04. Siapa Jumi?

2287 Words
"Kenapa kau?" tanya seorang pekerja sembari menatap heran temannya yang tampak sangat girang. Lelaki yang ditanya itu pun hanya mampu terkekeh senang. Ia tersenyum lebar hingga menampakkan giginya. Sikap aneh lelaki itu pun mengundang tanda tanya dalam benak temannya karena selama ini lelaki itu jarang sekali tersenyum. Wajahnya selalu murung dan sudah mirip seperti orang yang tak semangat hidup. Namun, kali ini? Wajahnya bahkan sudah seperti mendapatkan hadiah undian motor. "Ah, bli. Lagi seneng bae!" jawabnya pelan sembari malu-malu. Ia tertawa cekikikan sendiri bila mengingat kejadian yang baru saja ia alami beberapa waktu lalu. Rejeki nomplok—begitu ia menyebutnya. Karena apa lagi namanya jika bukan rejeki nomplok? Sementara ia baru saja bertemu dengan bidadari yang turun dari kayangan. Ah, takdir yang mungkin saja tak akan datang dua kali. (Ah, enggak. Lagi seneng aja!) "Heh, aja mengkonon! Kita, kih, wis suwe dadi batur, ya! Cerita bae, sih!" paksanya. Tidak mungkin karena hal biasa-biasa saja karena selama ini ia sangat tahu seluk-beluk hidup temannya itu. Bisa dibilang mengenaskan. (Heh, jangan begitu! Kita ini udah lama temenan. Cerita aja, sih!) "Kalau aku kasih tahu, jangan ketawa, ya!" ucapnya mewanti-wanti. Wajahnya berubah menjadi serius dalam sekejap saat melihat raut bingung temannya. Sebelum temannya membuka mulut dan mengajukan pertanyaan, ia jauh lebih dulu berbicara. "Aku yakin, pasti kamu ngejekin aku nanti!" ucapnya sanksi saat mengingat sifat temannya yang satu ini—terlampau hobi menghinanya. Yaa, meski sebatas gurauan, tetapi tetap saja sakit jika sudah menyinggung masalah pribadi. Iya, kan? "Enggak bakal. Ayo, cerita!" ujarnya meyakinkan. Ia sudah terlampau penasaran pada temannya ini. "Aku tadi ngobrol sama Jumi!" ucapnya memberi tahu sembari terkekeh kecil. Hatinya seperti ditumbuhi bunga. Hangat, sejuk, dan teramat tenang. Ternyata memang benar jika sudah bertemu dengan pujaan hati, sesuntuk apa pun hati dan serendah apa pun mood seseorang saat itu, bisa langsung melonjak naik seketika. "Jumi?! Si Juminten anaknya pak Subhan, tuh?" tanyanya memastikan. Ya, bisa saja temannya ini salah orang karena di desa mereka, gadis yang memiliki nama Jumi bukan hanya satu. Bisa saja Jumi yang dimaksud adalah Jumi lainnya. "Hu'uh! Barusan aku ngobrol sama dia pas disuruh beli kopi sama pak Kevin di pasar tadi!" jawabnya meyakinkan. Mendengar penuturan temannya, lelaki itu pun langsung antusias. Wajahnya sekarang sama girangnya dengan temannya. Mendengar nama "Jumi" disebut, sudah seperti jimat ampuh untuk menghilangkan segala permasalahan. Lelah, pusing, dan rasa kesal yang sejak tadi bercokol di dalam hatinya karena ulah Kevin pun mendadak hilang. Yang berbicara dengan Jumi siapa, yang girang pun siapa. Bucin! "Aduh! Rejeki nomplok, tuh! Coba aja kalau tadi aku ikut, sudah kulamar Jumi di jalan tadi!" terangnya kesal. Jika bukan karena Kevin yang memberikan banyak pekerjaan padanya, pasti ia sudah ikut bersama temannya itu. Namun, apa boleh buat? Kevin mengancam akan memotong gajinya hanya karena kemarin ia tidak masuk kerja dan hari ini ia ingin menemani temannya. Kevin mengira, dia ingin memakan gaji buta. Padahal demi apa pun, ia berani bersumpah, ia tidak akan mau memakan gaji buta. "Heh, aja sembarangan karo Jumi. Gayamu pengen lamar ning dalan. Lah, wong, lamar ning umahe bae kamu wedi! Cupu!!" sambarnya dongkol. Mudah sekali temannya itu mengatakan niatnya ingin melamar Jumi. Gaya sekali ingin melamar di jalan. Jangankan di jalan, yang melamar di rumah Jumi sendiri pun sampai sekarang belum mendapat jawaban. Banyak yang lamar, harus selektif tentunya. (Heh, jangan sembarangan sama si Jumi. Gayamu mau lamar dia di jalan. Lamar ke rumahnya aja kamu enggak berani. Cupu!) "Ari teka ning umah, kudu gegawaan. Kamu weru dewek aku kepriben. Arep mangan bae angel. Syukur bae sekien due pegawean ning daerah dewek. Bli usah marani kota maning, gede ongkose!" sanggahnya sedih. Jika saja syarat menjadi suami Jumi itu mudah, sudah pasti ia lamar Jumi sejak dua tahun lalu. Namun, apa boleh buat. Sepertinya Jumi hanya akan menjadi angan-angannya saja. Gadis yang terkenal polos dan pintar itu menjadi mimpi terberatnya. (Kalau datang ke rumah, harus bawa sesuatu. Kamu tahu sendiri aku gimana. Mau makan saja susah. Bersyukur sekarang punya pekerjaan di daerah sendiri. Enggak perlu datang ke kota lagi, besar ongkosnya!) "Bener. Si Jumi wong tuae elit. Bli gelem karo kita-kita sing bli puguh kerjae." (Bener. Orang tua si Jumi elit. Enggak mau sama kita-kita yang enggak jelas kerjanya.) Sementara itu tanpa mereka sadari, ada sosok Kevin yang berdiri tidak jauh dari mereka. Saat ini, Kevin tengah memasang kupingnya setajam mungkin. Ia tengah mencuri dengar pembicaraan dari dua pekerjanya. Tampak tidak penting memang, tetapi bagi Kevin ini sangat penting dan menarik. Topik yang pekerjanya bahas itu masih sama dengan topik yang beberapa hari lalu ia dengar. Rasa-rasanya tak ada topik menarik lainnya di desa ini selain topik mengenai gadis bernama "Jumi". Ouh, jangan lupakan satu fakta baru yang Kevin dapatkan. Ia baru saja mengetahui nama lengkap gadis itu. Terkesan sangat kampungan dan jelek, tetapi entah kenapa Kevin merasakan ada daya tarik di dalamnya. "Gue harus cari tahu, nih! Siall! Gue kepo banget, ya!" umpat Kevin pada dirinya sendiri saat merasakan kebimbangan dalam hatinya. Di satu sisi, ia sama sekali tidak mengenal gadis itu dan lagi pula, gadis itu bukanlah urusannya. Namun di sisi lain, ia merasa sangat penasaran. berbagai gosip yang beberapa hari ini ia dengar terasa sangat mustahil terjadi di sebuah desa yang kecil ini. Mana ada perempuan desa yang dilamar oleh banyak pria? Setahunya, itu hanya terjadi di kota. Yaa, setidaknya hanya dalam benak Kevin seorang. Karena nyatanya?! Belum bertemu Juminten saja Kevin sudah penasaran. ***** "Heh, kamu!" panggil Kevin pada seorang pekerja yang tengah mengangkat semen. Pekerja itu menurunkan semennya dan bergegas menghampiri Kevin yang tengah berdiri di dekatnya dengan helm pelindung di kepalanya. "Saya, Pak?" tanyanya sopan—berniat memastikan. Kepalanya menunduk agar tak langsung menatap Kevin yang sering kali membuatnya serba salah. Tidak ditatap membuat Kevin merasa tidak dihargai. Lalu, saat ditatap malah membuat Kevin merasa diinjak-injak. Bos yang sangat rewel! Untung saja Kevin bisa membimbing proyek dengan baik. Kevin menganggukkan kepalanya pelan. "Ya kamulah! Yang ada di deket saya sekarang, kan, kamu!" semprot Kevin. Emosinya menjadi sangat tidak menentu semenjak ia tinggal di desa. Belum ada satu minggu dia di sana, tetapi Kevin merasa sudah ingin mati saja! Bukan karena pekerjaannya di proyek, tetapi karena kehidupannya. Ia mengalami banyak kesulitan sejak tinggal di sini. "Maaf, Pak!" Kevin mengibaskan tangannya sebagai pertanda bahwa ia tidak terlalu mempermasalahkannya. Sekarang, ia membisikkan sebuah kalimat pada pekerjanya yang seketika membuat pekerja itu ragu menerimanya. Tawaran yang menggiurkan, tetapi tampak mengerikan. Ia sudah bilang bahwa ia tidak ingin memakan gaji buta, bukan? "Ayo!" ajak Kevin sambil berjalan mendahului pekerjanya yang masih berpikir keras. Terima atau tolak. Ah, ia bingung menentukannya. Kalau diterima, ia tidak akan digaji karena bosnya itu pasti membutuhkan waktu lama untuk menuntaskan keinginannya. Kalau ditolak, ia takut dianggap tidak patuh. "Nanti saya tetep digaji, kan, Pak?" tanyanya takut pada akhirnya setelah Kevin menengok padanya yang tak kunjung melangkah. Kevin menaikkan alisnya sombong. Pertanyaan seperti itu sedikit menyinggungnya. "Kamu pikir saya orang miskin?! Saya bahkan sanggup gaji kamu untuk bertahun-tahun. Harta saya enggak akan habis tujuh turunan. Lagi pula, anggap aja sekarang kamu lagi kerja khusus sama saya!!" sentak Kevin sambil merengut kesal. Enak saja meragukan dirinya. Meski Kevin sering bersikap sesuka hati, ia tetap saja termasuk bos yang royal. Syaratnya satu yaitu, jangan pernah melanggar aturan yang telah Kevin buat. "Udah ayo! Saya enggak mau terlambat!!" ***** "Saya pikir Bapak enggak suka sama kehidupan di desa, tapi kayaknya saya salah, Bapak semangat banget mau keliling desa!"  tutur Bandi—pekerja Kevin—yang berhasil membuat Kevin salah tingkah. Memang terlihatnya seperti itu, ya? Perasaan ia biasa-biasa saja. Yaa, memang lebih bersemangat dari sebelumnya, sih. Jika membicarakan kehidupannya di desa maka Kevin akan berkata, "Sudahlah, saya pasrah!". Kevin tidak memiliki pilihan lain. Ia sudah datang ke sini dan harus menyelesaikan tugas-tugasnya tanpa peduli resikonya. Salah, lebih tepatnya ayahnya yang tidak mempedulikan dirinya dan segala penderitaannya. "Eeumm..., ya. Anggap saja begitu. Sekarang, bawa saya ke tempat-tempat yang sering dikunjungi warga desa. Saya mau tahu apa yang mereka lakukan di sana. Ini bisa jadi bahan survei untuk perkembangan resort nanti." Kevin menggulung lengan kemejanya. Ia kemudian naik perlahan-lahan ke atas motor. Setelah ia menyamakan duduknya, Bandi langsung menjalankan motornya dengan hati-hati. Rencananya, hari ini Bandi akan menemani Kevin seharian untuk berkeliling desa. Jujur saja, Bandi sendiri sedikit bingung karena sejak pertama kali ia melihat Kevin, ia bisa langsung menyimpulkan bahwa Kevin adalah sosok yang terlampau tinggi. Maksudnya, Kevin adalah sosok orang yang memiliki tingkat gengsi yang akut. Ia bahkan tidak pernah melihat Kevin tersenyum saat bekerja. Namun, semua spekulasi buruknya tentang Kevin rupanya terpatahkan. Saat ini, Kevin bahkan terlihat sangat antusias dan itu berhasil membuatnya sedikit merasa bersalah. "Pak, kita ke balai desa dulu, ya," ucap Bandi memberi tahu Kevin yang sibuk menoleh ke sana dan sini. Raut wajahnya tampak sangat serius jika dilihat dari kaca spion dan hal itu membuat Bandi benar-benar yakin jika kegiatan mereka hari ini akan dijadikan bahan survei untuk kemajuan resort. "Terserah kamu. Bagi saya yang penting keliling desa!" balas Kevin sambil mengipasi wajahnya. Cuaca hari ini sangat panas, beruntung ia menggunakan motor. Jadi, tidak akan terasa sangat panas. Beruntung beberapa hari ke belakang hujan tidak turun sehingga jalanan pun tetap kering dan bisa dilewati dengan mudah. Menurut pengalaman pertamanya, jika hujan turun di desa ini maka akan terjadi hal yang mengerikan. Yaa, seperti jalanan yang penuh lumpur sehingga menimbulkan becek. Selain itu, pohon-pohon besar yang berada di desa ini juga membuat Kevin waspada karena bisa saja tumbang kapan pun. Saat sedang berhenti di balai desa, Kevin kembali mendengar bisik-bisik dari para warga desa yang berhasil membuatnya tertarik. Ouh, tidak! Lebih dari sekedar tertarik karena itulah tujuan utamanya. Ia pun memulai sandiwaranya. Ia meminta untuk turun dan duduk di salah satu bangku ditemani oleh Bandi yang tengah memesan kopi untuknya. Matanya dengan serius menatap pada ponselnya yang sedang ia mainkan. Namun, telinganya bekerja dengan baik untuk merekam segala informasi yang dia dapatkan. Saking seriusnya, Bandi yang berada sedikit jauh dari Kevin pun mengira jika Kevin benar-benar sedang mengumpulkan informasi untuk kemajuan bisnisnya. Wajah Kevin terlihat sangat menjiwai perannya, ia bahkan berhasil menipu orang-orang di sekitarnya. Matanya memang fokus menatap ponsel, tetapi telinganya fokus pada hal yang lain. "Eh Bandi, itu siapa?" tanya seorang pegawai desa pada Bandi yang tengah membeli kopi. Matanya menatap pada Kevin yang terlihat sangat tampan dengan kemeja dan celana bahannya. Mendengar hal itu, Bandi pun menengok dan langsung menjawab bahwa itu adalah bosnya. Dalam hatinya, Bandi sudah dapat menebak apa yang terjadi. Pegawai desa yang tak lain adalah tetangganya itu pasti menyukai Kevin. Secara, lelaki di desanya memiliki wajah yang berada jauh di bawah Kevin. Jadi, sudah dipastikan bahwa wanita yang terkenal genit itu menyukai Kevin. "Iku bosku, nembe teka ning desa. Durung olih sebulan-bulan acan," jawab Bandi santai. Wanita itu—Titin—membulatkan matanya terkejut. Ia kemudian tersenyum lebar pada Bandi. Melihat hal itu, Bandi pun mulai merasa tidak enak. Pasti setelah ini akan ada yang terjadi. (Itu bosku, baru dateng ke desa. Belum ada sebulan sama sekali). "Ouh, mengkonon. Ya wis. Bandi, kita olih njaluk tulung bli?" tanya Titin dengan senyum malunya. Bandi yang melihat hal itu pun merasa jijik. Sudah wajah menor penuh bedak, lipstik merah cabai, dan hiasan mata yang sangat ramai sudah seperti pasar malam. Dalam hati, Bandi merutuki dirinya sendiri. Kalau tahu seperti itu, lebih baik tidak usah ia jawab saja! Karena pada akhirnya, ia sendiri yang akan kerepotan. (Ouh, begitu. Yaudah. Bandi, aku boleh minta tolong enggak?) "Tulung apa?" tanya Bandi malas. Kenapa, sih, pesanan kopinya harus lama sekali?! (Tolong apa?) "Pang kena— (Tolong kena—) "Bandi, iki kopie!" ucap ibu pemilik warung—Bu Risna—sembari menyodorkan dua gelas kopi. Titin yang semula ingin berbicara itu pun terpaksa mengatupkan mulutnya. Bu Risna mengganggu waktunya! (Bandi, ini kopinya!) Mendengar hal itu, Bandi pun dengan cepat mengambil kopi tersebut dan bergegas pergi meninggalkan Titin yang memanggil namanya. "Ini kopinya, Pak!" ucap Bandi sembari memberikan segelas kopi untuk Kevin yang terkejut dengan kedatangannya. Bandi pun meminta maaf karena telah mengganggu pekerjaan Kevin. Tidak tahu saja dia bahwa sejak tadi Kevin tidak melakukan pekerjaan apa pun. Kevin hanya duduk manis dengan wajah angkuhnya, memasang telinga, dan tak lupa berpura-pura mengecek laporan yang masuk ke ponselnya. "Makasih. Kamu duduk di sebelah saya!" ucap Kevin berterima kasih sekaligus memberikan izin untuk Bandi duduk di sebelahnya. Sejak tadi, banyak bisik-bisik yang Kevin dengar dan salah satu dari sekian banyak topik yang mereka bicarakan adalah Kevin sendiri. Wajah tampan Kevin yang angkuh itu ternyata menjadi topik ghibah pagi ini. Ghibah mereka benar-benar hangat sampai-sampai Kevin merasa panas mendengarnya. Mereka mengolok Kevin, tetapi mereka juga memuji Kevin. Kalau Kevin tidak salah dengar, wajahnya yang tampan itu sama sekali tidak sebanding dengan keangkuhannya. Ia bahkan dituduh tidak memiliki sopan santun karena sejak tadi ia sama sekali tidak menyapa orang-orang di sana. Tentu saja Kevin merasa tidak terima. Yaa, meski memang benar Kevin tidak berahlak dan tidak memiliki tata krama, Kevin tidak ingin dihina dan dikomentari begitu saja. Setelah kopinya habis, Kevin meminta Bandi untuk kembali ke proyek. Ia rasa sudah cukup kunjungannya hari ini dan informasi yang ia dapat pun lumayan banyak. Informasi yang ia dapat hari ini bahkan sudah ia catat. Sudah sejak tadi ia ingin segera kembali ke proyek, tetapi ia masih merasa belum cukup puas. Meski hatinya panas tak karuan mendengar gosip murah ibu-ibu desa, setidaknya perjuangannya tidak sia-sia. "Ayo, Pak!" ajak Bandi. Kevin pun segera menaiki motor Bandi dengan hati-hati. Di tengah perjalanan, Kevin membuka obrolan mereka. Awalnya, topik mereka hanya berputar pada lingkungan desa yang indah, tetapi tidak dikelola dengan baik. Namun, lambat laun topik mereka merambat pada seorang gadis yang bernama Jumi. Kevin yang merasa penasaran pun mencoba mengorek informasi dari Bandi yang dengan polosnya menganggap biasa pertanyaan-pertanyaan yang Kevin ajukan. "Jumi itu siapa, sih?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD