bc

Perfect Scandal

book_age18+
1.5K
FOLLOW
9.6K
READ
drama
comedy
sweet
humorous
like
intro-logo
Blurb

18+ only

Bimasena menghamili Kalista?

Yudistira mencium Aluna?

Lantas bagaimana nasib rencana pernikahan Aluna dan Bima ke depannya?

Dua sejoli; Aluna dan Bimasena hendak melangsungkan pernikahan dalam waktu dekat. Kesalahpamahan kecil yang terjadi antara keduanya memicu kerenggangan.

Sial karena kerenggangan itu malah dimanfaatkan oleh Kalista yang diam-diam menaruh rasa pada Bima.

Pun dengan Aluna, yang kerap kali bercerita dengan Yudistira—calon kakak iparnya—hingga secara tak sadar, Yudistira pun menaruh rasa pada Aluna.

Untuk cerita lengkapnya, yuk baca saja!

chap-preview
Free preview
Episode 1 | Otw Menikah
Bimasena Kenapa, sih, cewek selalu meributkan segala hal? Make up luntur, ribut. Sepatu kena debu sedikit, ribut. Cowoknya nge-love postingan i********: artis cewek, ribut. Giliran Song-Song couple kawin, mereka membuat postingan 'PATAH HATI INTERNASIONAL', yang anehnya, kita tidak diperbolehkan marah sama sekali pada mereka. Heran. Dua bulan lagi, aku akan melepas masa lajangku, alias menikah. Dan saat ini aku sedang mencoba menjadi seorang calon suami idaman untuk Aluna—calon istriku. Masalahnya, secara mental apakah aku sudah siap, atau justru malah ragu, sih? “Menikah ribet, gak dinikahin sayang.” Begitu cuitanku di twitter beberapa hari yang lalu. "Kalo lo belum siap, ngapain ada rencana nikah? - Hamba Allah,” sahut sebuah akun yang mengomentari postinganku. Geblek, siapa, nih? Pas aku kepoin akunnya, ternyata isinya promosi peninggi badan semua. Asoe. Begini, loh, netizen yang budiman. Aku pacaran dengan Aluna sudah hampir dua tahun. Emak-bapak Aluna sudah gereget terhadapku yang ngapel melulu tapi tidak memberi kepastian pada anak gadisnya. Mereka mendesakku kala itu. “Kalau Nak Bima tidak serius lebih baik tinggalkan,” tekan tante Hamilah—Ibunya Aluna waktu itu. Praktis aku melongo. Mana mungkin aku meninggalkan Aluna? Ingat perjuangan, untuk mendapatkan gadis ini lumayan susah. Lagi pula aku sudah biasa hidup mandiri. Jadi, tunggu apa lagi? "Bim, sudah buang sampah belum?" teriak Mama dari dapur. Lamunan dan kekesalanku buyar, berganti dengan berbagai umpatan. Ah, males, mending pura-pura tidur. “Bimasena Gala Arshaka!” teriaknya lagi. Ih, aku tuh capek. Mau bobok. “BIMAAAAA! Lu lagi simulasi meninggal apa gimana?” Si anjir. Emak memang pantas dapat juara dua Internasional dengan gelar tukang ngomel. Juara satunya, tentu saja Aluna. Sudahlah! Masalah kehidupanku kalo sudah nikah mah urusan nanti. Sekarang, aku mau buang sampah dulu. *** Aluna Awal cerita, kenapa aku bisa dekat dengan Bima sebenarnya agak sedikit absurd. Waktu itu, aku masih berpacaran dengan Andra, bahkan sedang harmonis-harmonisnya sampai ke mana-mana nempel melulu layaknya mata dan belek. Si tidak tahu malu Bimasena, dengan berbagai ketidak warasannya datang menikung, menghalalkan segara cara. Pertama, ia yang selalu melempar kulit kacang hingga mengenai rambut Andra saat kami sedang asyik pacaran di pojok kantin. Kedua, celetukannya yang selalu membuat kuping Andra panas. “CAKEP BANGET PACAR ORANG!” sindirnya kala itu. Sialnya, si Bima selalu bereaksi seolah ia tidak melakukan kesalahan apa pun. Ketiga, ia datang ke kampusku dengan sembunyi-sembunyi, kemudian menyuruhku menemuinya di toilet pada saat jam pelajaran masih berlangsung. “Kalau elo gak datang, gue bakal ngelakuin hal aneh sekarang juga!” ujarnya kala itu lewat sebuah pesan singkat. Aku tak menghiraukannya. Dan benar saja, Bima langsung datang ke kelasku dan menyamar menjadi mahasiswa yang terlambat. “Maaf telat, pak!” Bima melongos masuk dengan wajah datarnya dan langsung duduk di kursi belakang. Sumpah, kala itu darahku seolah mendidih naik ke ubun-ubun. From Beemz -Ke toilet, nggak? Kalo enggak gue beraksi, nih. Aku tetap dengan pendirianku, tanpa menghiraukan Bima yang sudah menendang-nendang kursiku dari belakang. “Woy, Santoso!” bisiknya dari belakang. Sialan, dia selalu menggunakan nama bapak gue sebagai bahan olok-olokan. “Gue beraksi sekarang, ya?” Masa bodoh. Beberapa menit kemudian, Bima langsung berlaga kejang-kejang di kelasku. Membuat kegaduhan. “A-aluna. Bapak lo bawa kabur obat alergi gue!” teriaknya dalam dusta. Matanya mendelik layaknya anjing kecekik. Mau tak mau aku langsung menyeretnya keluar, menuju toilet—tanpa menghiraukan tatapan orang sekelas yang membuatku malu setengah mati. “Sarap, t***l, bego, sinting!” cerocosku. Bima hanya nyengir tanpa dosa. “Gue mau ngasih tau sesuatu soal Andra!” katanya tanpa menghiraukan umpatanku. Bawa-bawa nama Andra, lagi. Bima menunjukan sebuah foto yang isinya gambar Andra dan Lusi tengah berpegangan tangan. Aku tergelak. “Gausah sotoy, itu sepupunya.” “Sepupu dari Hongkong! Lusi itu pacarnya.” Bima bersikukuh selagi aku hanya menganggapnya angin lalu. “Sudah, ah. Gak penting! Andra pernah bilang bahwa Lusi cuma sepupu,” kataku dan mencoba untuk pergi. “Jangan ganggu gue lagi!” Saat aku hendak berbalik pergi, tangan Bima menahanku. Kala itu aku memandangnya dengan air muka kesal dan tetap melongos pergi menjauh darinya. “Oke. Tapi yang bener, Lusi itu sepupu ibu gue. Dalam artian, Lusi adalah tante gue. Masih gak percaya? Perlu bukti lagi? Yuk, tanya aja sama emak gue langsung,” katanya. Aku langsung menghentikan langkahku. Kepercayaanku pada Andra mulai goyah sejak saat itu. Waktu demi waktu berlalu. Apa yang dikatakan Bima benar adanya. Aku memergoki Andra dan Lusi tengah berciuman mesra di kediaman Andra. Berarti selama berbulan-bulan itu aku dibohongi, dan bodohnya aku sempat percaya. Ah, sialan. Hubunganku dan Andra berakhir hari itu juga, di saat Bima mulai menjaga sikapnya, mulai tak menemuiku lagi. Rasa kehilangan luar biasa membuncah, membuatku datang padanya tanpa alasan. Kala itu aku menyadari bahwa aku mencintainya, mencintai Bimasena. “Yang?” seseorang berteriak dari luar kamar, membuyarkan lamunanku. Kejahilan bima yang lainnya tak bisa kujelaskan lagi, kali ini aku mau pacaran dulu karena yang baru saja memanggilku adalah Bimasena—yang entah sejak kapan ada di rumahku, duduk di atas sofa. “Masuk aja,” kataku. Aku langsung bergegas menuju kamar mandi untuk mencuci muka karena aku baru bangun dari tidur siang. Setelah selesai bersih diri, dapat kulihat Bima yang tengah duduk di sofaku sambil memainkan ponselnya. “Mau ngapain?” tanyaku, melihat pakaiannya sudah rapi, tanda bahwa Bima ingin mengajakku pergi ke suatu tempat. “Disuruh Mama fitting baju pengantin.” Bima masih menatap layar ponselnya alih-alih memandangku. Aku memandangnya dengan raut bosan. Bima selalu sibuk dengan dunianya sendiri. “Kok nggak ngabarin dulu?” tanyaku sambil berjalan dan duduk di sampingnya. “Lupa.” “Dih!” “Maaf,” ucapnya. Ini merupakan permintaan maaf darinya yang ke sebelas pada hari ini. Ih, Bima memang selalu begitu, sedikit-sedikit maaf, lima menit kemudian mengulang kesalahan yang sama lagi. “Maaf melulu,” protesku, malas. Bima tak menjawab. Ia menaruh ponselnya sembarangan, menatapku, kemudian merangkulkan tangangannya untuk memelukku. “Masa marah, sih?” ucapnya mencoba menggodaku. Seperti biasa, aku langsung luluh dengan mudah. “Hari ini belum dicium, nih,” goda Bima sambil nyengir. Aku tertawa kecil sesaat setelah memukul lengannya, kemudian mencium bibirnya sekilas. Ah, gemas kalau sudah begini. “Apaan, itu mah kurang!” protesnya. “Kan mau fitting baju pengantin!” Aku mengingatkan, dan yang dilakukannya hanya merotasi bola mata. "Entar aja jam empat, sekarang kan masih jam dua. Masih ada dua jam, yang, buat main," celetuknya. Mendekatkan wajahnya lagi dan menciumku. Aku menyerah kalau sudah begini. “Mama sama Papa kamu nggak ada 'kan?” tanyanya di sela ciuman kami. "Tidak ada!" Bima menuntunku berdiri tanpa melepaskan ciumannya, dan membawaku ke atas ranjang. “Jangan di sofa ah, pegel!” ucapnya teramat polos. “Enak saja kamu, kita belum sah.” Segera kudorong bahunya agar menjauh. “Gak kuat aku, Lun.” Masa bodoh. *** “Jangan maen hp melulu, ah, fokus nyetir!” protesku. Merebut ponsel Bima dan menaruhnya sembarangan. Dia hanya berdecak sambil menatapku malas. “Bentar, yang, itu penting!” Bima mencoba mengambil ponselnya kembali, namun segera kujauhkan. Bukan apa-apa, aku hanya takut terjadi sesuatu andai Bima tak fokus akan jalanan. “Penting mana sama keselamatan kita?!” “Itu juga penting! Kamu mau menikah tanpa ngundang orang, ha? Aku sedang mengurus undangan sama Mr. Robi!” jawabnya. Terdapat nada kekesalan di baliknya. Aku langsung menunduk kecewa, kemudian mengembalikan ponselnya secara cuma-cuma. “Terserah kamu, lah!” ucapku kesal. Ia hanya menatapku dengan tatapan kebingungan. “Maaf, Maaf. Ya sudah, nih, hp nya kamu yang pegang. Balesin pesan dari Mr. Robi.” Permintaan maaf yang ke duabelas pada hari ini. Bima memberikan ponselnya untukku yang malah kuabaikan. “Ini,” katanya. Aku masih diam. “Ck!” decaknya. Kesal. “Ambil saja kalau gak ikhlas!” ucapku merajuk. Maksudku, aku tak mau Bima memberikan ponselnya padaku karena terpaksa. “Siapa yang gak ikhlas?” “Kamu.” “Sudah, deh, jangan dibesar-besarin,” katanya. Dia masih bersikukuh memberikan ponselnya untukku. “Ini, sayang. Tolong balas pesan dari Mr. Robi, aku kan sedang menyetir,” ucapnya. Nada bicaranya jauh lebih lembut dari sebelumnya. Aku menoleh, mengambil ponselnya, dan membalas pesan dari Mr. Robi sesuai perintahnya. “Jangan ngambek-ngambek lagi, ya!” ucapnya seraya memandangku. Kemudian mencolek daguku nakal seraya tertawa kecil. “Apa, sih, colek-colek!” “Galak banget!” “Ih!” “Maaf.” Permintaan maaf ke tigabelas. Begitulah kami sehari-hari. Ada saja masalah sepele yang membuat kami beradu mulut. Semakin lama, Bima menjelma menjadi laki-laki yang kurang peka, menurutku. *** Bimasena “Lo kemaren dari mana?” tanya Tito, temanku. Kali ini kita lagi nongkrong bertiga bareng Yudistira—kakakku— di rumah. “Fitting baju,” jawabku. Sudah dua minggu ini aku sibuk sendiri mengurus perkara menikah, sehingga jarang berkumpul lagi dengan teman satu tongkrongan. “Sadis, Yut. Lo dilangkahin!” celetuk Tito sambil memukul bahu Yudi. Yudistira hanya tersenyum asimetris. “Gak apa-apa lah, siapa tahu gue nemu jodoh pas kawinan Bima nanti. Lumayan juga 'kan?” celetuk Yudi sambil menyesap kopinya. Sialan, dia malah nyari kesempatan. “Lu kebanyakan milih! Dapet transgender tahu rasa lu,” celetuk Tito. Omongan dia suka ada-ada saja memang. “Lu aja, gue ogah!” jawab Yudi. Aku dan tito hanya cekikikan. “Sesha cakep, Yut. Lo nggak suka emangnya?” tanyaku. Sesharani adalah teman dekat Aluna. Gadis itu sering berkunjung juga ke rumah kami. Usut punya usut, Sesha sempat meminta nomor kontak Yudi pada Aluna beberapa waktu lalu, tapi kata Yudi, “Jangan dikasih!” Bego banget 'kan? “Cakep, sih!” ucap Yudistira kemudian menghela napas. “Terus?” tanyaku dan Tito bersamaan. “Gue nggak suka dikejar, sukanya ngejar,” sahut Yudistita seolah bangga akan ucapannya sendiri. “Gaya lo!” Ingin kutoyor kepalanya saat ia hanya cengengesan menertawakan ucapannya sendiri. Abangku memang aneh dari jaman dahulu, dan sampai saat ini belum juga pulih. “Gini, bro. Kalau cewek doyannya ngejar kayak gak ada tantangan buat gue. Iya, nggak, sih?” “Ya enggak, lah, Yut,” sahut Tito. Sudahlah, Yudi terlalu sibuk dengan asumsinya sendiri, sampai-sampai ia tak sadar bahwa jalan hidupnya sangat miris dengan kejomloan yang akut. “Makanya gue lagi milih.” Jika Yudistira terlalu pemilih akan persoalan perempuan, lain halnya dengan Tito, ia tipikal pria berhidung belang. Bukan, bukan hidung yang dibelang-belangin pakai spidol. Maksudnya, si Tito sering bermain wanita di luar sana. Playboy-nya si Tito tidak ada yang menyaingi. “Cewek, kalo mukanya pas-pasan berarti dia mau diajak susah,” celetuk Tito. Aku hanya menggeleng, karena tidak tahu semua ucapan tito bersumber dari mana. “Ngaco, lo!” sahut Yudi. “Ye, serius!” “Itu mah lo nya aja yang nggak laku, tapi maksain pengen punya cewek!” sahutku. Tito tetap bersikukuh akan pendapatnya yang menurutnya simpel tapi past tense— itu salah satu jokes bapack-bapack-nya. “Bim, hidup gue itu kalo nggak di atas ya di atas banget. Soal gue nggak laku, nggak ada dalam sejarah hidup gue. Pacar gue sekarang empat!” Tito merentangkan keempat jemari tangannya. Yudi hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan mahluk saturnus yang satu ini, selalu ada saja celetukannya. Di lain sisi, aku sedang membaca pesan yang dikirim Aluna beberapa detik lalu. Seperti biasa, isinya hanya protes, mengeluh, kalau tidak, ya, menyalahkanku. From : Mbak Bulan -Kemaren kamu suka setelan jas nya? Aku sih nggak suka gaunnya, warna putihnya kayak agak gelap gitu. Aku mengerutkan kening seraya menggaruk kepala. Gaun itu 'kan pilihan dirinya sendiri. Mengapa sekarang malah protes padaku? Padahal kemarin ia bersikap aman-aman saja. To : Mbak Bulan -Kan gaunnya pilihan kamu sendiri? From : Mbak Bulan -Dulu iya, sekarang kok kurang sreg ya? To : Mbak Bulan -Sudah, jangan kebanyakan protes, entar si abangnya pusing lagi gara-gara kamu.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

TERNODA

read
198.3K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
233.4K
bc

B̶u̶k̶a̶n̶ Pacar Pura-Pura

read
155.7K
bc

Sentuhan Semalam Sang Mafia

read
188.0K
bc

Hasrat Meresahkan Pria Dewasa

read
29.7K
bc

Setelah 10 Tahun Berpisah

read
36.2K
bc

My Secret Little Wife

read
131.9K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook