Dua

1736 Words
"Siapa lagi yang kamu bawa?" Renata menatap tak suka pada Jonathan yang membawa seorang gadis berpakaian kurang bahan. Celana jeans ketat lima belas senti di atas lutut, memamerkan paha mulusnya yang putih terawat, baju kaos tipis dan ketat pula yang membuat isi bra-nya hampir loncat keluar. Dan satu lagi, rambut yang dicat merah. Lengkap sudah. Semua yang dibenci Renata terwakili pada penampilan gadis itu. Putra semata wayangnya itu memberi kode pada gadis yang ia bawa agar gadis itu keluar duluan. Ah, ya. Renata sedikit menyesal mampir ke apartemen putranya. Bodoh sekali ia berharap saat mendatangi apartemen Jonathan, putranya sedang mengerjakan tugas mahasiswanya di depan laptop dengan setumpuk buku di meja. Khayalannya terlalu tinggi. Yang ia temui justru sedang cekakak-cekikik dengan gadis antah berantah yang tak jelas asal-usulnya itu. "Eh, Mami? Biasalah Mi, temen." Si Gadis menatap kaget pada jawaban Jonathan, mungkin hendak protes, tapi sebelum bibir gadis itu bersuara, Jonathan sudah mengusirnya. "Susi, maaf ya, kerja kelompoknya udah dulu, kita lanjutkan besok, Ok? Kamu pulang ya?" "Tapi, Nathan ... gue ... eh aku, emh, kita kan belum ..." Jonathan menahan kesal, gadis bandel. Ya, ya, mereka tadi mau happing fun, dan Susi bersedia melayaninya sampai pagi. Tapi gagal total karena Sang Mami malah muncul tidak pada waktunya. Jonathan baru melakukan pembukaan awal, belum ke tahap buka-bukaan dalam arti sesungguhnya. Dengan memasang senyum dicampur pelototan, Jonathan mengusirnya lagi, kali ini ditambah dengan dorongan pada punggung gadis itu. "Ah, kita belum dapat referensi buku ya? Iya, nanti aku cari besok. Sekarang kamu pulang! Bye Susi!" Renata tidak mampu berkata-kata. Kepalanya terlalu pusing melihat tingkah Jonathan setiap hari. Meski masih dengan wajah kecewa, Susi akhirnya meninggalkan Renata dan Jonathan. "Mami, gak masuk?" ucap Jo dengan menggeser badannya ke samping. Mempersilahkan Renata untuk masuk ke dalam. Renata menghela nafas, ia melenggang masuk ke apartemen putranya. Mulutnya kehabisan kata saat melihat kamar Jo yang sangat mengenaskan. "Apa di sini sudah terjadi gempa?" tanya Renata dengan nada tidak suka. Jo duduk santai di atas sofa sambil menyalakan televisi, berharap menemukan acara yang bisa sedikit memalingkannya dari ceramah Sang Mami. "Kenapa kamu diam?" "Apa sih, Mi?" "Ngapain kamu sama gadis tadi?" "Gadis yang mana?" jawab Jo dengan santai. Mulai deh, ceramah akan ia dapatkan saat ini juga. "Ah, Mami lupa. Wanita tadi bukan gadis kan? Ya, ya, mana mungkin masih gadis, udah kamu rusak kan?" "Apaan sih, Mi? Anak Mami tuh baik, rajin kuliah, rajin nabung juga." "Iya, rajin nabung s****a di mana-mana." "Aish, gak sejauh itulah, Mi." "Papi kamu tadi nelpon, katanya mau pulang nanti malam." "Baguslah." "Gitu aja?" "Ya, terus gimana? Aku harus nari salsa gitu? Kan gak juga, Mi." "Ya seenggaknya kamu bilang kangen sama Papi gitu. Dia tuh udah kerja keras buat kita, Jo." "Iya, aku tahu. Ah, Papi mau pulang kan? Aku minta mau mobil baru dong, Mi. Yang lama udah jadul banget, malu kan kalau bawa cewek." "Kamu kalau ngomong suka seenak udel ya? Dikira nyari uang tinggal petik dari pohonnya apa? Gampangin aja beli mobil baru!" "Ck, Mami tuh suka gitu deh. Kan beli mobil buat Papi mah gampang kan? Tinggal buat cek, kasih ke aku. Beres!" Renata menghela nafas. Gini nih, hasil didikan keluarga besarnya. Semua orang memanjakan Jonathan. Terutama Papinya. Segala sesuatu yang diminta Jo, pasti dikabulkan. Dari kecil, Jo sudah terbiasa hidup dengan fasilitas yang serba instan dan mewah. Hasilnya, putranya jadi keenakan. Susah diatur, dan semau gue. Renata pernah membicarakan ini dengan suaminya, Abimanyu. Tentang karakter Jo yang masih jauh dari kata siap untuk menjadi penerus perusahaan mereka. Padahal Jo adalah satu-satunya harapan Renata dan Abi. Ya, dulu sebelum punya Jo, Renata pernah punya anak namanya Cleo. Tapi sayang, Cleo tidak berumur panjang. Cleo meninggal saat usia 10 tahun. Semua terpukul dan bersedih. Terlebih Renata dan Abi. Dan kebahagiaan kembali datang setelah 1 tahun kemudian Renata hamil anak kedua. Jonathan. Berparas tampan dan menggemaskan. Membuat semua orang menyukai Jo. Hingga semuanya memanjakan Jo. "Mi, gimana? Boleh kan?" Rajukan Jo membuat Renata tersadar dari lamunannya. Ditatapnya Jo yang sedang memasang wajah memelas andalannya. Kasihan sekali anak itu! Cuma minta mobil baru kan? Tapi Renata segera menggelengkan kepalanya dengan tegas. Ia harus tega. Ya, demi perubahan anak itu agar lebih dewasa kan? "Tidak. Mami gak kasih ijin, Jo." "Lho, kok gitu sih, Mi? Kan cuma minta mobil kok, bukan minta pulau!" Renata menguatkan hati agar tak terbujuk rayuan Jo. Dan ia ingat ia sudah membuat perjanjian dengan gadis sangar di warteg pinggir jalan tempo hari. Dan tentu saja, perjanjiannya dengan Sena sudah ia bicarakan dengan Abi. Meski awalnya agak keberatan, tapi Abi akhirnya menyetujui. Mendidik Jo memang harus oleh orang lain. "Kalau kamu mau, pulang saja ke rumah malam ini, ngomong langsung sama Papi kamu." Jo berdecak sebal. Renata keluar meninggalkan Jo yang dirundung kesal sampai ke ubun-ubun. "Masa minta mobil aja gak dikasih? Biasanya kan langsung acc, lah ini? Apa perusahaan Papi lagi pailit ya?" Tangan Jo membuka ponselnya dan mencari tahu perkembangan sejumlah perusahaan di bawah pimpinan Sang Papi. Kening Jo sedikit berkerut, "semuanya oke, bahkan sahamnya melonjak naik terus." Jo merebahkan badannya di atas kasur. Bodo ah, ia butuh tidur setelah kencannya gagal total dengan kehadiran Sang Mami. *** Ruangan itu cukup hening. Padahal di sana sedang banyak orang. Keluarga besar Oma Deswita berkumpul. Om Bintang dengan Tante Aisha, sepupunya juga ada, Dani dengan istrinya yang rajin makan itu, Raila. Oma berkali-kali menghela nafas, entah kesal ataukah sedih, Jo tidak tahu. Yang jelas saat ini ia sedang jadi terdakwa di meja berbentuk bundar ini. Saat makan malam tadi, semua baik-baik saja, makan dengan tenang. Ah, bahkan terlalu tenang. Raila yang biasanya berisik dengan Oma pun malam ini terlihat sangat tenang saat makan. Alhasil, setelah makan barulah inti ketenangan itu terkuak. Ternyata malam ini adalah malam persidangan terbesar dalam sejarah hidup Jo. Papi dan Mami menyebutkan rentetan kesalahan Jo secara bergantian. Mulai dari hampir di DO pihak kampus karena sering bolos, sering kepergok membawa gadis berbaju kurang bahan, pulang dalam keadaan mabuk, hingga menghancurkan mobil terbaru pemberian Papinya bulan kemarin. Ah, satu lagi, ia pernah menggoda sekretaris Papinya saat meminta uang ke kantor. Wajarkan? Sebentar lagi, ia akan menduduki jabatan Papi, jadi jelas dong, sekretaris itu otomatis akan jadi miliknya. Tapi sayang, dengan kampretnya sekretaris Papi malah mengadu. Padahal jelas sekali jika wanita itu mendesah saat ia menikmati bagian atas tubuh wanita itu. Ya, dia memang sebadung itu. Dan satu lagi, yang lebih tak terampuni adalah saat Jo ketahuan lagi mejeng di club dengan dikelilingi banyak gadis. Hancur sudah harapan Jo mendapat mobil baru bulan ini. Hancur sehancur-hancurnya. Papinya berdehem, lalu menatap Jo dengan tegas. "Baiklah, karena kesalahanmu sudah terlalu banyak, Jo. Kamu akan dihukum." Jo terperangah, "apa?" Renata menghela nafas, dalam hatinya ia terus komat-kamit. Demi kebaikan Jo ... demi kebaikan Jo ... demi kebaikan Jo ... "Ya, mulai malam ini kamu harus belajar hidup sendiri. Semua fasilitas dari Papi akan dicabut. Pergilah, sampai kamu tahu apa kesalahan kamu!" "Nata, apa tidak berlebihan?" Oma menginterupsi. Wajahnya terlihat khawatir, tapi tangan Renata memberikan jawaban. Ia menggenggam tangan Deswita, ibunya. Mengangguk yakin jika keputusan mereka adalah untuk kebaikan Jo. "Pi? Apa aku tidak salah dengar?! Apa?! PAPI NGUSIR AKU?!" "Jo, dengar! Papi bukan ngusir kamu, tapi Papi mau kamu berubah! Papi tidak tahan melihatmu yang seperti ini!" "Oh, Papi benci aku?!" Abi menghela nafas, "bukan begitu, Jo. Tapi Papi ingin kamu tahu arti hidup. Bahwa hidup bukan sekedar urusan happing fun, wanita, mobil mewah dan uang. Hidup lebih dari sekedar itu, Jo." Jo membuang nafas dengan kasar, "jadi buat apa Papi kerja selama ini hah?! Buat siapa?! Heran aku, biasanya orang tua bekerja untuk anaknya kan?! Ini apa?! Papi tidak rela uangnya dimakan oleh anaknya sendiri?!" "Bukan seperti itu," Abi hendak berkata, tapi Jo yang terlanjur kalap, malah bertepuk tangan sinis. "Oh, aku tahu, Papi bekerja terus menerus tanpa henti, jarang pulang juga. Semua itu buat kesenangan Papi kan? Apa jangan-jangan Papi juga sering 'jajan'? Mungkin selera Papi bukan lagi gadis kurang bahan seperti yang sering kubawa? Hati-hati lho, Mi!" "JONATHAN!!!" tak tahan, Abi hampir melayangkan tangannya. Tapi tertahan di udara. "Kenapa, Pi? Kalo mau tampar ya tampar aja, aku emang anak yang sering menghabiskan uang Papi kan?" "Jo!" Renata ikut menyela. "Baik, aku akan cari uang yang banyak, akan kubuktikan kalau aku juga bisa seperti Papi. Bahkan lebih, lihat saja nanti!" Meski terisak, Renata membiarkan Jo yang pergi meninggalkan meja. Semua diam. Bahu Oma nampak berguncang. Tangan Raila yang menenangkannya. "Cucuku  akan hidup sendiri di luar sana," ucapnya lirih. "Tenang Oma, semua demi kebaikan  Jo, aku yakin, Tante Nata dan Om Abi sedang mendidiknya." Abi diam lalu mengangguk pelan, "ya aku harap anak itu mau berubah." "Benar, semoga kelak saat ia kembali, Sena sudah berhasil merubahnya menjadi lebih baik." "Sena? Siapa dia?" Oma sedikit terkejut. "Ya, Sena adalah gadis sangar yang aku siapkan untuk mendidik Jo." "Kamu yakin, Abi?" "Ya, Oma. Aku sudah melihat gadis itu. Cukup untuk membuat Jo berubah kurasa. Bukan hanya pribadi Sena, tapi lingkungan Sena akan turut serta membuat Jo berpikir dewasa." "Memangnya kehidupan seperti apa Sena itu?" Dani ikut penasaran. Sepupunya yang satu itu memang sangat badung. Ia jadi ingin tahu, kehidupan seperti apa yang sudah disiapkan Renata untuk Jo. "Kehidupan rakyat jelata. Biar dia merasakan sulitnya mencari uang. Dan biar dia tahu bagaimana perjuangan hidup." Dani mengangguk-angguk. Ya, semoga saja, Sena itu bisa merubah Jo. *** "Tempat apaan ini? Kotor sekali!" Jo menepuk-nepuk lengan bajunya. Sebelum pergi, ia mendapat chat dari Maminya bahwa ada yang bisa menolongnya saat ini. Awalnya Jo tersenyum puas. Tuh kan? Apa dia bilang? Gak ada orang tua yang tidak menyayangi anaknya! Buktinya, Mami tetap memberinya bantuan dengan memberi alamat yang bisa dia temui. Tapi senyum itu tidak bertahan lama, saat ia mengikuti alamatnya. Ia terdampar di sebuah pemukiman kumuh kota Jakarta. Becek, bau dan banyak sampah. Sebuah kontrakan tua terpampang di depannya. "Alamat siapa ini? Kenapa Mami mengirimku kesini?" Jo bermonolog sambil melihat-lihat sekitar kontrakan usang itu. "Cari siapa lo?" Jo berbalik, matanya hampir loncat keluar melihat gadis yang berdiri dengan berpangku tangan. Satu kata, sadis. Eh, bukan. Tapi, sangar. Ah, lebih dari itu. Dan itu si gadis warteg menyebalkan yang mengerjainya waktu itu. "Lo?!" "Ya, butuh tempat tinggal?" "Cih! Gak! Gue gak butuh tempat tinggal kumuh seperti ini!" "Ah, gue lupa, lo anak orang kaya itu kan?" "Nah lo tahu, gue bisa bayar apartemen lebih mahal, bahkan gue bisa beli kontrakan murah lo semuanya!" "Lakukan saja kalau bisa." "Baik!" Sial! Jo sadar dia tidak bawa uang sepeser pun! Tapi gengsi sudah memenuhi tubuhnya hingga mencapai puncak kepala. "Dasar anak manja! Kalo lo gak mau masuk, gue bawa lagi kuncinya! Gue mau masuk ke kontrakan gue, apalagi hari mulai tengah malam. Gue gak jamin di tempat gini gak ada hantunya. Ini tempat orang pesakitan yang banyak hutang." "Maksud lo?" Jo mulai ketar-ketir. Sumpah! Dia gak takut pria berbadan kekar, tapi dia menyerah sama makhluk halus yang bergentayangan. "Ya, kali aja ada yang frustasi dan bunuh diri, ya kan? Gue masuk dulu, kalo butuh kunci, bilang aja, kontrakan lo yang sebelah gue, bye!" Bruk!! Pintu tertutup sempurna. Jo melongo. Hatinya menciut menatap bangunan tua mengerikan di depannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD