BAB 3

1073 Words
Athran berdiri di kegelapan dengan baju hitamnya yang menyatu dengan malam. Kedua tangan yang disedekapkan di depan d**a dengan angkuh. Tatapan tajamnya tak luput pada dua orang anak kecil yang sedang berlari di sebuah taman kota yang dipenuhi oleh keluarga. Mengingatkan dirinya pada sang Adik yang bahkan jarang ditemui. Tidak, lebih tepatnya Athran yang selalu menemuinya dalam diam. Salah satu dari anak tersebut tersandung dan terjatuh membuat anak satunya bergegas menghampiri ketika melihat yang sepertinya Adiknya hendak menangis. Lututnya berdarah dan si Kakak segera memberikan plester membuat si Adik kembali tersenyum. Athran mendengus lalu berbalik dan berjalan di antara kegelapan malam. “Jenderal, kami sudah mendapatkan laporannya.” Tiba-tiba saja bluetooth yang berada di telinganya berbunyi. Suara dari Letnan Jenderal Itler mengalun tegas. Athran berhenti sejenak. Menatap pemandangan didepannya yang kosong dengan kegelapan penuh tanpa sinar rembulan. Matanya berkilat sekilas. “Aku akan kesana.” Sahutnya singkat dan kembali berjalan menembus kegelapan. *** “Kau apa?!” Pekik Jeslyn tidak percaya saat Anthea bercerita- tidak, lebih tepatnya Jeslyn memaksa Anthea bercerita apa yang terjadi ketika dirinya dan Jenderal bertemu tadi sore. Wanita berambut merah langsung memegang kedua bahu Anthea dengan pandangan tidak percayanya. “Kau sudah melawan Jenderal, Anthea! Astaga, seumur-umur belum pernah ada yang berani berkata seperti itu padanya.” “Jangan berlebihan, Jeslyn!” Anthea menepis kedua tangan Jeslyn dari bahunya dan memilih untuk bersandar di sofa markas mereka. Meletakkan tangan lengan kiri di atas dahinya sambil berpikir keras tentang suatu hal yang menyangkut dalam pikirannya. “Sudahlah, J. Kau tidak akan mendapatkan apapun walau memaksanya berbicara.” Kali ini Debby masuk sambil membawa potongan kue dan meletakkannya di sebuah meja kayu yang terukir indah. “Dimana Sam? Bukankah dia tidak pernah jauh dari komputernya?” Jeslyn mengambil sepotong kue lalu memakannya. “Dia bersama Genny. Mereka sedang berbelanja makanan diluar.” “Kapan kita memiliki tempat tinggal?” Debby berujar sambil kemudian beranjak dan mengambil segelas air dari dispenser. “Entahlah.” Jeslyn mengedikkan kedua bahunya acuh. “Kurasa kita harus menundanya sampai Regan datang kemari.” Anthea yang sedari tadi terdiam kini bersuara, masih dengan mata menatap langit-langit kamar mereka. “Aku mendengar desas-desus tentang The Invisible Hand.” Jeslyn dan Debby langsung menyerbu Anthea membuat gadis berparas cantik itu kembali duduk dan menatap kedua rekannya dengan datar. “Aku mendengarnya tepat setelah bertemu dengan Jenderal.” Ia menerawang sambil mengingat-ingat seseorang yang meneleponnya setelah dirinya keluar dari ruangan sang Jenderal. “Dari kabar yang ku dengar, The Invisible Hand ini pernah membuat FBI kewalahan dan sekarang, mereka sedang bergerak.” Debby dan Jeslyn mendengarkannya dengan seksama. Wajah dua wanita cantik itu terlihat sangat serius ketika mendengarkan. “Kau mengatakan ini kepada Jenderal?” Anthea menggeleng kemudian menyandarkan kepalanya di sofa. “Tidak setelah apa yang dia katakan padaku. Kami tidak saling memerlukan lagi.” “Kau memerlukan dia, Anthea.” Debby menyahut santai. “Dia Jenderal kita walau aku belum pernah bertemu dengannya. Bagaimanapun, gaji kita ditangannya. Jika dia mengatakan gaji kita harus dipotong kepada pihak berwenang, maka gaji kita akan dipotong. Bahkan, dia bisa memecat dengan menghukum kita.” Anthea menghela napasnya dan menatap Debby datar sebelum bertanya dengan nada menyindir. “Lantas, apa aku harus meminta maaf padanya?” “Tidak perlu karena Jenderal bukan tipe orang yang mudah memaafkan orang lain kecuali kau mampu membuatnya kagum.” Kali ini Jeslyn menyela percakapan rekannya. Mengambil salah satu kue yang tersedia dan kembali bergumam. “Kau harus menunjukkan kemampuanmu yang sebenarnya, Anthea. Buat Jenderal kagum, dengan begitu kau tidak akan menerima hukuman apapun.” Debby mengangguk setuju ucapan Jeslyn sebelum Jeslyn melanjutkan, “Dan sekali kau bertemu dengan sang Jenderal, maka pasti akan ada yang kedua kalinya!” *** Pagi ini, Anthea memilih untuk berjogging hanya menggunakan tank top dan celana karet sebatas betis. Rambutnya diikat tinggi-tinggi. Anthea juga menyiapkan earphone untuk mendengar lagu-lagu menemani lari paginya. Sebuah handuk kecil ia kalungkan di lehernya dan setelahnya Anthea memakai sepatu sport dan mulai berlari keluar markas. Letak markas mereka begitu tersembunyi. Dari luar tampak seperti sebuah perusahaan, namun jika dari dalam benar-benar jauh berbeda karena begitu banyak teknologi canggih yang beroperasi. Anthea memasuki lift dan naik ke lantai dasar karena letak markas mereka memang di bawah tanah. Ia menatap segelintir orang yang berlalu-lalang, namun Anthea tidak peduli dan meneruskan jalannya hingga keluar markas. Jalanan pagi ini begitu lengang membuat Anthea langsung semangat karena sejujurnya, dia tidak suka keramaian. Anthea mulai berlari-lari kecil mengelilingi pinggiran Sungai Effra. Baru saja dirinya hendak berlari namun, berhenti karena Anthea melihat seorang anak kecil terjatuh di karena dorongan temannya. Anthea segera melangkah ke dekat si gadis kecil yang terjatuh. Membantu gadis kecil yang sudah menangis itu untuk bangun. “Kenapa kau mendorongnya, little girl?” Tanya Anthea pada gadis satunya yang mendorong gadis kecil yang kini terisak di dalam pelukannya. Gadis kecil itu menjulurkan lidahnya dan langsung berlari tanpa menjawab pertanyaan Anthea. Menghela napas pelan sebelum Anthea menatap gadis kecil yang sesenggukan itu. “Sudah jangan menangis. Anak cantik tidak boleh menangis.” Katy terdiam dengan pipi tembem yang memerah membuat Anthea tersenyum lalu menghapus lembut air mata di pipi Katy. “Nah, sekarang katakan. Siapa namamu, sweety?” “Katy, Aunty.” Anthea tersenyum. “Kau panggil Thea saja, bagaimana?” Katy mengangguk mengiyakan lalu melihat luka di lututnya. Dirinya memilih duduk di hadapan Anthea sambil meringis menahan sakit. “Tahan yaa sayang.” Pinta Anthea sebelum ia menyiramkan air mineral yang dibelinya ke luka Katy. Tampak, Katy meringis karena rasa pedihnya. “Ini untuk menghindari kumankuman. Aku tidak memiliki plester, tapi mungkin ini bisa membantu.” Anthea mengonyak handuk kecil miliknya lalu menutupi luka Katy dan mengikatnya tidak terlalu kencang. “Nah, sekarang kau bisa pergi.” Anthea tersenyum manis sambil mengacak rambut Katy. “Dimana kau tinggal?” “Orphanage, Thea.” Kali ini, Anthea menghela napasnya. Merasa kasihan sekaligus iba mengingat Katy tinggal di sebuah panti asuhan. Dirinya berdiri kemudian mengulurkan tangannya kepada Katy. “Ayo, ku antar sampai kesana.” “Apakah tidak apa-apa?” “Tentu saja tidak apa-apa.” Anthea balas tersenyum. Menggenggam lengan mungil tersebut sebelum berjalan menjauh untuk mengantar Katy. “Apakah anda yakin, Jenderal?” Tanya Itler yang berdiri tidak jauh dari tempat Anthea berada sebelumnya. Jenderal Athran tersenyum sinis. “Aku yakin, Itler. Apalagi setelah mendengar laporanmu tadi malam." Matanya menajam sebelum bergumam, "Dia umpan yang bagus untuk seseorang yang sudah mengkhianati kita.” Putus Jenderal sebelum berbalik dan menjauh dari sana.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD