Komentar Syafira

1119 Words
Dua minggu sebelumnya. Di Surabaya. Syafira membuka aplikasi media sosial pertemanannya. Netranya yang bening menatap foto seorang lelaki yang menikmati indahnya sunset. Nama dan wajah yang tidak asing baginya. Namun, ia bukanlah sosok wanita yang suka melihat dan berkomentar terhadap postingan seseorang jika merasa tidak perlu. Beberapa saat ia hanya menatap story board sobat dumaynya itu dengan penasaran. Entah karena apa, wanita itu tiba-tiba terusik ingin menanyakan status temannya itu. "Ini dimana?" tulis Syafira di kolom komentar story sang lelaki. "Di Ancol, Bun." balas si lelaki dengan nama akun Aryan Ardianto itu. "Cantik." Tulis sang wanita. "Ke sini yuk, Bun!" balas Aryan ke intinya dan tanpa malu-malu. Wajah Syafira melotot seketika. "Nih anak berani banget? Ngajakin aku ke sana?" gumam Syafira dalam hati. Wanita itu menarik napas dalam-dalam. Jarinya belum mengetikkan apapun. Entah ada keberanian apa yang membuat Si Aryan sampai nekat meminta dirinya datang ke Jakarta. Mereka bahkan belum pernah bertemu sebelumnya. Komunikasi pun sebatas via media sosial. Selama ini Aryan tinggal di Jakarta, sedangkan Syafira menetap di Surabaya. Mereka berkenalan karena sama-sama tergabung dalam komunitas fotografi. Tak lebih dari itu. Perkenalan keduanya pun hanya melalui aplikasi sosial media, baik w******p, messenger, **, telegram, maupun f******k. Komunikasi keduanya bahkan berjalan wajar dan apa adanya. Tidak ada sesuatu yang ganjil atau nyerempet ke hal-hal yang tabu. Syafira menarik napasnya dalam-dalam. "Gimana Bun? Kapan ke Jakarta?" tulis Aryan dari seberang seakan menantang adrenalin wanita dewasa tersebut. Syafira masih bimbang untuk mengetikkan jawabannya. Karena ada banyak hal yang sedang ia pikirkan. "Kalau aku ke sana, ntar bobo dimana?" tulis Syafira iseng. Karena ia juga ingin tahu sampai sejauh mana keseriusan teman dumay-nya itu. "Di rumah Iyan, boleh." balas Aryan masih di aplikasi pesan. "Ngaco kamu!" balas Syafira. "Ya udah, ntar kalo Bunda tidak nyaman Aryan booking hotel," balas Aryan. Bahkan pemuda seperempat abad itu masih memanggilnya dengan sebutan Bunda. Sebutan yang ia sematkan sendiri pada Syafira. Semenjak tahu jika dirinya sudah menikah dan memiliki dua anak. Syafira membalas dengan emot senyum. Ada sesuatu yang membuncah di dadanya sesaat. Senyum Syafira kembali mengembang. Sayang Aryan tidak bisa melihat senyumnya. Pemuda itu berada jauh dari pelupuk matanya. "Awh... Apa sih yang aku pikirin!" Syafira menepis bayangannya tentang Aryan yang tiba-tiba masuk ke alam bawah sadarnya. Pandangannya kembali merujuk pada dokumen di atas mejanya. Sudah hampir dua bulan ini, pekerjaan seolah terus menuntutnya untuk fokus dan tidak bisa kemana-kemana. Akibat tumpukan pekerjaan akhir-akhir ini membuatnya sedikit tertekan. Bahkan ia sering lupa bagaimana cara tersenyum. Sampai terjadi keisengannya dengan Aryan. Cara pemuda itu mengungkapkan perasaannya yang blak-blakan membuat Syafira kembali menarik kedua sudut bibirnya yang lama kaku. Di otaknya cuma ada satu kata, "Selesai." Tapi kenyataannya tidak ada kata selesai secara nyata. Karena pekerjaannya semakin hari seolah semakin banyak saja. Apalagi setelah Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang sempat membuat perusahaan tempatnya bekerja sedikit goncang. Beruntung tidak sampai ada pemutusan hubungan kerja. Meskipun, para karyawan tidak menerima gaji penuh, para pimpinan berusaha memberikan penjelasan detailnya. Pemberlakuan WFH (Work From Home) dan WFO (Work From Office) yang bergantian, membuat banyak karyawan mengeluh. Kini setelah new normal, karyawan malah dibebani dengan bermacam situasi yang masih mengarah pada kondisi pandemi virus C-19, belum lagi keadaan politik dan pemerintahan yang terus memanas. Kondisi yang mulai berangsur pulih membuat para petinggi bekerja lebih keras. Mengembalikan kepercayaan klien dan penanam modal. Sebagai Kepala divisi ia berusaha menyelamatkan divisi dan anak buahnya. Karena itu Syafira rela dan sanggup bekerja keras demi karyawan di bawah pimpinannya. Belum lagi banyaknya tuntutan dari bosnya. Si pemilik perusahaan. Membuat isi kepalanya penuh dan ingin pecah. Bahkan hobi fotografinya terabaikan begitu saja. Beruntung ia masih tergabung dengan komunitas sehingga ia masih update info terbaru apapun. Meskipun sering tertinggal jauh. Jika sudah di tahap ini, para sahabatnya terus mensupport, terutama Aryan pemuda itu paling banyak memberinya dukungan dan motivasi. Tak dipungkiri juga terkadang ia juga memberikan banyak support kepada sahabat dumay berondongnya itu. Berawal hubungan pertemanan yang biasa tersebut menyebabkan keduanya saling nyaman berkomunikasi. "Bun, gimana?" Tulis Aryan di aplikasi birunya. "Bentar ya, Yan. Bunda atur schedule dulu!" balas Syafira. "Jangan lama-lama ya, Bun," goda Aryan dari pesan yang ia tulis. Syafira kembali tersenyum membaca pesan-pesan dari Aryan. Netranya beralih ke kalender meja di samping kanannya. Syafira meraih kalender meja di depannya lalu.mencocokkan schedulenya bulan ini. "Tanggal 25. Gimana Yan?" tulis Syafira. "Bisa Bun." tulis Aryan sebagai jawaban. "Okay, Bun. Aryan tunggu di Jakarta, ya!" Tulis Aryan. Syafira bisa merasakan antusiasnya Aryan menanggapi balasannya. Syafira menutup aplikasi pesannya dan kembali fokus pada berkas-berkas. Di lokasi berbeda, tepatnya di Jakarta. Seorang pemuda tengah tersenyum seorang diri. Baru saja ia berchit-chat ria dengan Bunda Syafira, salah satu sahabat dumay tersayangnya. Percakapan ringan via aplikasi biru yang berakhir di aplikasi hijau, berujung kesepakatan bahwa sahabat dumaynya itu akan berkunjung ke Jakarta. Bahkan ia nekat mengajak sang Bunda ke hotel, padahal ia juga bukan pemuda berduit. Gajinya pas-pasan, bahkan terkadang untuk makan saja ia masih ngutang. Tentu bukan ke sembarang tempat, tapi kepada seseorang yang memang sudah ia percaya. Hutang tersebut, akan ia bayar saat gajian. Begitulah kehidupan seorang Aryan, pemuda dari Jawa Tengah yang mengadu nasib ke Kota Metropolitan Jakarta. Entahlah ia sendiri juga tidak percaya, bagaimana seorang Aryan bisa meyakinkan seorang wanita dewasa sekelas Bunda Syafira? Sosok wanita yang mencuri hatinya semenjak mereka tergabung di komunitas tersebut. Padahal yang lebih muda dan menarik banyak tapi hatinya sudah berhasil tertambat pada wanita dewasa tersebut. Sebetulnya Aryan sendiri, sosok cuek dan susah nyaman dengan orang yang baru ia kenal. Namun, entah ada apa dengan Syafira sampai seorang Aryan begitu penasaran dengan sosoknya. Seolah ada sesuatu yang tidak dimiliki wanita lain yang melekat pada Syafira. *** Keesokan malamnya. Jam sudah menunjukkan pukul 21.00. Bahkan Syafira baru mematikan tombol power laptopnya bersiap untuk pulang. Ia baru saja selesai menyelesaikan laporannya demi bisa bersantai esok hari. Begitulah keseharian Syafira setelah new normal, beberapa hari dalam seminggu ia harus lembur memeriksa beberapa dokumen agar esok tidak terlalu menumpuk. “Bun,” satu pesan dari Aryan masuk ke gawai Syafira. “Iya, Yan,” balas Syafira masih sibuk membereskan barangnya. “Bunda jadi berangkat tanggal 25?” tanya Aryan. “Yan, kalau maju tanggal 18 bagaimana?” balas Syafira, entah mengapa wanita itu merubah tanggal keberangkatannya. “Bisa, Bun,” balas Aryan. “Yes,” pekik Aryan dari kota Jakarta dengan riang. Pemuda itu benar-benar tidak menyangka jika Syafira malah memajukan tanggal keberangkatannya. Ada rasa gembira tak terluapkan atas kabar tersebut. “Okay,” balas Syafira sembari menutup pintu ruangannya. “Yan, Bunda pulang dulu, ya. Kita sambung nanti setelah Bunda sampai rumah,” sambung Syafira. “Okay, Bunda. Hati-hati di jalan,“ balas Aryan. Pemuda itu menutup gawainya. Syafira segera menuju basement dimana mobilnya terparkir. Segera masuk dan mulai mengemudikan kendaraannya dengan kecepatan sedang. *** Bersambung...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD