“Kenapa, Bim?” tanya Tito seraya menepuk bahuku. “Muka lo asem bener.”
“Pacar lo yang empat itu pada ribet, nggak, sih?” tanyaku, alih-alih menjawab pertanyaannya terlebih dahulu. Melempar pandangan dari ponsel, menatap Tito yang tengah mengernyitkan alis.
“Si Bulan merajuk lagi, ya?” tanyanya. Bulan adalah Aluna. Kami terbiasa memanggilnya seperti itu karena dalam bahasa Latin, arti dari Luna sendiri adalah rembulan.
Aku mengangguk, terlihat sangat malang di mata teman juga abang-ku. “Bingung gue sama tingkah cewek,” desahku. Melirik kedua lelaki yang kini menatapku sambil menahan tawa. “Kalian jangan ngetawain gue, dong!”
“Makan tuh kawin,” ejek Yudi. Sialan memang abang yang satu ini, alih-alih berempati, ia malah menjadikan penderitaanku sebagai bahan guyonan.
“Gue nggak ngetawain lo, kok. Gue ngetawain ... cicek nguap,” celetuk si Tito. Tingkah absurd-nya memang sudah merupakan kelainan sejak lahir. Jadi, jangan heran dan jangan bosan bila mahluk saturnus yang satu ini selalu muncul di kisahku selanjutnya.
Bersamaan dengan perasaan tertindasku yang semakin mendalam, sebuah pesan dari Aluna muncul di balik layar. Dengan malas, aku membacanya seraya menghela napas pasrah.
From : Mbak Bulan
- Kamu gak pernah setuju sama pilihanku, ya? Aku udah capek sama sikap kamu yang gak peka. Serius!
Ah, serah lu aja, Maemunah!
***
Aluna
Kerikil aspal jalanan menjadi target utama kemarahanku. Selagi kulangkahkan kaki menuju halte, kutendang satu per satu bebatuan kecil yang menghalangi laju jalanku.
Sialan, si Bima tak pernah mengerti cara meluluhlantakan hati perempuan. Kadang aku penasaran, seperti apa, sih pola pikir laki-laki sehingga bisa membuat perempuan terus-menerus geram dengan ketidakpekaan-nya?
Ah, masa bodoh!
Sebuah bis berhenti tepat saat aku baru saja hendak mendudukan diri di bangku halte. Aku masuk dan duduk di kursi paling belakang, menyumpal telinga dengan handsfree, menutup kepala dengan tudung hoodie dan menaikan masker hingga pangkal hidung.
Ada sedikit keraguan setiap kali mengingat keputusanku untuk menerima lamaran Bima. Bukan meragukan kasih sayangnya, melainkan ragu pada diriku sendiri yang mungkin terlalu posesif dalam bersikap. Beberapa perbedaan di antara kami kadang menjadi jembatan pertengkaran. Mulai dari Bima yang terlalu mementingkan teman-temannya alih-alih menghabiskan weekend bersamaku yang berstatus tunangannya. Bima yang selalu sigap setiap kali temannya menelpon padahal makan malamnya denganku belum habis.
Setiap kali emosi mengukungku, aku selalu merutuknya, kadang ingin menyudahi semua ikatan yang terjalin selama dua tahun terakhir ini. Lantas, kenapa masih berlanjut?
Aku terlalu takut kehilangannya juga membatin dalam waktu bersamaan. Aku takut menyesali perbuatanku saat harus meninggalkannya, dan menyadari sikapnya akan terus berlangsung sampai kapan pun.
Bersamaan rintik hujan pagi hari yang seakan menemani luka hatiku, aku bergeming saat optikku menangkap pemandangan di luar jendela bis. Motor sport milik Bima terparkir di area mini market, dan pemiliknya ada di sana, duduk di kursi area luar toko seraya menyeruput kopi dari balik cup. Tepat di seberangnya, seorang wanita dengan surai cokelat sebahu tengah tertawa seraya memukul pelan bahu Bima. Mereka bercanda dengan asyik. Juga, hoodie yang dipakai wanita itu persis seperti hoodie yang pernah kuhadiahkan kepada Bima setahun lalu. Gadis itu memakainya. Apa Bima meminjamkannya? Kalau iya, untuk apa?
Aku benar-benar tak habis pikir. Apa yang ada di kepala Bima sehingga mengabaikan pesanku dan bercanda dengan gadis lain tanpa sepengetahuanku.
Sekuat tenaga kutahan air mataku sebelum menganak sungai. Sesak di d**a kubiarkan. Sudah cukup, jangan egois, jangan memikirkan persaanmu sendiri, Aluna. Mungkin itu hanya kebetulan. Tolong jangan overthinking. Dewi batinku bersahutan, mengambil alih kuasa sebelum kesadaranku dikukung penuh oleh emosi.
Kuraih ponselku di balik tas selempang kecil abu-abu. Ingin kubertanya pada Bima tentang apa yang dilakukannya saat ini. Apa ia akan jujur, atau justru berbohong?
“Yang, ada apa?” suara Bima menggema pada dering ke tiga. Aku menetralkan emosi sebelum mengeluarkan suara.
“Bim, kamu di mana?” tanyaku.
“Aku ... di rumah. Kenapa? Oh, iya, pesan kamu belum kubalas. Aku baru buka hp. Maaf, ya.”
Dia sering meminta maafku, tapi melakukan kesalahan yang sama berulang kali. Aku menggeleng pelan kendati Bima tak melihatnya.
“Gak apa-apa.”
“Kamu sehat, kan? Kok, loyo gitu suaranya?”
“Sehat. Kamu beneran ada di rumah, 'kan?”
“Aku di rumah.” Bima berucap yakin. Yakin aku tak mengetahui kebohongannya. Tanpa sadar, tanganku terkepal kuat mendengarnya.
“Udah, ya, aku mau berangkat kerja.”
“Hati-hati, ya, Bulan,” jawabnya diselingi nada bercanda. Aku tak minat membalas candaannya bahkan untuk sekedar terkekeh.
“Oke.”
Dan sambungan terputus. Aku yakin Bima kebingungan di seberang sana.
***
Seharian penuh Bima tak memberi kabar pada Aluna. Alih-alih menelpon, mengirim pesan singkat pun seolah enggan. Gadis itu mengecek ponselnya beberapa kali kendati ponselnya tak berbunyi sama sekali.
Apa aku harus mengalah? Batinnya bertanya. Segera ia meraih ponsel yang tergeletak di meja kerjanya, lantas mengetikan nama sang kekasih untuk segera dihubungi.
Belum sempat ia menekan tombol panggil, sang kekasih telah menghubunginya lebih dulu. Senyum mengembang di bibir tipis Aluna, lantas menjawab panggilan Bima. “Halo,” sapanya.
“Lun, masih di kantor?”
“Iya. Kenapa?”
“Aku jemput kamu, ya, nanti.”
Berubah wajah menjadi berseri, Aluna mengangguk. “Boleh.”
“Mau nonton?” tanyanya. Lagi-lagi sang gadis mengangguk.
“Mau.”
“Yaudah. Aku jemput kamu jam berapa?”
“Jam lima sore saja.”
“Baiklah, tuan putri.” Dasar perayu ulung. Kendati Bima menggombalinya beberapa kali, tetap saja perasaan berbunga hinggap setiap kali Bima menyerangnya dengan ucapan-ucapan manis. Pipi Aluna bersemu merah seolah melupakan seluruh sumpah serapah yang ia rapalkan pagi tadi.
“Aku tunggu, ya, Bim.”
“Iya, Bulan.”
Sambungan terputus. Aluna menaruh kembali ponselnya di atas meja dan menyibukan diri, lantas menggerakan jemarinya di atas keyboard.
“Lun, ada pegawai baru,” ucap Sesharani mendekati meja kerja Aluna. “Dia baru masuk tadi pagi sekitar jam sembilan,” lanjutnya.
“Oh. Masa.” Seolah tak tertarik, Aluna masih menaruh atensinya pada layar monitor, sama sekali tak melirik sang lawan bicara barang sedetik.
“Liat gue, dong. Dia cantik banget, gila,” protes Sesha, menyeret kursinya agar berada dekat dengan sang lawan bicara.
“Lantas gue harus ngapain?”
“Ya kita bisa, lah, tanya-tanya soal perawatan kulit. Siapa tahu dia oplas di Korea. Lo bisa tanya klinik mana yang bisa melakukan oplas se-perfect itu,” cerocos Sesha. Aluna hanya merotasi kedua bola mata darinya.