BAB 2

887 Words
Matanya menyipit tajam saat mendengar kata demi kata yang tertutur dari mulut Jeslyn. Wanita itu berusaha untuk fokus menceritakan dengan detail setiap kejadian dimana mereka berhasil merebut berkas yang mereka incar selama tiga tahun. Sang Jenderal dapat menilai seseorang hanya dari bahasa tubuh mereka. Apakah mereka berbohong? Apakah mereka takut? Semua gerak-gerik manusia sudah di hafalnya luar kepala karena itu kini Sang Jenderal sedang berusaha untuk membaca serta mendengarkan apa yang Jeslyn utarakan. "Jadi, siapa yang memimpin penyerangan itu? Aku yakin kau tidak berada di tempat saat itu, bukan?" Jeslyn menelan salivanya sedikit sulit. "Anthea, Jendral. Saat itu saya sedang membantu Samantha untuk melacak posisi mereka." Athran menipiskan bibirnya. Mata tajamnya membuat siapapun tak berani berkutik. Bahkan, Jeslyn sendiri memilih untuk menunduk. Menantikan apa yang Jenderal mereka utuskan. "Bawa Anthea kehadapanku." Jeslyn melebarkan bola matanya tidak percaya. Tidak pernah Jenderal turun tangan langsung untuk meminta laporan pada bawahan-bawahan-bawahannya. "J-Jenderal?" "Bawa Anthea ke hadapanku, Jeslyn. Sekarang!" Matanya menatap Jeslyn tajam. "Apa aku perlu mengulangnya?" Dengan cepat Jeslyn menggeleng. "Baik, Jenderal." Setelahnya dia keluar dari ruangan luas tersebut untuk memberitahukan kepada Anthea agar segera bersiap-siap untuk bertemu Sang Jenderal. *** Anthea mengusap wajahnya kasar. Memakai pakaian resminya dan menatap Jeslyn tajam. "Apa yang kau katakan padanya, J? Kau pasti gugup saat melaporkannya, bukan? Hingga Jenderal memintaku bertemu langsung? Sial! Sial! Sial!" Wow, ini kalimat terpanjang yang Anthea ucapkan selama mereka kenal, kecuali saat bertugas tentu saja. Ya, Anthea memang lebih banyak berkata saat mereka sedang dalam menjalani misi. "Tenanglah, Thea." Genny bergumam sambil beranjak mendekat pada Anthea yang kini mengancingkan seragamnya. "Jenderal hanya ingin bertemu bukan membunuhmu." Kekehnya di akhir kalimat. Anthea menatap Genny dengan kesal. "Apa kau pikir aku takut bertemu Jenderal? Tidak, G. Tidak sama sekali. Aku hanya malas berurusan dengan para petinggi. Kau tahu itu? Bahkan, jika dibunuhpun oleh Jenderal aku tidak akan mengelak, lagipun kita semua akan mati, bukan?" Genny berdecak malas jika Anthea sudah mengeluarkan kata-kata pertahanannya. Tidak ada lagi yang membantahnya hingga Anthea selesai memakai sepatu lalu menatap ketiga temannya itu. "Ada yang ingin menyampaikan salam untuk komandan? Kalau ada akan dengan senang hati ku sampaikan." Samantha menunjuk tangannya. "A.gh..ku." "Kunyah permenmu hingga habis, Sam." Tegur Genny membuat Sam terdiam dan kembali memainkan komputernya. Anthea menghela napasnya. "Aku pergi-" Dia membalikkan badan dan beranjak sambil bergumam. "Berperang. Doakan saja kubu kita yang menang." Suaranya pun hilang dibalik pintu tebal. "Tidak ada yang bisa menebak pemikiran Anthea.." Gumam Genny pelan. Jeslyn mengangguk dan mengimbuhkan. "Tidak ada juga yang bisa menebak pemikiran Jenderal." "Api melawan api." Kali ini Samantha menyahut sambil membuka bungkus permen baru dan kembali mengemutnya. *** Dua mata beda warna itu saling menatap tajam. Keduanya tidak ada yang membuka suara sama sekali setelah letnan jenderal melapor pada Athran bahwasanya Anthea telah sampai. Dan disinilah keduanya sekarang, saling menatap tanpa kata. Jika Jenderal sedang mempelajari wajah cantik Anthea, maka Anthea sedang menunggu apa yang akan dilakukan oleh Jenderal. Anthea mengakui bahwa Jenderal sangat tampan, bibir penuh, mata abu-abunya tajam yang dapat menghipnotis wanita manapun, rahang kokohnya, alis terbentuk rapi dan sempurna, serta pahatan di hidungnya yang tak kalah indah. Jadi benar, yang dikatakan oleh Jeslyn setiap detiknya itu. Kini, Anthea mengerti kenapa Jeslyn menyukai pria terhormat di depannya. "Ceritakan laporanmu." Anthea menghela napasnya sebelum menceritakan semuanya tanpa ada yang tersisa. Tak ada keraguan dalam kata-katanya. Tidak seperti Jeslyn sebelumnya. Kata-kata yang keluar dari mulut Anthea sangat lugas, tegas, dan lancar seolah gadis itu sama sekali tidak merasa terintimidasi akan tatapan tajam sang Jenderal. Beda dengan para bawahannya yang lain yang akan merasa terintimidasi lalu gugup hanya karena tatapannya saja. "... menanamkan bom di dalam otak Redro. Bom tersebut akan bekerja 3 menit setelah sang pemilik tubuh meninggal. Saya yakin kalau mereka memang sudah merencanakannya sejak awal. Dan saya berada disana 40 detik saat bom akan meledak." Anthea menutup akhir kalimatnya dan kembali menatap Sang Jenderal. "Lalu bagaimana caramu kabur?" Sang Jenderal menatap Anthea intens. Walau sedikit banyaknya mengganggu benak Anthea, gadis itu masih mempertahankan wajah datarnya. "Hal tersebut bukanlah apa-apa untuk saya, Jenderal. Jadi, saya bisa kabur dengan mudah." Athran menipiskan bibirnya. Menatap Anthea dan bergumam. "Urusan kita belum selesai, Anthea. Sekarang, kau boleh keluar." Titahnya tak ingin di bantah. Anthea menaikkan sebelah alisnya. Seolah menantang Sang Jenderal, dirinya bertanya. "Tidak bisakah anda menyelesaikan urusan yang belum selesai sekarang juga? Saya yakin, anda tidak memiliki waktu untuk bertemu dengan bawahan rendahan seperti saya." Tatapan itu terlihat menusuk. Rahangnya mengetat mendengar kalimat demi kalimat yang gadis didepannya ini katakan. Ia beranjak dari kursinya dan berjalan dengan langkah yang menggemakan setiap sudut ruangan. Berhenti tepat di depan wajah Anthea. "Apa katamu?!" Tubuh tinggi Jenderal membuat Anthea menengadah. Menatap wajah Jenderal yang kini menahan amarah. Dia tahu bahwa Jenderal terpancing kata-katanya. Namun, bukankah dirinya benar? Sepertinya Anthea memang keterlaluan. "Maaf, Jenderal. Tapi, saya tidak merasakan mengatakan suatu apapun yang salah. Saya hanya ingin menyelesaikannya sekarang juga dan selebihnya mungkin anda bisa membahas dengan ketua kami." "Kau!" Jenderal menunjuk Anthea dengan wajah memerah karena marah. Ia bahkan kehilangan kata-katanya menghadapi seorang gadis keras kepala seperti Anthea. "Keluar sekarang! Tidak ada lagi yang perlu kita bahas." Athran berbalik dan menjauh lalu keluar dari ruangannya dengan suara pintu yang terbanting keras. Anthea menghela napasnya panjang. "Aneh.. Dia yang mengusirku, tapi dia yang keluar.." Gadis itu mengendikkan bahunya tak acuh dan memilih keluar dari pintu yang berbeda dengan sang Jenderal.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD