Perasaan syafira

1047 Words
Begitu sampai rumah. Kondisi rumah sudah sepi. Ia yakin suami dan anak-anak sudah tertidur di kamarnya masing-masing. Setelah mencuci tangan, kaki dan mengganti baju, Syafira menuju kamar sebelah. Kamar dimana putri sulungnya beristirahat. Perlahan, Syafira membuka pintu kamar putri pertamanya, Cila. Gadis cantik berusia dua belas tahun itu sudah tertidur dengan tenang. Syafira masuk perlahan mendekati putri sulungnya yang sudah lelap. Diciumnya kening buah cintanya dengan sang suami. Anton, yang saat ini bekerja sebagai staff keamanan sebuah perusahaan berskala internasional. Anton dulu seorang guru sekolah swasta. Namun, seiring waktu dan usia, suaminya merasa tidak sanggup mengikuti perkembangan teknologi. Anton pun mengundurkan diri. Pria itu malah memilih pekerjaan sebagai staff keamanan. Sungguh, sebuah kesenjangan yang jauh dengan sang istri yang seorang kepala divisi. Namun, Syafira tidak pernah mempermasalahkan apapun pekerjaan yang dipilih suaminya. Permasalahan mereka hanya satu, kejujuran. Syafira selalu merasa bahwa suaminya tidak pernah jujur selama ini padanya. Baik dalam hal penghasilan atau yang lainnya. Syafira bahkan belum pernah tahu seberapa banyak gaji yang seharusnya menjadi nafkah lahirnya. Wanita itu beberapa kali menanyakannya tapi tetap saja Anton tidak pernah mengatakannya. Suami Syafira itu akan berkata jujur jika dirinya mengeluarkan jurus ancaman. Syafira bahkan tidak habis pikir apa sebenarnya yang dipikirkan suaminya itu. Padahal sebagai pria dewasa berusia lebih dari setengah abad harusnya Anton bisa berpikir lebih dewasa dalam mengayomi anak dan istrinya. Nyatanya Anton itu berpikiran sangat picik dan munafik. Keterbukaan tidak pernah ada diantara mereka. Pernikahan Syafira merupakan pernikahan beda usia yang lumayan jauh. Selisih usia mereka hampir 15 tahun. Syafira serasa menikah dengan Om-Om waktu itu. namun, cinta membutakannya. Ia tidak peduli selisih usia dan yang ia yakini Anton mencintainya. Menyesal, iya. Sangat menyesal. Setelah tujuh tahun pernikahan dan tidak ada perubahan dari Anton. Sempat mengajukan gugatan cerai di pengadilan agama. Namun, Anton kembali dengan rayuan dan bujukannya. Bodohnya, Syafira menerima Anton kembali. Nasi sudah menjadi bubur, tidak mungkin ia mengembalikan waktu yang pernah mereka lalui dan pernah membuatnya bahagia. Tidak dipungkiri, Anton memang pernah menjadi seseorang yang membuatnya bahagia. Itu dulu, sebelum Anton membuatnya kecewa. Bahkan, ia masih berusaha bertahan sampai sejauh ini. Demi apa dan demi siapa? Jawabannya demi anak-anak. Bukan untuk dirinya. Karena sesungguhnya yang ia rasakan adalah siksaan. Kehampaan. Baginya, cukuplah membuat anak-anaknya bahagia. Dengan senyum manisnya, Syafira menutup kamar Cila, wanita itu beralih ke pintu sebelah. Kamar anak keduanya. Arsya. Seorang pemuda cilik berusia Sembilan tahun. Anak laki-laki cilik itu pun sudah tertidur dengan pulas ditemani guling kesayangannya. Syafira masuk dan melakukan hal yang sama seperti yang ia lakukan pada Cila. Mencium kening pria kecil kesayangannya. “Maafin Mama ya sayang, harus pulang malam setiap hari,” bisiknya. Syafira menatap wajah Arsya yang begitu mirip dengannya. Dielusnya lembut pipi buah hati keduanya itu. Apalagi saat menatap bulu mata lentik sang putra, ada rasa bersalah yang menyeruak di sudut wajahnya. “Semoga kelak, kamu jadi lelaki yang bijaksana, berwibawa dan pengertian,” doa Syafira penuh keyakinan. Setelah puas memandangi wajah Arsya, Syafira beranjak ke kamarnya. Di sana sudah terbaring suaminya dengan pulas. Terlihat gurat-gurat wajah tua di dahi dan pipinya. Syafira mengabaikan keberadaan Anton, wanita itu masuk ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya. Tak lama kemudian sudah terdengar suara shower menyala. Syafira menyegarkan tubuhnya dibawah guyuran air hangat shower kamar mandinya. Setelah membersihkan tubuhnya, Syafira keluar sudah mengenakan mini dressnya. Wanita itu sudah bersiap merebahkan tubuhnya. Asal tahu saja, di balik mini dress itu Syafira tidak mengenakan apapun. Ia gerah setelah seharian tubuhnya dililit dengan bra dan celana dalam. Karena itu ketika tidur, Syafira memilih melepas underwear demi kenyamanan tubuhnya sendiri. Syafira segera merebahkan tubuhnya di samping suaminya. Tidak ada ungkapan atau ucapan apapun dari bibir wanita berusia tiga puluh delapan tahun itu. Wanita itu hanya menyelubungi tubuhnya dengan selimut untuk menghangatkan tubuh. Sebuah guling menemaninya. Badannya terasa begitu letih, setelah bekerja seharian ditambah lembur. Ia ingin cepat-cepat memejamkan mata agar esok, bisa kembali ke kantor dengan wajah segar. Syafira memiringkan tubuhnya. Saling bertolak belakang dengan Anton. Suara notif pesan masuk dari gawainya. Syafira meraih dan membaca pengirimnya, Aryan. Dengan senyum yang tercetak tebal, wanita itu membuka pesan Aryan. “Met malam, Bunda.” Tulis Aryan. “Malam, Yan. Bunda bobok dulu ,ya. Good nite,” balas Syafira. “Nite too, Bunda.” Balas Aryan. Di lebih dari dua ratus kilometer dari jarak Syafira tinggal, seorang pemuda tengah tersenyum menatap gawainya. Aryan menatap foto profil wanita yang ia panggil Bunda itu dengan intens, tiba-tiba saja ia merasakan ada gelenyar aneh di seluruh tubuhnya. Jantungnya berdetak tanpa irama, seolah-olah akan melompat dari kediamannya yang tenang. Saking gugupnya cepat-cepat pemuda itu menutup gawai tersebut. Mematikan powernya lalu menancapkan ke kabel charger. Mengisi daya baterai yang tinggal lima persen setelah ia gunakan bermain game. Ada banyak hal yang ingin ia tanyakan pada wanita cantik yang foto profilnya ia pandangi sejak tadi. Namun, ia sadar Syafira sedang kelelahan setelah bekerja seharian. Aryan sangat memakluminya. Ia sendiri juga sama. Lelah. Setelah seharian mondar mandir kayak setrikaan di lorong-lorong mall. Namun, saat ini ia sedikit santai. Karena sedang tidak ada even yang menguras tenaganya. Coba saja, sebelum pandemi. Hampir tiap hari ada saja even di tempatnya bekerja. Sehari bisa mencapai 3 – 5 even dengan area yang berbeda. Sedihnya, ia harus memantau kelancaran even tersebut. Sebetulnya, keberadaan pandemi Covid-19 memberikan sedikit dampak baik padanya. Namun, yang menjengkelkan gajinya sedikit dikurangi demi operasional mall. Belum lagi banyaknya tenan yang tutup. Adanya pengurangan karyawan. Beruntung dirinya termasuk karyawan terbaik. Sehingga, keberadaannya masih diperhitungkan perusahaan. Sedangkan, rekan-rekannya yang lain banyak yang dirumahkan secara sepihak. Menunggu kepastian yang tidak pasti. Banyak masyarakat yang berharap pandemi segera berakhir. Tidak ada lagi pembatasan secara besar-besaran maupun lokal. Virus C-19 segera berlalu. Keadaan akan kembali seperti dulu. Anak-anak bisa kembali belajar di sekolah. Orang tua bisa bekerja dengan layak, sehingga perekonomian bisa segera pulih. Walaupun, pemerintah mengeluarkan berbagai bantuan. Tetap saja nominalnya tidak sesuai dengan pengeluaran seharusnya. Karena anak sekolah masih tetap membayar., membeli buku dan yang urgent membeli kuota. Entah apa yang ada dipikiran para pejabat saat memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar. Namun, kita tidak bisa menyalahkan pemerintah sepenuhnya. Mereka menginginkan warganya aman, tetapi mengabaikan bahwa warga +62 belum siap dengan kebijakan PSBB. Dampak terjelasnya pengangguran meningkat. Kejahatan naik. Banyak siswa terancam putus sekolah. Guru tidak bisa menyampaikan pembelajaran dengan baik. Ah, entah apalagi dampak social di masyarakat. Yang jelas, semua bidang terdampak.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD