Episode 3 | Yudistira

1110 Words
“Biasa skincare-an pake produk racikan mah udah diem aja. Kayak lo mampu aja buat biaya oplas di Korea.” Savage. “Eh, gue bukan lo, ya. Yang doyan maskeran pakai bedak saripohaci!” balas Sesha tak mau kalah. Aluna tergelak dibuatnya. “Geblek. Gue pake seger snow,” jawab Aluna diakhiri sebuah kekehan. Tentu saja mereka hanya bercanda. “Lun, Yudi cakep banget, ya? Dia suka nanyain gue gak, sih?” tanya Sesha. Sudah bukan rahasia umum kalau Sesha menyukai Yudistira—kakak dari tunangan Aluna. Aluna mengendikan bahu sambil tetap fokus pada layar monitor dan keyboard. “Gue gak terlalu akrab sama Yudi. Kita cuma ketemu beberapa kali.” “Yah ... ,” desah Sesha. “Tapi dia normal, kan?” Aluna tergelak. “Ya normal, lah. Lo kira dia gay?” Sesha terkekeh. “Habis gue gak pernah liat dia pacaran.” “Kata tunangan gue, dia pernah pacaran, bahkan tunangan, tapi ... tunangannya meninggal karena kecelakaan.” Mendadak Sesha merubah air muka, terlihat berbelas kasih setelah mendengar cerita dari sahabatnya. Cukup tragis. “Ah, kasian banget, ya.” Aluna menepuk bahu Sesha. “Siapa tahu lo bisa bikin dia membuka hati,” ucapnya. Semangat Sesha kembali membara dibuatnya. *** Aluna termenung di lobby kantor, mengirimkan pesan ketigabelas untuk Bima yang sialnya tak kunjung mendapat balas. Bosan-bosan ia menunggu sejak tigapuluh menit lalu kendati Bima tak memberi kejelasan apapun. Apakah pria itu terjebak macet? Apakah rencana kencannya dibatalkan? Apakah ia harus pulang naik angkot? Atau bagaimana? Sialan. Lagi-lagi Aluna merutuk marah. Siapa yang bermasalah dalam hubungan ini? Dirinya, atau pasangannya? Selang beberapa menit ponsel Aluna bergetar, nama Bima tertera di balik layar. Ia mengembuskan napas untuk menetralkan emosi, lantas menjawab panggilan. “Ke mana aja kamu?” tanya Aluna dengan nada bicara datar. “Sayang maaf, ya. Kayaknya rencana kita batal.” Aluna memejamkan mata seraya tertawa hambar, hal seperti ini sudah biasa terjadi, tapi ia juga manusia biasa yang bisa merasa lelah sewaktu-waktu. Tolong kuat, tolong bertahan. Pikiran dan hatinya sedang tak singkron. Ia harap emosi tak mengukungnya lagi. “Kenapa mendadak batal? Aku udah nungguin kamu dari empatpuluh menit lalu, loh.” “Aku harus operasi dadakan nanti habis magrib. Ada pasien kritis. Sayang, tolong ngerti.” Ah, Aluna melupakan pekerjaan sang kekasih yang merupakan seorang perawat. Tapi, tetap saja, kenapa Bima tidak memberitahukan semuanya dari awal sehingga Aluna tak harus bosan-bosan menunggu di lobby kantor seorang diri. “Kenapa nggak bicara dari tadi sehingga aku gak perlu repot nungguin kamu. Kamu tuh kebiasaan, menganggap waktu seseorang bukan apa-apa. Aku udah bosen sama sikap kamu. Hari juga udah mulai gelap, kamu gak kasihan sama aku kalau pulang sendirian? Ini Bandung, kejahatan merajalela di kota ini, Bim.” Bertalu-talu debaran jantung sang gadis saat menjabarkan satu per satu jeritan hatinya. Ia mengontrol deru napasnya, mencoba mengendalikan emosi, menahan air mata yang menumpuk sebelum menganak sungai. “Iya sayang. Aku minta maaf.” Lagi-lagi maap yang Aluna dengar. “Sudah tutup saja. Aku mau pulang sebelum hari makin larut,” tutup Aluna, kecewa, lantas memutus panggilan. Segera Aluna berjalan cepat keluar area kantor dan baru tersadar bahwa di luar hujan rintik-rintik membasahi tanah. Ia tak membawa payung atau apapun yang bisa melindunginya dari basahan air. Aluna mematung sebelum menembus hujan, berteduh di bawah kokohnya bangunan selagi mengambil ancang-ancang untuk melompat. Belum sempat ia menghitung sampai tiga, seorang gadis bersurai cokelat sebahu berlari sambil menangis sesenggukan, lantas menembus hujan. Melewatinya begitu saja yang kini terlihat kebingungan. Gadis itu adalah seseorang yang sama dengan yang ia lihat tadi pagi. Seseorang yang memukul bahu Bima sambil menikmati canda. Si gadis surai cokelat itu terlihat kebasahan dalam rintik air hujan yang semakin deras. Sekujur tubuhnya basah, termasuk hoodie yang dipakainya. Hoodie yang diyakini milik Bima, yang ia hadiahkan setahun lalu sebagai kado hari jadi mereka. Aluna mematung, mencoba menyingkirkan segala pikiran buruk yang bersarang di otaknya. Matanya masih terpaku pada sosok gadis yang kian menjauh dari jangkauan matanya. “Apa hubungannya sama Bima, tuh, cewek?” Aluna bermonolog. “Dia anak dari pasien yang diurus Bima,” sahut seseorang. Lantas Aluna menengadah kepala dan menyadari bahwa seseorang lebih tinggi memayunginya dari samping. “Kak Yudistira?” tanya Aluna terheran. “Ibunya sakit diabetes, kakinya infeksi lumayan parah dan sempat dirawat juga. Bima ditugaskan home care oleh pihak rumah sakit, makanya beberapa minggu ini dia sibuk banget. Hari ini Bima harus ikut serta operasi. Ibunya gadis tadi akhirnya harus diamputasi karena lukanya tak kunjung membaik.” Ah, begitu, ya? Aluna mangut-mangut di tempat. Seketika rasa kesalnya hilang berganti iba. Kendati demikian tetap saja ada yang janggal, kenapa Bima harus meminjamkan hoodie untuk anak dari pasiennya? “Aku anterin kamu pulang, ya?” tanya Yudi yang terdengar seperti ajakan. Lantas Aluna mengangguk, hatinya terheran sejenak walau kakinya tetap saja melangkah mengikuti pergerakan Yudi. “Deketan sini biar gak kebasahan.” Sedikit menarik bahu Aluna agar merapat dengannya. “Makasih, ya, kak,” ucap Aluna. Yudi hanya meliriknya sekilas sebelum mengangguk ringan. Si Pemuda menekan alarm mobil hingga bersuara. “Kamu masuk duluan,” perintah Yudistira, memastikan Aluna aman dari basahan air. Aluna menurut, masuk ke dalam mobil saat Yudistira memayungi kepalanya mengenakan telapak tangan. Ada bagian yang tak terjangkau payung sehingga butuh usaha sendiri untuk melindungi diri dari hujan, dan Yudistira melakukannya untuk Aluna. Merasa canggung, Aluna merapikan kucir kuda rambutnya saat Yudistira masuk dan duduk di bangku kemudi. Yudi tersenyum, lantas menyalakan mesin mobil dan melajukannya dengan kecepatan sedang. “Kamu senang lagu apa?” tanya Yudistira seraya menghidupkan pemutar musik. “Apa aja, Kak.” “Hip-hop?” “Aku gak ngerti genre musik, tapi aku lagi seneng lagunya Sia yang judulnya snowman,” sahut Aluna, melirik Yudistira malu-malu. “Tadi kamu bilang musik apa aja,” ejek Yudi, lantas terkekeh saat melihat cengiran Aluna yang amat polos. “Ya ... apa aja selain hip-hop,” jawab Aluna tak mau kalah. Lagi-lagi Yudistira terkekeh, mengacak rambut Aluna hingga berantakan, ternyata calon adik iparnya amat menggemaskan. “Ih, kakak, berantakan rambutku,” protes sang gadis, merapihkan rambutnya yang teracak. “Kamu yakin gak suka hip-hop? Padahal case hp kamu pict-nya BTS, loh,” ejek Yudi seraya melirik ke arah ponsel Aluna yang erat dalam genggaman. Lantas Aluna membalikan ponselnya hingga pict tersebut tak lagi terlihat. “Hehe, aku suka membernya doang. Soalnya ganteng-ganteng, sih.” Aluna berucap polos. Yudistira tertawa kencang mendengarnya. “Memangnya adikku kurang ganteng?” “Gantengan juga kakaknya.” Aluna melirik Yudi seraya tertawa polos. “Really?” “Canda atuh, kak,” jawab Aluna diiringi sebuah cengiran lebar. Yudistira mengulum senyum dalam posisinya, lantas memutar lagu snowman yang dimaksud si gadis.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD