Episode 12 | Delivery Order ke Krusty Krab

1815 Words
"Kalau kamu bersedia boleh juga." Kalimat yang diucapkan Yudistira terus terngiang di telinga Aluna. Bisa-bisanya pria itu mengatakan hal yang tak masuk akal padanya. Bukankah Yudi tahu bahwa ucapannya tersebut sangat tidak mungkin? Aluna berstatus sebagai calon istri dari adiknya sendiri dan Yudistira tahu itu. Sekali pun setelahnya pria itu langsung terbahak saat mengatakan bahwa dirinya hanya bercanda, tapi tetap saja, Aluna menjadi kepikiran. Aish. Masa bodoh. Aluna merapikan tatanan rambutnya. Bercermin di balik kaca bedak seraya berjalan terburu-buru menemui Bima yang sudah mematung di depan kap mobil. Aluna nyengir polos saat menyadari tatapan Bima yang seperti orang snewen. "Kenapa? Aku tuh dandan buat kamu." Bima merotasi kedua bola matanya. "Banyak gaya. Centil mah centil aja jangan bawa-bawa aku." Aluna mencebik. Memasukan kembali bedaknya ke dalam tas, lantas membuka pintu mobil dan duduk di samping kemudi. "Cepetan masuk! Kita mau ke mana?" "Ke Darajat, Garut. Gimana?" tanya Bima seraya duduk di bangku kemudi. "Ah males." "Terus?" "Udah. Jengukin Yudistira aja. Nongkrong di sana." Aluna menaik turunkan sebelah alisnya. Bima menggaruk kepalanya. "Ke rumah Yudi mau ngapain?" "Jengukin lah. Emang kamu udah jenguk apartemen barunya Yudistira?" Gak bisa na ni nu ne no dong! Dewa batin Bima menyesalkan. Seluruh rencana yang sudah tersusun rapi seolah berakhir sia-sia. "Udah jengukin Yudi belum?" "Belum!" jawab Bima ketus. "Kok jadi peduli banget sama Yudistira, sih?" "Lah emangnya kenapa?" Bima menatap curiga manik mata Aluna. Jari telunjuknya mengacung di depan wajah sang kekasih. Menuduh tanpa bukti. "Jangan-jangan ...," ucapnya. Jarinya beralih mengusap dagu. "Kamu kepoin aku, ya? Nanya-nanya soal masa lalu aku sama Yudi. Ya khaaannn?" Aluna tergelak. Aish ... Iya in aja lah. Bima cekikikan, lantas melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Hanya obrolan receh yang terjalin di sepanjang perjalanan. Kadang tangan Bima jahil, mengusap lutut Aluna dan bergerak naik menuju paha. "Heh!" Aluna mengeplak kasar tangan sang kekasih yang bergerak naik secara serampangan. Bima mencebik kesal. "Dih. Dasar pelit!" "Gak tahu kondisi!" Bima cengengesan, tubuhnya bergerak mendekat dan berbisik. "Makanya jangan ke rumah Yudi. Ke Darajat aja. Nyewa penginapan berdua." Pipi Aluna mendadak panas. Kendati ucapan seperti ini bukan hal asing di antara mereka, tetap saja ia tak bisa mengontrol keadaan jantungnya yang bertalu-talu. "Deg-degan, ya?" tanya Bima jahil. Aluna menamparkan pandangannya ke luar kaca mobil. Menyelipkan rambut ke telinga beberapa kali. "Apa, sih?" Mereka memasuki Dago, berhenti tepat di parkiran Grand House Residence. Berjalan beriringan memasuki loby berbelok menuju lift ke lantai sebelas. "Emang beneran lantai sebelas?" tanya Bima. Aluna mengangguk mencari unit apartemen nomor 105. Menekan bel sampai sang empunya keluar. "Eh, Mbak Bulan." Wajah memenjengkelkan Tito nampak di ambang pintu. Aluna merotasi kedua bola matanya. Begitu pun Bima. Kok ada mahluk Saturnus ini, sih? "Kok ada elo?" tanya Bima. Menerobos masuk tanpa permisi. "Yut. Lo nggak ada niatan selametan? Gue mau kurbanin si Tito, nih." Yudi yang berdiri di depan lemari, dengan hanya menggunakan handuk sebatas pinggang ke bawah pun menoleh. Dengan pedenya menurunkan handuk hingga bertelanjang dan mengambil sebuah boxer dari dalam lemari. Buset ini anak nggak tahu malu banget. Kan ada cewek gue di sini. Batin Bima menggerutu. "Yut, di sini ada si Bu-" "ASTAGFIRULLOHALADZIM!" Aluna yang baru masuk di ambang pintu mendadak snewen. Lantas lari dan bersembunyi di pojok sofa. Yudi terbengong di tempatnya. Menutupi selangkangannya sesaat setelah menyadari dari mana biang keributan itu berasal. "Gue bilang juga apa!" gumam Bima santai. Tak memedulikan Aluna yang parno di pojokan sana. Bima malah sibuk membuka kulkas yang isinya hanya beberapa butir telur dan s**u UHT. "Si Bulan kayak gak pernah lihat titit aja," celetuk Tito tanpa dosa. "Emang dia nggak pernah lihat punya lo, Bim?" Bima mendelik sinis menatap wajah Tito yang masih polos-polos biadab itu. "Itu bukan rusan lo!" Tito cengengesan. Duduk santai di atas sofa. Yang mana berdekatan dengan tempat persembunyian Aluna saat ini. "Semua pacar gue pernah lihat punya gue, loh." Masa bodoh. "Tapi sekarang pacar gue tinggal tiga." "Besok-besok tinggal satu. Habis deh semua. Syukur alhamdulillah!" sambar Yudistira yang sudah berpakaian lengkap. Pria itu menghampiri Aluna yang masih bersembunyi di pojokan sofa. Mengulurkan lengannya pada gadis itu. "Lun ... Kakak sudah pakai baju, Kok." Aluna melirik takut-takut. Macam ukhti-ukhti yang matanya masih suci. "Syukurlah." Bima melirik Yudi dan sang kekasih dari balik pantry. Lantas menaikan sebelah alisnya skeptis. Sejak kapan mereka terlihat akrab? "Kak Yudi nggak nyadar ada aku, ya?" tanya Aluna seraya nyengir kikuk. Yudi menggeleng. "Nggak sama sekali." "Pantesan." "Aku kira hanya kedua mahluk pluto itu yang berada di sini." Yudi melirik Bima dan Tito bergantian lantas menggerakan tangannya yang sedari tadi dianggurkan. “Ayo bangun.” Aluna menyambut tangan Yudi ragu-ragu, lantas berdiri seraya nyengir polos. "Iya bener. Udah pakai baju," ucapnya. Menggaruk kepala, beralih menyelipkan rambut ke belakang telinga. Yudi terkikik pelan di tempatnya. Kelakuan seperti ini memang Aluna banget, lah. Dari balik pantry, Bima berjalan cepat-cepat menghampiri Aluna dan Yudi. Berdiri di tengah-tengah keduanya. "Kamu kok kayak nggak pernah lihat aja," celetuk Bima tepat di kuping Aluna. Aluna tergelak. Memukul kencang bahu Bima hingga mengaduh kesakitan. Yudi mengusap bagian belakang lehernya seraya menaikan sebelah alis, lantas tersenyum miring seraya bergegas menuju pantry. Ia duduk di mini bar, menatap pemandangan Kota Bandung dari kaca yang terhubung dengan mini bar di baliknya. "Ini mumpung lagi ngumpul, ngapain kek." Tito duduk di sofa. Memencet remot tv dan menonton SpongeBob SquarePants. "Delivery order ke Krusty Krab, kek. Pesen krabby patty." "Halu, lo. Gue sama Aluna mau liburan ke Bikini Buttom. Lo nggak usah ikut, ya," sambar Bima. Posisi dua sejoli itu tengah bersandar pada kaca besar yang langsung terhubung dengan pemandangan luar Kota Bandung. Aluna dan Bima memunggunginya, menutup akses cuci mata Tito sehingga terpaksa menonton tayangan yang diperuntukan kepada bocil. "Ya, 'kan, Sayang?" tanya Bima sok romantis. Melingkarkan tangan ke pinggang Aluna dan menariknya agar lebih dekat. "Ngapain ke Bikini Buttom?" tanya Tito sinis.” Sekali pun diajak, gue nggak mau ikut kalian. Najis gue ngikut manusia halu macam lo. Mending gue ke pantai Pangandaran. Nyari bule sekaligus liburan beneran. Enak pantainya bagus, bisa cuci mata," lanjutnya. "Lo tau dari mana kalau pantai Pangandaran bagus? Sok tahu banget." "Dari google," jawab Tito polos. Aluna menggeleng heran. Tingkah dua orang ini masih sangat kekanakan. Ia memilih pergi menghampiri Yudistira yang mematung memandang kaca. Menikmati indahnya suasana kota di baliknya. "Nggak ikutan ngehalu, Kak?" Yudistira tersenyum sekilas. Mengambil sebatang rokok dari dalam saku celananya, membakar dan menyesapnya perlahan. Aluna menaikan alis heran. Ia baru tahu bahwa Yudistira ternyata seorang perokok. Bima melirik Yudistira dan Aluna dari balik ekor mata. Alisnya bertaut skeptis. Sejak kapan mereka dekat? Bukan itu, melainkan; Sejak kapan Yudistira bisa sedekat itu dengan wanita? *** "Menurut kamu, Yudi orangnya bagaimana?" Aluna menautkan alisnya heran. Tidak ada angin tidak, ada badai, tiba-tiba Bima bertanya hal yang tak biasa padanya. Lagi pula, sejak kapan Bima begitu peduli tentang pendapat orang lain mengenai kakaknya. Yudistira pindahan saja ia tak memberi selamat sepatah kata pun. "Yudi baik. Kakak kamu emang baik, 'kan?" Bima menghela napas dalam, mengembuskannya asal. Bersandar di bangku kemudi dan mulai menyalakan mesin mobil. "Sejak kapan kamu menjadu dekat dengan Yudi?" Aluna tersenyum saat Bima membawanya ke luar dari parkiran Grand House Residence. "Gak tahu. Lupa. Aku beberapa kali nebeng berangkat kerja dengan Kak Yudistira. Beberapa kali di antar pulang. Pernah dibelanjain juga di Sephora," jawabnya polos. Menyelipkan rambutnya ke belakang telinga. Aluna merasa bahwa Bima akan senang mendengar ceritanya. Mendengar kekasihnya begitu dekat dengan anggota keluarganya. Aluna salah. Ternyata Bima malah menurunkan senyum saat mendengar penuturannya. "Kenapa?" tanya Aluna. Bima menggeleng. Kembali memaksakan senyumnya. “Syukurlah kalau kalian dekat. Yudi nggak pernah sedekat itu dengan wanita. Semenjak ... kejadian itu." Aluna mengangguk pelan. "Kak Yudi masih sayang banget kayaknya, ya, sama mantan tunangannya itu." Bima mengendikan bahu. "Aku nggak tahu." Lebih tepatnya; Untuk sekarang Bima tak mau membahas Yudistira. "Udah nggak usah bahas Yudi, lah." "Yang duluan bahas ‘kan kamu?" Bima nyengir di tempatnya. Meraih tangan Aluna dan menggenggamnya. Cengirannya berubah menjadi sebuah senyuman kecil. "Aku sayang sama kamu. You know that." Aluna memandang sang kekasih skeptis. Di detik selanjutnya ia ikut tersenyum. Membalas genggaman tangan Bima dan mengecup pipinya perlahan. "I know." Bima masih memandang Aluna lekat-lekat. "You love me?" "I love you." "Don't you leave me." "Never." "Thank you." Di detik selanjutnya Aluna terbahak. Menoyor kepala Bima hingga terbentur pintu mobil. "Apa sih anjir. Gak cocok banget kamu kayak begitu!" Bima mengaduh. Mengusap kepalanya yang hampir pecah. "Aku lagi nyetir loh, Lun. Kamu galak banget, sih?" "Habis aku geli. Kamu bucin banget!" Bima merotasi bola matanya. Rasa sakit di kepalanya masih terasa. Ia mengusapnya lagi. Sialan memang si Bulan ini. "Bucin sama cewek lain tau rasa kamu." "Emang siapa yang mau sama kamu?" ejek Aluna. "Sakit, ya?" Ia mendekati Bima dan mengusap bagian kepala yang sedikit benjol. "Banyak lah. Kamu lupa kalau aku mantan pacarnya Kendall Jenner?" "Ngimpi!" Aluna menekan kembali bagian kepala Bima yang memar. Bima kembali meringis dibuatnya. "Udah kepalanya peyang, benjol lagi," celetuk Aluna. "Enak aja. Peyang-peyang sembarangan. Aku ganteng. Di sekolah, aku menjadi cowok paling dikagumi sama para cewek. Tanyain ke mamaku, sana! Mamaku sampai puyeng karena setiap hari ada saja cewek yang ngirim amplop surat ke rumah. Isinya nembak aku semua lagi." Bima berucap percaya diri. Melirik Aluna yang hanya cengengesan saking tak percaya. "Amplop-amplop itu aku kembaliin semua. Setelah aku kasih nilai." "Kasih nilai bagaimana?" tanya Aluna. Sudah, temani saja lah kehaluan Bima ini. "Aku kasih nilai. Tulisannya rapi belum. EYD nya benar atau tidak. Seputar itu." Aluna tergelak. Sok keren banget sih cowok yang satu ini. Untuk urusan tampan, Aluna tak menampik. Bima memang pria tertampan yang pernah ia kencani setelah para mantannya yang rata-rata memiliki wajah standar, bahkan cenderung ke jamet. Di awal pertemuan, bahkan Aluna mengira bahwa Bima merupakan jelmaan dewa. Saking hiperbolisnya, ia selalu mengibaratkan Bima seperti idol K-Pop idolanya. Jungkook. Iya, memang sebelas duabelas dengan Jungkook. Serius. Hanya saja Bima memiliki mata yang jauh lebih besar di banding idol K-Pop itu. Badannya sedikit lebih kurus di banding Jungkook yang berisi. "Kamu sendiri pernah bandingin aku sama Jungkook. Iya, kan?" Bima menaik-turunkan alisnya. Aluna menyembunyikan raut wajah malu di tempatnya. Menyampirkan rambut ke belakang telinga. "Masih inget aja kamu!" "Seneng 'kan bisa pacaran sama Jungkook BTS?" Aluna malas menjawab. Ia terlanjur gengsi untuk mengakuinya lagi. Lantas ia mengeluarkan ponsel dari dalam tas pura-pura menelpon seseorang untuk menyelamatkan harga dirinya. Bima menahan tangan Aluna. Masih dengan kejahilannya sampai ponsel Aluna jatuh dibuatnya. "Lo nggak pernah mau diem, Bim. Tanggung jawab kalau hape aku retak atau hancur kamu harus beliin baru." Aluna membungkuk, meraba bagian bawah mobil dan merampa sesuatu. Bukan HP? Ini Seperti ... batangan lipstik? "Ini lipstik siapa?" tanya Aluna. Mengacungkan sebatang lipstik di udara. Bima baru saja bangkit setelah memungut ponsel Aluna dan menaruhnya kembali ke dalam tas sang kekasih. "Lipstik apa?" tanya Bima bingung. Aluna memandang Bima lekat-lekat dalam posisinya. "Kamu bawa masuk cewek mana sampai gincu-nya ketinggalan begini?" Bima mengerjap bagai pria bodoh. Kesulitan berkata-kata saat Aluna membombardirnya dengan berbagai pertanyaan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD