Sebuah Rencana

1492 Words
Suasana di stasiun, semuanya terdiam dalam keheningan. Terutama di pos keamanan yang semakin hening dan membuat orang-orang semakin bingung. Bagaiamana tidak, baby usia 8 bulan mendadak kehilangan ibunya. Orang yang pertama ia ketahui dalam ingatannya adalah ibunya. Seorang ibu penerang dunia bagi setiap anak yang terlahir di dunia.Tidak bisa dibayangkan, Jika ibu dan anak terpisah. Karena cinta ibu adalah yang paling menenangkan dan meneduhkan. Tiba-tiba petugas kereta api memecahkan keheningan itu. "Ya sudah, bagaimana kalau saya saja yang mengurus baby itu. Untuk sementara waktu, sampai benar-benar menemukan keluarga almarhum ibunya," ucap salah satu petugas kereta api itu. "Kebetulan saya hanya tinggal berdua bersama istri saya," Sambungnya. Para pemuda itu, terdiam seakan enggan untuk mengatakan iya. Karena biar bagaimanapun juga, mereka sangat menyukai baby Kimmy. Sangat disayangkan jika baby selucu ini diurus oleh orang yang belum tentu akan mengurusnya dengan baik. "Ahh, sa-saya rasa biar kami saja yang mengurusnya, Pak!" celetuk Reno. "Apa?" timpal Yongki semakin tercengang dan membelalakkan matanya. "Ya, biar bagaimana pun juga, bayi ini adalah amanah dari almarhum ibunya. Dari awal dia sudah mempercayai saya untuk membantu menggendong nya. Jadi apa salahnya kita urus untuk sementara waktu. Lagian Pak polisinya juga sudah mempunyai kartu nama kamu Ki, kalo terjadi sesuatu kan bisa menghubungimu, benarkan?" sambung Reno meyakinkan Yongki. "Ah, i-iya benar hehehe. Benar sekali apa yang diucapkan Reno, Pak," jawab Yongki cengengesan. "Kamu yakin, Ki?" bisik Dicka sambil berbisik ke telinga Yongki. "Entahlah aku bingung, tapi ya sudah lah mau gimana lagi, daripada diasuh sama orang yang gak dikenal!" tutur Yongki. "Apa kalian tidak keberatan? Jika keberatan, kami akan membawanya ke panti asuhan untuk sementara waktu," tukas Pak Polisi. "Tidak, Pak!" kata Yongki dan Reno dengan serempak. Sementara, Dicka hanya terdiam tanpa kata. Ia bingung, karena ia tahu bagaimana mengurus anak kecil, apalagi masih bayi pastinya akan repot. Ia sudah merasakan ketika, mengasuh adik perempuannya yang pada saat itu masih kecil. Sekarang ia alami lagi untuk mengasuh baby Kimmy. "Ya sudah, kami percayakan pada kalian semua untuk menjaga baby ini, jaga sebaik mungkin dan untuk keluarga almarhum, kami akan kabari secepatnya," ucap Pak polisi. "Baik Pak, terima kasih!" sahut mereka bertiga. "Kalo begitu kami permisi dulu Pak," ucap Dicka. "Ya silahkan." tutur Pak polisi dan para petugas kereta api yang ada di pos itu dengan serempak. Mereka bertiga pun langsung bergegas meninggalkan stasiun kereta api. Sambil membawa baby Kimmy yang sedari tadi masih tertidur pulas dipangkuan Reno. Mereka bertiga akan menuju ke rumah sewaannya Yongki. Lokasi rumahnya lumayan dekat dari area stasiun. Jika naik taxi hanya butuh waktu 10 menit-an, maka sudah sampai di tempat tujuan. "Welcome in the home," ucap Yongki sambil membuka pintu rumahnya. Dan mereka berdua pun masuk tanpa sungkan lagi. "Nyaman juga tempatmu Ki," jawab Dicka sambil rebahan di kasur favoritnya Yongki. "Aku pasti bakalan betah nih, Ki," sambung Dicka. "Ehh, geser!" celetuk Reno sambil mepet-mepet ingin segera merebahkan baby Kimmy di samping Dicka. "Ya ampun, kayak gak ada tempat lain aja sih, Ren!" gerutu Dicka. "Kalau bayi nyaman nya pasti di sini!" Reno terlihat kelelahan karena yang sedari tadi menggendong baby Kimmy. Udah gendut, berat lagi. Jadi sudah jelas apa yang dirasakan reno saat ini tentunya seperti nano-nano. Sudah pegel, linu, encok, dan keram semuanya menjadi satu. *** Sementara di tempat lain "Pak, rencana kita sudah berhasil!" ucap salah seorang laki-laki yang terlihat sangar dan galak. "Bagus! kerjamu selalu bikin aku puas!" kata seorang laki-laki paruh baya. "Terima kasih Pak." "Terus apalagi rencana selanjutnya Pak?" tanya anak buahnya lagi. "Tentu saja bereskan satu orang lagi yang ada di rumah ini!" Prankk! Tiba tiba suara gelas pecah terdengar jelas. Sontak saja Bos dan para anak buahnya itu kaget setengah mati. Mereka tidak mau ada satu orang pun yang menguping percakapan nya itu. Kemudian salah satu anak buahnya mengecek keluar ruangan. Dia adalah Andi usianya hampir 37 tahun-an. Dia juga sangat dekat sama para pelayan yang ada di rumah itu. "Bi Inah!" ucap Andi pelan. Bi inah pun kaget dan gugup saat disapa oleh Andi. Secara, Bi Inah merasa ketakutan. Ia pikir yang keluar dari ruangan itu adalah majikannya, yaitu Pak Arif. Karena Pak Arif, tepatnya Pamannya Nadya, orangnya begitu sangar dan bengis. Ia mengambil alih perusahan milik orang tuanya Nadya. Karena pada saat orang tua Nadya meninggal, Nadya dan kakaknya masih kecil. Maka, mau tidak mau dia dan kakaknya harus tinggal bersama pamannya. Karena kalau tidak, semua harta kekayaan milik orang tuanya akan jatuh ke tangan Pak Arif. Meskipun begitu, Nadya tetap menghormati pamannya. Karena sudah bersedia merawat dan membesarkan dia dan kakaknya sampe sekarang ini. Semenjak kakak nya lulus kuliah, Nadya belum juga bertemu dengan kakaknya. Karena selama ini, kakaknya ditugaskan di kota lain untuk memimpin anak perusahaan oleh pamannya. Rasa rindu Nadya memuncak. Ia ingin rasanya pergi dari rumah itu. Ingin kebebasan, ingin bersama kakaknya lagi dan masih banyak lagi yang ia harapkan. "Ah, maaf Ndi, tadi waktu lagi bawa minuman, kaki saya keseleo," ucap Bi Inah sambil membereskan pecahan gelas tadi. "Ya sudah, cepat bereskan Bi, nanti Pak Arif keburu keluar," bisik Andi. Dari sekian anak buah Pak Arif, hanya Andi lah yang begitu dekat dengan Bi Inah. Jadi, ia tidak begitu mempermasalahkan Bi Inah. Karena Bi Inah, selalu memperlakukan Andi seperti anak kandung ya sendiri. Dengan tergesa-gesa, Bi Inah membereskan pecahan gelas tadi. Takut bosnya tau, kalau dia sudah menguping pembicaraannya. Dan setelah itu, ia pun langsung bergegas menuju ke dapur tanpa bertanya apapun kepada Andi. Setelah kejadian itu, bi Inah pun segera melangkah menuju ke kamar majikannya yang tak lain adalah Nadya. Tok tok tok Suara pintu terketuk dengan begitu keras. Sang pemilik kamar itu pun langsung membukakan pintunya. Terlihat, bi Inah seperti ketakutan dan tidak bisa tenang. Ya, setelah mendengar percakapan pak Arif dengan anak buah nya, ia terus saja merasa khawatir. "Bibi kenapa?" tanya Nadya mengernyitkan alisnya. "Non, saya mau bicara!" Pekiknya. "Ehh, ada apa Bi? Kelihatannya serius banget," ujar Nadya penasaran. "Ya Non, ini penting!" kata Bi Inah dengan serius. "Dengarkan saya baik-baik ya! Mulai saat ini, lebih baik Non Nadya sekarang tinggalkan rumah ini. Karena suasana di rumah ini sudah tidak aman," ucap Bi Inah dengan penuh kecemasan. "Apa! Maksud bibi apa? Aku tidak mengerti," ucap Nadya heran. "Tadi Bibi, tidak sengaja menguping—" "Menguping lagi?" ucap Nadya memotong pembicaraannya Bi Inah. "Ini serius Non! ada sangkut pautnya dengan non Nadya. Ini berhubungan hidup dan matinya kamu loh Non," lirih Bi Inah. "Bi, sebenarnya ada apa sih? Aku belum paham dengan ucapan Bibi ini!" ucap Nadya semakin penasaran. "Non, Tuan Arif itu tidak baik, dia jahat! Dia ingin membunuh Non Nadya!" ucap Bi Inah meyakinkan Nadya. "Apa?" ucap Nadya kaget. Seolah ia tidak percaya jika pamannya berbuat seperti itu. "Iya Non, tadi saya tidak sengaja menguping pembicaraannya, kalo dia ingin melenyapkan kamu Non," jawab Bi Inah yang mulai mengeluarkan air mata nya. "Sekarang non Nadya lakukan apa yang saya katakan tadi. Saya tidak ingin majikan saya mati ditangan orang jahat macam Pak Arif." "Tapi Bi, bagaimana dengan nasib kakak aku? Dia pasti kehilangan kalau aku pergi dari rumah ini. Lagian aku belum bertemu lagi dengan kakak. Apalagi sekarang ini, dia sudah janji mau pulang. Sekarang hari sudah mau gelap juga bi, aku tidak mungkin pergi sekarang," ucap Nadya bersikukuh ingin tetap berada di rumah itu. "Tapi Non!" "Sudahlah Bi, jangan di pikirin. Bibi kan tau dia satu-satunya keluarga yang aku punya. Jadi mana mungkin aku ninggalin kakak seorang diri di sini. Untuk masalah Paman Arif, aku belum yakin Bi. Dan Bibi jangan khawatir soal itu, mendingan sekarang ini siapkan makan malam untuk aku, oke!" "Tapi ... ya sudahlah. Bibi siapkan dulu deh!" "Nah gitu dong, makasih ya bi," ucap Nadya tersenyum manis. Bi Inah pun langsung bergegas menuju ke dapur. Nadya memandang terus Bi Inah yang tengah keluar dari kamarnya sambil berkata, "Apa benar pamanku sejahat itu?" Setelah beberapa menit kemudian, Nadya pergi mencari sebuah kotak yang ada di lemari bajunya. Setelah menemukannya, ia langsung membuka kotak itu yang berisikan sebuah alat kecil yang bisa mengetahui percakapan orang-orang yang ada di sekitar rumah dirinya. Sebuah alat mata-mata berbentuk kupu-kupu. Alat itu, pemberian dari teman sekolahnya yang bernama Ana saat dirinya berulang tahun. Tapi, sayangnya belum pernah ia pakai. Maka dari itu, kini saatnya ia untuk mencobanya. Apakah alatnya berfungsi atau tidak. Dan sontak saja, Nadya kaget dan syok. Setelah alat itu berfungsi, semua percakapan terekam semua, apa yang didengarnya sungguh tidak disangka-sangka. Nadya menangis dan kecewa kepada pamannya, kenapa ia punya watak sejahat itu. Kini ia sudah tau apa yang direncanakan pamannya itu. "Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan!" Pekik Nadya. Nadya menangis sejadi-jadinya, dia teringat akan janji pamannya untuk menjaga dan melindunginya. Ternyata di balik semua ini hanyalah bohong belaka. Sungguh Kecewa berat bagi seorang Nadya. Dalam kesendiriannya, terlukis raut wajah penyesalan dan hatinya kian membisu dalam kehampa-an. Entah harus kemana ia pergi, kejadian ini membuat dirinya syok. "Apa aku harus meninggalkan rumah ini? Terus bagaimana dengan kakakku? Ya Tuhan, semoga saja dia cepat pulang, biar kita bisa pergi bersama dari rumah ini." BERSAMBUNG
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD