bc

Terperangkap Wasiat

book_age16+
303
FOLLOW
1.5K
READ
family
HE
drama
cheating
affair
like
intro-logo
Blurb

Armina, adalah gadis muda yang siap mewujudkan impiannya menjadi wanita karir dan mandiri seusai wisuda sarjananya. Namun, kakaknya yang sakit parah dan kemudian meninggal dunia membuat wasiat agar Armina menggantikan perannya sebagai ibu anaknya sekaligus isteri suaminya.

Ia tidak kuasa menolak. Ketika ia sudah mengikhlaskan diri, ia kemudian malah mendapati bahwa hubungan kakak dan suaminya selama ini tidaklah seharmonis yang ia kira. keduanya menyimpan rahasia yang membuat Armina merasa terlempar dan terjebak di masa muda yang gelap.

Armina kehilangan cinta dan kepercayaannya, tapi di saat yang sama ia juga menemukan cinta yang tak disangkanya, meski ia harus berjuang keras untuk memperolehnya.

chap-preview
Free preview
Terperangah
1 - Terperangah Armina sekali lagi menoleh ke deretan kursi undangan keluarga. Pandangan ditebarkan untuk memindai sosok Meisha, yang sungguh diharapkan datang menghadiri acara wisuda sarjananya. Namun, sosok kakak perempuan yang sekaligus berperan sebagai pengganti kedua orang tuanya yang telah meninggal dunia lima tahun yang lalu tersebut tak juga terlihat. Sebentar lagi, acara akan dimulai. Dia bertambah gelisah karena Meisha sama sekali tidak menjawab panggilan telefon dan pesan-pesannya. Tidak mungkin Meisha tidak mendengar dering ponselnya. Wanita karir seperti Meisha hampir tidak pernah melepaskan ponsel dari genggaman tangannya. Armina yakin Meisha tidak lupa. Sejak ia lulus sidang skripsi, kakaknya kerap membicarakan hari ini. Armina ingat bagaimana antusias saudara kandung satu-satunya itu ketika ia menelefon menyampaikan undangan wisuda kepadanya. Meisha berulang kali dengan suara ceria mengungkapkan rasa bangganya kepada Armina. Ia bisa merasakan kepuasan dan kebahagiaan kakaknya, karena telah berhasil membiayai kuliahnya. Meisha bahkan menawari Armina untuk melanjutkan belajar ke jenjang S2, yang langsung ditolak Armina. “Hei! Mina! Kamu kenapa?” tanya Rara, sahabatnya yang sedari tadi memperhatikan keresahan Armina di sebelahnya. “Sedih Kevin nggak ada di sini?” Armina menggeleng. Ia tak terlalu memusingkan Kevin, pacarnya, yang sudah bekerja di perusahaan tambang di Kalimantan. Ia maklum, kakak tingkatnya dulu yang beda fakultas itu tak mungkin bisa pulang ke Jakarta untuk menghadiri wisudanya. “Kak Meisha belum kelihatan! Dia nggak jawab-jawab telefon dan pesanku!” jawab Armina. “Kalian nggak bareng?” tanya Rara “Aku kan langsung dari kos. Dia dari rumahnya.” “Sudah coba telefon suaminya?” Aih! Kenapa ia tidak tergerak menghubungi Harsya, suami Meisha. Armina mencari nomor Harsya. Sesungguhnya ia memang jarang berinteraksi langsung dengan kakak ipar yang lebih banyak menghabiskan waktunya bekerja di Bandung. Ada perasaan aneh jika ia berhadapan dengan lelaki gagah, tampan dan berkharisma itu. Bukan sebab ia takut, tapi lebih karena rasa sungkan yang melingkupi dirinya setiap berdekatan dengan Harsya. Armina memilih mengirimkan pesan kepada Harsya. "Kak Meisha dimana? Dia datang ke wisudaku nggak?" Tanda centang dua sedetik berubah menjadi biru. Harsya langsung membaca pesannya. Armina cemas menunggu balasannya. Alih-alih menjawab pesan, Harsya malah menelefon. Cepat Armina menjawab. “Halo?!” Armina menempelkan telefon genggamnya rapat ke telinga. Suara musik instrumen lagu daerah yang membahana sejagad ballroom, setengah menulikan untuk mendengar suara yang lain. “Mina! Maaf, kakakmu nggak bisa datang. Dia mendadak sakit.” Harsya menjawab. Armina terkejut. “Sakit apa?” “GERDnya kambuh … Tapi kamu nggak usah khawatir … Aku dan Lubna baru saja sampai di parkiran. Acaranya sudah mulai?” “Belum. Sebentar lagi.” “Oke!” Harsya mengakhiri panggilannya. Armina terdiam. Ia kecewa kakaknya tidak jadi datang. Walaupun Harsya menyempatkan datang bersama anaknya, tetap saja Armina merasa tidak lengkap. Ia butuh kakaknya yang hadir di sini. Mengapa wanita itu harus sakit di saat seperti ini? Sakit apa? Ia menelan gundahnya dan merasa sendirian. Ia berharap ayah dan ibunya berada di antara kumpulan orang tua, yang bangga pada hasil perjuangan anaknya. Air mata mengembang di sudut mata. Armina mengusapnya dengan ujung jari. “Kenapa, Mina?” Rara kaget melihat mata Armina yang sedikit basah dan mukanya yang resah menahan tangis. “Kak Meisha nggak datang. Katanya sakit.” Mina menggigit bibirnya. “Jadi, kamu sendirian?” tanya Rara khawatir. “Ada Kak Harsya sama Lubna. Mereka baru sampai di parkiran.” Rara memeluk bahu Armina. “Sudah jangan sedih! Nanti kuminta Edo videoin pas kamu dipanggil naik, supaya bisa kamu kirim ke Kak Meisha dan Kevin. Oke?!” Armina mengangguk. Rara langsung mengirimkan pesan kepada Edo, pacarnya. Acara dimulai. Armina tak lagi leluasa mencari Harsya dan keponakannya. Ruang acara sudah penuh dan padat. Tapi, tak lama kemudian Harsya mengirimkan foto dirinya bersama Lubna yang sedang duduk di kursi deretan undangan, entah di sebelah mana. Lubna, yang baru berusia 5 tahun memamerkan senyum dengan buket bunga di tangannya. Armina lega keduanya sudah berada di dalam gedung. Meskipun tidak direspon, Armina mengirimkan foto-foto dirinya kepada Meisha. Ada yang swafoto, ada yang difotokan Rara. Ia berusaha ikhlas dengan ketidakhadirannya. Walaupun hatinya penuh tanya tentang sakit kakaknya yang sampai membuatnya tidak mampu berada di sini. Armina ingin acara wisudanya cepat selesai. Baginya momen yang sebelumnya sangat dinantikan sebagai selebrasi perjuangan menyelesaikan pendidikannya, tak terlalu berarti dan berkesan lagi sekarang. Ia hanya ingin cepat menemui Meisha dan mengetahui keadaannya. Perempuan itu adalah segala baginya. Ia tak punya kerabat lain. Begitu kegiatan dinyatakan selesai, Armina menyempatkan diri dulu berfoto-foto bersama teman-temannya sebelum menemui Harsya dan Lubna. Harsya mengucapkan selamat dan menyalaminya, Armina membalas dengan mencium tangan Harsya, seperti yang biasa ia lakukan jika memberikan salam kepada kakaknya dan orang yang lebih tua. “Selamat Mamina!” Lubna memeluk dan memberikan buket bunganya pada Armina. Sedari bayi, Meisha membiasakan Lubna memanggil Mina dengan sebutan Mamina. Singkatan dari Mama Mina. Armina tidak keberatan. Sebaliknya ia senang karena memiliki panggilan hubungan tante-keponakan yang tak umum. Edo mengarahkannya berfoto bersama keponakannya dan Harsya. Keningnya tampak sedikit berkerut saat melihat hasil fotonya sekilas. Namun, Armina tidak memperhatikan. Setelah merasa cukup, Harsya mengajak Armina pergi. Semula, Armina mengira ia akan menemui Meisha di rumah, tetapi ternyata Harsya langsung mengajaknya ke rumah sakit. Prasangka buruk seketika menguasai pikiran. “Kenapa ke rumah sakit?! Kak Meisha dirawat?!” tanya Armina panik. “Iya,” jawab Harsya pendek. “Loh! Sejak kapan?” Rasa cemas melanda jiwa Meina. “Semalam, kakakmu pendarahan. Aku bawa ke rumah sakit, dan langsung harus dirawat.” “Kenapa aku nggak dikasih tahu semalam? Kenapa tadi bohong dan cuma bilang GERDnya kambuh?” Armina marah. Ia kesal Harsya membohonginya dan tidak segera memberitahu jika ternyata penyakit kakaknya serius. “Jangan marah ke aku, Mina! ... Kakakmu yang memintaku supaya nggak kasih tahu kamu. Dia juga yang menyuruhku berbohong mengenai sakitnya. Katanya supaya kamu nggak panik dan kepikiran. Dia nggak mau merusak kebahagiaan kamu hari ini dengan berita sakitnya,” ujar Harsya menjelaskan. Armina menggelengkan kepala. Kakaknya itu, sejak ia kecil selalu begitu, mengutamakan kepentingan adiknya dibanding dirinya sendiri. Tiba di rumah sakit, Harsya menyerahkan Lubna kepada Mbak Karti, asisten rumah tangganya yang menunggu di lobby. Anak kecil tidak boleh masuk ke ruang perawatan. Harsya membantu Armina membawakan tasnya. Ia memperpendek langkah menyesuaikan dengan gerak kaki Armina yang sedikit tak bebas karena tidak terbiasa memakai selop bertumit tinggi. Armina tak mempedulikan pandangan beberapa orang yang memperhatikannya dan Harsya. Ketika di dalam lift berkaca, ia baru menyadari. Mungkin orang lain mengira dirinya yang berbalut kebaya serta kain sebetis dan Harsya yang mengenakan batik baru saja menghadiri acara spesial. Senyum Meisha mengembang lebar di wajah pucatnya melihat kedatangan Armina. Ia berusaha bangkit duduk dari berbaringnya, tetapi rasa sakit di sekujur tubuhnya menjadikannya tidak berdaya. Armina menghampiri dan memeluk. “Selamat ya, Sayang!” ucap Meisha di telinga adiknya. “Terima kasih, Kak. Semua berkat Kakak!” Armina mencium pipi pucat Meisha. “Kakak sakit apa?” Air mata Armina mengalir membasahi pipinya. Perubahan fisik kakaknya yang terakhir ditemuinya dua minggu lalu sangat jauh berbeda. Waktu itu, perempuan ini masih berseri-seri walaupun tubuhnya sudah lebih kurus. Tetapi sekarang layu dan kuyu. Meisha tidak menjawab. Meskipun begitu senyum tak lepas dari bibirnya. Armina balas tersenyum. Dihapusnya air matanya sendiri. Ia malu karena menangis, sementara kakaknya tampak tegar. Meski begitu, ia tak mengerti mengapa kakaknya seolah tidak menanggapi. Namun, ia juga tidak mau memaksa kakaknya yang tampak sangat lemah itu memberitahunya sekarang. Ia memutuskan akan memaksa Harsya untuk menceritakan. Setelah Meisha tertidur, Armina menghampiri Harsya yang sedari tadi duduk di sofa memperhatikan Armina dan Meisha. "Kak Meisha sebenarnya sakit apa, Kak?" Harsya menatapnya ragu, sebelum mengajaknya ke teras balkon kamar perawatan VIP tersebut. “Sebenarnya sakit kakakmu sudah cukup lama, Na. Cuma aku dilarang keras memberitahumu. Sudah dua tahunan ini dia mengidap kanker serviks, dan dokter bilang sekarang ini sudah stadium empat.” Armina terperangah. Mengapa ia sampai tidak tahu kakaknya sakit separah ini?

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Dinikahi Karena Dendam

read
233.3K
bc

B̶u̶k̶a̶n̶ Pacar Pura-Pura

read
155.6K
bc

Hasrat Meresahkan Pria Dewasa

read
29.5K
bc

Sentuhan Semalam Sang Mafia

read
187.7K
bc

TERNODA

read
198.2K
bc

Setelah 10 Tahun Berpisah

read
31.6K
bc

My Secret Little Wife

read
131.8K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook