salam kenal, Kak. Aku Diwan Rafly Merdian. Adik terkerennya Kak Sena." Kening Jo berkerut heran. Anak ini kenapa? Tadi saja main bentak dan mengumpat padanya. Sekarang kenapa jadi lebih sopan? "Lo salah minum obat ya?" "Enggak, aku memang baik kok, cuma jahat sama orang yang tak dikenal. Nah, Kakak pasti lapar. Masuk yuk?" "Ha?" Jo melongo, asli! Kemana bocah yang kurang ajar tadi? Cepat banget sih berubahnya? Apa jangan-jangan anak ini punya kepribadian ganda ya? Diwan menarik tangan Jo dan membawanya masuk ke dalam. "Kak, lihat siapa yang kubawa?" Sena yang sedang menata piring di atas meja menoleh ke arah pintu. "Lo gak pulang rupanya. Tidur di mana semalam?" "Bukan urusan lo!" "Ck, gak sopan sama Tuan rumah, gue usir lo!" "Kak, jangan gitu dong, kasihan Kakak ini, pasti lapar ya kan?" Jo tersenyum dan mengangguk. Lumayan juga nih bocah. Tahu cara memperlakukan orang pada tempatnya. "Apaan sih, Wan. Biarin saja! Dia bilang, dia bisa membeli tanah di wilayah ini. Ngapain ngasih makan ke orang kaya?" Jo mengerjap, sial! Omongannya semalam seakan mengejeknya. "Iya, tapi untuk sekarang, gue belum bisa," ucap Jo tertahan. Gengsinya meronta-ronta. "Kenapa? Sudah jatuh miskin? Tidak punya uang?" "Heh! Gue punya banyak uang! Tapi ... " "Tapi apa?" Jo cemberut. Kesal rasanya diperlakukan seperti ini. Sumpah, seumur-umur baru kali ini Jo dipermalukan. Sama cewek pula! "Tapi saat ini, gue belum punya uang," cicit Jo akhirnya. Lalu ia menghembuskan nafas perlahan. Pertengakarannya dengan Sang Papi kembali terngiang. "Makanya jangan sok belagu. Lapar ya makan, gak usah pake sombong segala." Jo diam. Perutnya sudah berisik dari tadi, minta isi. Sementara gengsinya terlanjur berada di puncak. Diwan dan Sena mulai makan. Nasi goreng kecap, dengan telur mata sapi di atasnya. Di taburi bawang goreng dan irisan timun juga tomat. Ck, bodoh, Jo! Itu hanya nasi goreng! Bahkan dirinya mampu membeli nasi goreng jalanan beserta gerobaknya kalau perlu. Jadi rasanya tak pantas jika harus mengemis nasi goreng yang tak istimewa itu. Asap nasi yang mengeluarkan aroma mengusik lagi. Mulut Sena dan Diwan nampak mengunyah suapan nasi mereka dengan nikmat. Ah, sial! Jo frustasi, antara lapar dan gengsi. "Yakin Kakak gak mau? Aku habiskan saja ya?" "Tidak," bodoh, kenapa yang keluar dari mulutnya malah penolakan? Padahal rasa laparnya tak tertolong lagi. Kriuk ... kriuk ... Perut k*****t sialan! Kenapa berbunyi saat seperti ini? Sena dan Diwan manahan tawa. Mereka tahu, Jo pasti sangat lapar. "Kak, makan saja, jangan menyiksa diri seperti itu!" "Gue ... gak apa-apa kok." "Beneran nih? Tinggal sedikit lagi lho?" Diwan tidak bohong, nasi goreng di piring besar itu tinggal sedikit. "Ah pada berisik, sini gue makan!" sahut Jo sambil mengambil piring besar itu. Sena mencibir, "dasar anak manja!" Jo memang sangat lapar, hingga ia tak mempedulikan lagi omelan Sena. Ia hanya terus makan tanpa bicara sepatah kata pun. Diwan sampai terbengong-bengong. Dalam hitungan detik, nasi itu telah habis tak tersisa. "Wow, lapar ya, Kak?" "Minum mana minum?" jawab Jo sambil menepuk-nepuk dadanya. Diwan langsung mengambilkan minum untuk Jo. Dan habis dengan sekali tegukan. "Hah, akhirnya habis juga," ucap Jo sambil mengelus perut ratanya. "Enak kan? Masakan Kak Sena memang paling top." "Ck, kalau orang lapar itu segala bisa masuk. Bahkan makanan biasa-biasa kayak gini juga gak masalah." "Emang enak kok, apalagi kalau Kak Sena udah bikin semur jengkol, wah lezat banget tuh!" Jo melotot, "apa? Semur jengkol?" Yang baunya sampai ke air seni?" "Kak Jo gak suka?" "Tidak. Makanan bau seperti itu kalian makan juga?" Jo bergidik ngeri. Semur jengkol memiliki sejarah buruk baginya. Pertama kali dibentak dan diremehkan gadis barbar di depannya, cuma gegara semur jengkol itu. "Udah, Wan. Kita berangkat, ntar telat lagi!" Diwan meneguk air minum miliknya dan bangkit. Jo melongo melihat kakak beradik itu bersiap pergi. "Heh, kalian mau kemana?" "Aku sekolah, Kak." "Terus gadis barbar itu?" Diwan memutar bola matanya, "tolong ya Kak, dia punya nama. Bukan gadis barbar seperti yang Kakak bilang." "Gue gak peduli. Mau kemana dia?" "Kak Sena mau kuliah." "Ha? Dia mahasiswi? Masa sih?" "Ya, keren kan? Kak Sena memang hebat, dia bekerja keras membiayai hidup kami tanpa meninggalkan kuliahnya." "Bukannya dia kerja?" "Ya, nanti siang sepulang kuliah sampe malam, Kak Sena kerja." "Lah, gue gimana?" Sena keluar dari kamarnya. Gadis itu sudah siap pergi dengan tas gendongnya yang mengembung. "Eh, gadis barbar! Gue gimana?" "Lo? Gak gimana-gimana. Kenapa nanya gue?" "Lo pergi, adek lo juga." "Ck, bukannya lo kuliah juga?" "Iya sih, tapi semester akhir. Males gue ke kampus!" "Bilang aja lo udah kena DO!" "Kok lo tahu?" "Dari wajah lo bisa ketebak. Tampang menyebalkan kayak gitu dosen udah enek duluan." Sena mengambil helm dan jaket diikuti oleh Diwan. "Heh! Jangan salah ya, gue di DO karena terlalu pintar! Dosen kalah debat sama gue! Tampang keren begini dibilang menyebalkan! Asal lo tahu ya, gue punya pacar yang banyak!" "Terserah! Ayo, Wan!" Diwan yang memang tahu jika kehadiran Jo sedikit membantu kehidupan ekonominya, tetap berusaha menghormati Jo. Ia mendekat ke arah Jo dan berbisik. "Kak, jangan diambil hati ya, sebenarnya Kak Sena baik kok." Jo mengibaskan tangannya, "sana lu bocah! Gue mau tidur dulu!" Sena berbalik di pintu, ia sudah mengenakan helmnya, "heh! Anak manja! Kalo mau numpang tidur di sini, gak gratis!" "Apa? Sombong amat lu, tibang kontrakan jelek begini juga!" Sena mendekat dan mulai menarik kaos Jo dengan kekuatan penuh. Jo yang memang sedang posisi tak siap, langsung jatuh dan terseret-seret mengikuti Sena yang menarikya keluar. "Denger ya, kalo lo mau numpang di sini, bersihkan semua ruangan ini! Sebelum gue balik, semua sudah beres!" Jo membelalak tak percaya, "apa? Lo berani nyuruh gue?! k*****t, emang lo siapa?" Sena tersenyum sinis, "ah, gue inget, lo anak manja yang kaya raya itu kan? Sayang banget, lo dibuang karena kelakuan lo sendiri, kalo lo gak mau melakukannya, pergi sana! Sebelum gue berubah pikiran dan gak mau nerima lo di sini!" "Oke, banyak kok yang mau nampung gue, lihat saja nanti!" Jo mengambil ponsel dari saku celananya. "Hallo? Susi, kamu masih suka sama aku kan?" "Oh tentu saja, sayang. Kamu mau kita bersenang-senang lagi? Kapan? Aku selalu siap, nomor rekeningku masih ada kan?" "k*****t!" Jo mengumpat, lalu menutup sambungan telepon. Sena menatapnya remeh sambil berpangku tangan. "Lo jangan seneng dulu, gue masih punya stok cewek banyak yang bucin sama gue." Sena menghela nafas, lalu melirik arlojinya. "Oke, gue tunggu sampai lima menit, kalo gak ada yang mau nerima lo, tawaran gue masih berlaku. Hitung-hitung nyewa pembantu gratisan." "Oke, lihat saja nanti!" Jo mencari nomor telepon wanita yang pernah dikencaninya. Dan sialnya, dia tidak pernah menyimpan semua nomor yang mereka berikan. Ah, Ruben mungkin bisa menolong. Dia kan sahabat Jo satu-satunya. Setia pasti, apalagi kalau diajak makan bareng, tepatnya sih, Jo yang traktir. "Hallo, Ben? Lo di mana?" "Gue di rumah. Apa lo? Ngajak makan di mana hari ini? Tumben baru kedenger suaranya, lagi paceklik lo? Perusahaan babe lo pailit ya? Ampe belom traktir gue minggu ini?" "Heh, tong sampah! Babe gue gak pailit! Gue yang pailit." "Napa lo? Jangan bilang lo dipecat jadi anak? Wah, jangan sampe deh, gue yakin lo bakal melarat seumur-umur. Soalnya nyari duit tuh susah, yang ada lo bakal jadi gelandangan yang makan makanan sisa di tong sampah, idih, ngeri gue!" "Koplak! lo nyumpahin gue?" "Terus kenapa? Pailit apa lo? Cewek? Gak apa-apa sih, biar lo berhenti jadi penjahat kelamin. Asal jangan pailit duit aja." "Sialnya, gue emang pailit duit. Dan lo bisa kan nampung gue beberapa hari gitu? Gue butuh tempat tinggal, Ben." "Njir! Jadi beneran lo dipecat jadi anak?" "Diem bodoh! Bisa gak nampung gue?" " ... " "Ben, lo masih hidup kan?" "Gini lho, Jo. Gue sih mau nolongin lo. Kasian juga lihat lo luntang-lantung kagak jelas. Tapi ... " "Tapi apa?" "Ya kan lo tahu sendiri emak gue kayak gimana? Bisa bertanduk dan bertaring tuh kalo tahu gue nampung lo, dan lo tahu kan, emak gue kagak suka ama elo, katanya bawa pengaruh buruk buat gue." "Bilang aja lo gak mau nolong gue, Nyet!" "Nah lho tahu, sorry ya?" Klik. Jo melempar ponselnya dengan kesal. Kebiasaannya jika marah, ponsel jadi sasaran empuknya. Dilempar lalu beli lagi. "Gimana? Berhubung udah siang, gue mau berangkat dulu." Sena bangkit lalu melempar kunci kontrakannya ke depan mata Jo. "Bersihkan yang benar, Ok?" ucap Sena lalu menyalakan motor. Diwan mengekor di belakangnya. Jo tak menjawab. Ia kesal, ah bukan, marah semarah-marahnya. Pergi dari sini juga tidak mungkin. Ia tak membawa uang sepeser pun. Sial, tahu akan begini, ia bawa uang cash sebelum diusir dari rumah. Ah, bodoh-bodoh! Jo menatap geram pada beberapa kartu kredit dan ATM di dompetnya. Sudah tak berguna. Terblokir semua. Emang keren ya, ayahnya itu. Sekali menjentikkan jari, kartu-kartu sakti itu tak berguna dalam sekejap. Sial! Apa ia tinggalkan saja tempat ini ya? Enak saja membersihkan rumah, emangnya ia pembantu? Kurang ajar! Tapi jika di luar nanti, Jo bertemu dengan para penggemarnya, lalu mereka tahu ia jadi gelandangan, apa yang harus ia lakukan? Wah, ini memalukan! Harga dirinya bisa jatuh sejatuh-jatuhnya. Tidak bisa! Jo tidak mau! Jo memungut kunci yang dilempar Sena. Diam lalu berpikir lagi. Kontrakan ini tersembunyi di antara gedung-gedung yang tinggi. Jadi sepertinya sangat cocok untuk menyembunyikan diri dari para fansnya itu. Ya, Jo harus masuk. Untuk bersembunyi kan? Ya, tidak apa-apa kok, bersembunyi sebentar dari para fans yang mungkin menunggunya untuk diajak berkencan. Dan moodnya makin rusak saat Sena malah menyuruhnya membersihkan kontrakan itu. "Sial, dia pikir gue pembantunya apa?" Jo bersungut-sungut sambil menatap kesal tumpukan piring di wastafel. Karena kesal, Jo malah tidur terlentang diatas sofa dan mulai menutup mata.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD