Ingin Mati

814 Words
Aro tiba di dalam kamar Bianca. Dengan lembut dan penuh perasaan, ia meletakkan tubuh indah milik perempuan tersebut, di atas tempat tidur yang tampak empuk. Selama 30 menit di dalam ketakutan dan kecemasan yang besar, Aro terus menatap Bianca tanpa henti. Ia sama sekali tidak berniat untuk meninggalkan nyonya muda tersebut. Pada saat yang bersamaan, Aro teringat kembali tentang bagaimana gadis ini sempat merawatnya beberapa hari, ketika tengah sakit dan diasingkan. Bahkan Bianca bersedia tinggal dan hidup di gudang tua, tiga minggu yang lalu. Saat itu, satu-satunya orang yang berani mendekat, mengantar makanan, dan obat, serta menyentuh Aro adalah Bianca. Dengan tangannya yang lembut, Bianca menggantikan pakaian Aro dan mengelap tubuhnya yang basah serta kotor. Sedang larut dalam kenangan, "Sttt," rintih Bianca sembari menyentuh wajahnya. Saat itu, selimut yang Aro pasangkan untuk menutupi tubuh Bianca, bergeser dan Aro pun kembali menaikkannya hingga ke batas d**a. "Ayo minum dulu, Nyonya muda!" Aro mengangkat gelas kaca ukuran sedang ke dekat bibir Bianca. Bianca menggeleng lambat, matanya berkaca-kaca dan air bening terlihat menetes dari parit kecil di ujung sisi kedua matanya. Ia tampak begitu menderita dan tidak sanggup lagi menahan rasa sakit. "Tidak, jangan menangis!" pinta Aro yang tidak tahan melihat tetesan air bening itu mengalir cepat. "Apa yang bisa saya lakukan untuk Anda?" Aro menegakkan tubuhnya dan menatap Bianca dalam-dalam. "Tolong!" "Ya?" Aro menatap fokus. Bibir Bianca bergetar, "Tolong, habisi nyawa saya!" pintanya sambil menantang mata Aro. Untuk pertama kalinya, hati Aro bergetar dan ia merasa takut. Biasanya, membunuh adalah hal yang mudah untuk ia lakukan. "Saya, mohon!" Aro menggeleng kecil, "Tidak, Nyonya. Itu tidak mungkin." Bianca memiringkan wajah dan menatap Aro. "Kamu takut kepadanya?" "Anda adalah wanita kesayangan tuan besar. Mana mungkin saya bisa ... ." "Wanita kesayangan?" Bianca menyeringai geli dan menertawakan dirinya sendiri. "Kesayangan? Ha ha ha ha ha, ya ampun." Lalu Bianca memegang dahi karena merasa tidak percaya bahwa ada seseorang yang berpikir dan bisa memberi penilaian seperti itu. Aro menunduk dan mulai iba, "Maaf." "Silakan keluar dari ruangan ini! Tinggalkan saya dengan semua keputusan saya sendiri!" "Baik, Nyonya. Tapi saya mohon ... jangan macam-macam." Aro berbicara halus dan lembut. Padahal selama ini, ia tidak suka melakukannya. Bahkan ia lupa cara berkata yang baik. "Keluar!" Bianca memberikan tatapan kesal. "Permisi, Nyonya. Jika butuh apa pun ... ." Belum tuntas perkataan Aro, Bianca sudah membuang wajahnya. Aro pun memahami isyarat tersebut, bahwa nyonya muda hanya ingin sendiri. Dengan langkah berat, Aro meninggalkan kamar Bianca. Ia memang memiliki akses bebas untuk keluar masuk ruangan pribadi milik Bianca. Semua itu karena tuan besar memberikan wewenang lebih kepada Aro, sebagai kepala keamanan dan pengawal pribadinya. Setelah keluar dari kamar Bianca, arah kaki Aro tertuju pada ruang pribadi milik tuan Jack. Ketika ia hendak mendekat ke arah pintu, Aro mendengar tuan besarnya tertawa sambil mengerang kenikmatan di dalam ruangan tersebut. Matanya terbelalak dan hatinya langsung menyadari tentang apa yang telah terjadi. Mungkin Bianca menolak untuk melakukan permainan panas bertiga dan tuan Jack marah besar, hingga memukulnya. Tiba-tiba saja, suara Bianca terdengar kuat di kedua telinga Aro. "Silakan keluar dari ruangan ini! Tinggalkan saya dengan semua keputusan saya sendiri!" Dan suara itu mengulang berkali-kali hingga membuat Aro merasakan sakit yang luar biasa pada kepalanya. Sambil memegang kepala dengan kedua tangan, Aro memperbaiki pandangan yang berkunang-kunang. Saat itu jantungnya pun berpacu begitu cepat, seolah mengarahkannya kembali kepada Bianca. "Aaah, tidak," kata Aro sambil menggelengkan kepala dan berlari cepat. Aro bergerak seperti angin, tubuhnya terasa begitu ringan dan ia langsung mendobrak pintu kamar Bianca. Pada saat yang bersamaan, ia melihat nyonya muda sudah mengangkat sebuah belati tinggi sekali dan siap menghujam ujungnya pada jantung. Aro kembali berlari karena melihat Bianca tidak merubah arah ayunan belatinya. Dengan cepat, ia memeluk d**a perempuan itu karena sudah tidak lagi mampu menghentikan laju belati yang telah mengayun cepat ke arah dadanya. Craaat. Darah segar keluar dari tangan kanan Aro dan membuat Bianca terdiam dengan ekspresi wajah sangat terkejut. Ia tidak menyangka, upayanya gagal kali ini dan malah menyakiti orang lain. "Aro, apa yang kamu lakukan?" tanya Bianca yang masih berada di dalam pelukan Arogan. "Melindungi nyawa saya, Nyonya." "Apa?" Bianca terdiam. Ia seolah dapat menangkap maksud lain dari perkataan Aro barusan dan itu membuatnya melemah serta menghentikan keinginannya. Bianca menatap aliran darah yang deras. Lalu dengan tangan yang gemetaran, ia berusaha untuk menutupi luka besar tersebut. Namun ini tidak mudah karena belati tertancap dalam. Saat itu, Aro menyadari sesuatu, yaitu Bianca serius ingin mengakhiri hidupnya. "Saya tidak bisa mengobati luka ini. Kamu harus ke dokter sekarang juga!" pintanya dengan mata yang penuh dengan air. "Tidak. Saya tidak mungkin meninggalkan Anda dalam kondisi seperti ini. Jika saya pergi, saya akan kehilangan Anda." "Tidak-tidak. Saya berjanji, saya tidak akan melakukannya lagi." Bianca tidak mampu membendung air matanya. "Saya mohon, Aro!" pintanya dengan tubuh yang tampak lemah dan kepala tertunduk. "Baiklah, tapi ... ." Bianca menutup mulut Aro dengan ujung jari telunjuknya. "Pergilah!" "Baik, Nyonya." Bersambung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD