03. Sebuah Nama

2542 Words
"Berisik!!" teriak Kevin kesal saat suara ayam berkokok terus-menerus mengganggu tidur nyenyaknya. Sebenarnya tidak bisa dibilang nyenyak juga, sih, karena bagaimana Kevin bisa tertidur nyenyak sementara ranjang yang ia tiduri nyaris sekeras batu?! Kevin membalikkan tubuhnya. Sekarang, ia tengkurap dengan bantal yang menutupi kepalanya. Semoga saja bantal itu bisa mengurangi kebisingan yang ia dengar. Belum sampai sepuluh menit Kevin dengan posisi barunya, ayam yang tidak dia ketahui asal dan keberadaannya itu kembali berkokok membuat Kevin menggeram marah. Awas saja! "Berisik! Gue mau tidur!" bentaknya kesal sambil kakinya menendang-nendang sprai yang sudah berantakan tidak karuan. Kevin menggaruk wajahnya kasar. Nyamuk di sini benar-benar ganas sampai habis sekujur tubuhnya terasa gatal. Matahari telah terbit, tetapi Kevin masih enggan membuka matanya. Ia baru bisa tertidur menjelang matahari terbit dan sudah dipastikan jika kantuknya masih sangat mendera saat ini. Ayam itu masih tidak beranjak. Ia menunggu di luar rumah—tepat di bawah jendela kamar Kevin. Dinding tidak akan bisa menghalanginya untuk menjalankan tugasnya. Membangunkan orang di pagi hari adalah agenda wajibnya. Apa lagi sosok baru penghuni rumah ini. Sudah pasti tidak akan ia beri kendor! "Iya, gue bangun! Gue bangun!" teriak Kevin kesal setelah ia berhasil mendudukkan tubuhnya dengan sempoyongan di atas kasur. Matanya masih tertutup rapat, terlebih lagi sinar matahari yang masuk membuatnya silau sehingga Kevin lebih memilih menutup matanya. Kevin bergumam dalam hatinya, sekali lagi ayam itu berkokok, ia tidak akan membiarkannya keluar hidup-hidup! Akan Kevin goreng ayam itu biar tahu rasa! Berani sekali seekor ayam mengganggu tuan muda seperti dirinya. Ayam ini pasti tidak pernah diajarkan tata krama! Wajah Kevin mendadak berubah. Ia mengerutkan dahinya dengan mata yang masih terpejam. Tangan mulusnya langsung sibuk mengelus perut berototnya. Ia mulas. "Aduh, apes banget gue! Tidur diganggu dan sekarang gue mules lagi!" gumam Kevin malas setengah jengkel. Sudah tidak bisa tidur, digigit nyamuk, dan sekarang harus mulas di tempat yang baru. Benar-benar hari pertama yang buruk! "Gue harus ke kamar mandi. Eh, tapi kamar mandi dalam udah dibenerin belum, ya?" "Semoga aja udah. Awas kalau belum, gue potong gaji!" celoteh Kevin saat teringat jika kamar mandi dalam belum bisa digunakan. Rasa mulas Kevin mengalahkan segalanya sehingga dengan terburu-buru Kevin pun turun dari ranjangnya dan langsung berlari keluar kamar. Suara bantingan pintu langsung terdengar saat Kevin dengan spontan menutup kasar pintu kamar mandi. Setelah selesai dengan urusannya, Kevin pun keluar. Ia beralih menuju dapur karena perutnya tiba-tiba saja lapar. Matanya dengan teliti melihat isi dapurnya dan mendesahh lega setelahnya. Setidaknya, dapurnya masih bisa dibilang layak. Ada kulkas kecil di sana dan kompor gas. Untung saja bukan kompor minyak. Meski tidak ada oven, menurut Kevin tak masalah. Ia bisa membelinya nanti. Namun, sepertinya bukan itu masalahnnya. "Dasar perut! Udah dikeluarin, malah mau diisi. Sekarang gue makannya gimana?!" dumel Kevin pada perutnya sendiri. Ia bukan tipe lelaki mandiri. Kevin bahkan sangat manja dan selalu ingin dilayani. Air mandi saja ia selalu meminta pembantunya untuk mengisikannya dan saat ini ia harus memasak sendiri? Memasak? Memasak? Demi apa pun, rumah sekecil ini bisa hangus terbakar dalam waktu sekejap. Jangan sampai Kevin menjadi gembel setelah ini. "Gue enggak bisa masak, tapi perut gue laper!!" "Pak Dudi mana, sih?! Katanya mau ngurusin di sini dulu sampe selesai. Minimal cariin pembantu gitu! Gue, kan, raja. Mana bisa dikasih kerjaan begini," omel Kevin saat dari tadi tidak ada yang bisa ia lakukan. Kevin hanya terus mendumel kesal sambil memperhatikan dapurnya. Ingin makan tidak ada makanan mengeyangkan, ingin memasak pun ia tidak bisa. Tidak elit jika ia mati karena kelaparan. Belum ada satu minggu dia di sini, masa sudah mati saja! Cklek! "Pak Dudi!!" pekik Kevin senang saat melihat Pak Dudi memasuki rumah dengan membawa banyak plastik belanjaan. Ia dengan cepat mendekati Pak Dudi dan memintanya untuk memasak. Perutnya sudah meraung-raung keras dan ini tidak bisa dibiarkan. "Pak, dari mana aja, sih?! Kevin lapar, nih. Anak majikan masa ditinggal-tinggal!" dumel Kevin sambil menatap Pak Dudi kesal. Ia tidak peduli jika perkataannya akan membuat Pak Dudi tersinggung. Memang benar dia anak dari ayahnya, kan—majikan Pak Dudi? "Sa—" "Udah, sekarang masak buat Kevin. Lapar, nih! Jangan sampai Pak Dudi enggak bisa masak!" potong Kevin sengit sambil merebut plastik yang tengah dipegang oleh Pak Dudi. Ia langsung membawanya dan mengobrak-abrik isi dari plastik tersebut. Mungkin saja Kevin bisa menemukan makanan yang dapat mengganjal rasa laparnya. Pak Dudi hanya menggeleng heran. Majikannya—Kenan—sangat baik dan sopan, berbeda sekali dengan anak majikannya ini. Manja, keras kepala, dan tidak berahlak. Poin terakhir benar-benar membuatnya pusing. Ia rasa Kevin benar-benar sudah tidak memiliki ahlak. Selama bertahun-tahun bekerja bersama Kenan, tak pernah ia mendapati Kevin bersikap sopan sekali saja. Anak itu sedari kecil memang sudah tak berahlak. Ia bahkan tidak peduli apa itu hak kemanusiaan. Ia hanya mempedulikan dirinya sendiri. Benar-benar menjengkelkan. Untung saja ia bukan anak muda yang masih labil emosinya sehingga ia tidak perlu beradu otot dengan Kevin. "Ini, Tuan Muda," ucap Pak Dudi sambil membawa semangkuk pasta untuk Kevin. Untung saja tadi ia sudah berbelanja di kota. Jika tidak, mungkin saja Kevin akan mengamuk tak jelas pagi ini. Lidah Kevin terlalu elit dan tentu saja ia sangat memilih-milih makanan. Jika tak cocok di lidahnya, Kevin bisa saja membuangnya. Kevin dan segala keangkuhannya memang luar biasa. "Wah, pasta! Bagus, lidah Kevin enggak bakal alergi kalau makannya ini!" ucap Kevin sambil tersenyum lebar. Pikirannya tadi membayangkan yang buruk-buruk. Ia kira Pak Dudi akan membawa selera kampungnya saat memasak makanan untuknya, tetapi ternyata tidak. Pak Dudi berhasil membuatnya puas dengan kinerja supir papanya itu kali ini. ***** "Ini tempatnya di mana, sih? Dari tadi muter enggak nemu-nemu. Udah jalannya becek, banyak kotoran, bau lagi. Untung aja gue pakai sepatu boot!" gerutu Kevin sambil terus berjalan menyusuri desa. Kakinya sesekali terpeleset saat harus menginjak jalan yang dipenuhi lumpur. Beruntung ia memakai sepatu boot yang sudah disediakan pak Dudi sehingga mampu meminimalisir dampak buruk yang mungkin saja akan terjadi pada dirinya. Sudah dua jam Kevin mencari tempat pembangunan resort itu, tetapi ia tak kunjung menemukannya. Seharusnya, ada orang yang akan menjemputnya. Namun, orang itu tengah sakit dan tidak bisa datang. Dari pada Kevin tertular penyakitnya, lebih baik ia pergi saja sendiri. Hitung-hitung berkeliling desa. Desa ini cukup cantik, tetapi sayang sekali tidak dapat membuat Kevin terpukau. Hatinya ibarat sudah mati! Ia masih marah dan kesal pada ayahnya yang dengan seenaknya memberikan tugas untuk membangun resort di pedesaan. Pikir Kevin, kenapa harus pedesaan saat masih ada banyak tempat yang belum mereka coba? "Aduh, kurang ajar!" umpat Kevin saat seorang warga dengan seenak hatinya menjalankan motor dengan kecepatan tinggi sehingga membuat lumpur yang kotor itu terciprat ke tubuhnya. Mata Kevin sontak melotot. Berbagai sumpah serapah sudah terucap mulus dari bibir tebalnya. Kevin berniat mengejar pengendara tersebut, tetapi ia gagal. Sepatu boot yang ia gunakan tidak dapat diajak berlari. Jika ia berlari, sepatunya bisa lepas di tengah jalan. Itu akan lebih menjijikan! Jangan sampai kaki sultan Kevin menyentuh lumpur. Tak terbayang harus berapa kali ia mencucinya nanti. "Dasar orang kampung! Enggak tahu tata krama. Sultan gini dicipratin lumpur. Gue cipratin duit tau rasa!" cibir Kevin sambil mengelap wajahnya yang kotor karena lumpur. Sah sudah wajah glowing-nya ternoda. Wajah yang sejak tadi sudah dipoles sun block itu justru mendapatkan hadiah istimewa. Memang benar, sih, terlindungi dari panas matahari, tetapi gagal terlindungi dari cipratan lumpur. Benar-benar menjijikan! "Aduh, muka gue! Udah sejam gue poles, eh, malah dicipratin lumpur. Pasti gue bakal iritasi gara-gara ini. Nasib-nasib!" ucap Kevin sedih. Untung saja ia selalu membawa tisu basah ke mana pun. Jadi, wajahnya bisa sedikit teratasi untuk saat ini. Awas saja nanti, ia tidak akan membiarkan orang itu lolos! Jika bertemu lagi, Kevin tuntut dia karena berencana merusak wajah tampan seorang Kevin! Tak ingin lebih lama lagi berada di jalan yang penuh lumpur itu, Kevin pun bergegas pergi. Ia berjalan pelan dan hati-hati agar tidak tergelincir. Jangan sampai ia mandi lumpur nanti! Sembari berjalan, Kevin tak henti mengeluh. Lelaki tampan yang kelewat manja itu benar-benar menyebalkan. Dia selalu saja mengomentari apa yang ia lihat. Komentarnya pun tidak ada yang baik, semuanya buruk. Di mata Kevin, hanya akan ada keburukan dan hanya dia yang benar. Mata Kevin berbinar saat ia melihat tempat proyek itu berada. Dengan semangat empat lima, Kevin pun berjalan cepat. Ia harus segera sampai ke proyek pembangunan itu dan bersantai di ruangannya. Saat baru saja sampai, semua orang langsung melirik ke arah Kevin sehingga membuat Kevin mau tidak mau balas menatap mereka. Ia menaikkan sebelah alisnya saat menyadari tatapan para pekerjanya. Pasti karena Kevin yang datang dalam keadaan kotor! Ditatap intens seperti itu membuat Kevin merinding "Ngapain liat-liat? Sana kerja! Saya normal, ya!!" bentak Kevin sambil berlalu ke ruangannya. Ia sedikit bergidik ngeri saat hampir semua pekerjanya yang berbadan kekar menatapnya. Otaknya yang memang pada dasarnya tidak beres menjadi semakin konslet. Ia takut jika ia menjadi incaran selanjutnya. Jangan sampai, deh! Kevin itu normal. Baru saja ia duduk di kursinya, Kevin sudah mendapat telepon dari ayahnya. Karena malas, Kevin pun mengabaikannya dan ia meminta seorang pekerja untuk membuatkannya kopi. Ia belum sempat meminum kopi pagi ini. "Bikinin saya kopi! Saya belum minum kopi pagi ini. Kopinya, kopi hitam dan gulanya satu sendok aja. Jangan kelamaan bawa ke sininya, nanti udah enggak anget lagi!" titah Kevin membuat pekerja itu menggaruk kepalanya bingung. Tempat memesan kopi mereka cukup jauh dari ruangan bos mereka ini dan ia yakin jika nanti kopi itu sudah sampai, pasti sudah tidak dingin lagi. "Pak, warung kopinya jauh dari sini. Kalau dibawa ke sini kayaknya udah enggak anget!" ujarnya memberi tahu. Lebih baik beri tahu dari awal dari pada ia kena semprot nanti. Biarlah sekarang Kevin saja yang berpikir. Toh, dia baru datang dan otaknya pasti masih segar. "Terus?! Saya minum kopinya gimana?! Pokoknya saya mau kopi!" sungut Kevin. Ingin membeli kopi saja susah. Padahal di kota ia bisa mendapatkan dengan mudah. Tempat makan ada di mana-mana dan pasti selalu menyediakan kopi. Sementara sekarang? Luar biasa menguji kesabaran. "Kalau Bapak mau, ayo, saya antar ke sana. Kami juga biasa minum kopi di sana," tawarnya pada Kevin yang tampak berpikir. Kevin merasa sanksi jika kopi yang ia minum akan memenuhi standarisasi seorang Kevin. Semua yang masuk ke tubuh Kevin harus terjamin kualitasnya. "Memangnya di sini enggak ada kopi?" tanya Kevin. Seingatnya selama ia mengawasi proyek yang diberikan ayahnya, ia selalu menyediakan kopi dan makanan untuk para pekerja. Ia tidak ingin pekerjanya berada jauh dari proyeknya ketika jam istirahat. Bisa-bisa ia kecolongan jika ada pekerja yang hilang tiba-tiba. Bisa rugi besar Kevin. "Enggak ada, Pak. Proyek ini, kan, baru dimulai!" jawab pekerja itu membuat Kevin mengangguk. Sepertinya ia harus sedikit menurunkan standarisasinya. "Ya udah, antar saya ke sana!" putus Kevin. ***** "Eh, kamu tahu si Jumi enggak?" tanya pekerja yang bernama Baron. Ia sedikit berbisik pada temannya karena saat ini ada Kevin di dekat mereka. Ia tidak ingin membuat bosnya mengecapnya sebagai tukang rumpi. Tidak tahu saja dia jika mulut Kevin jauh lebih julid dan pedas. "Jumi yang cantik itu?" balas Beben—teman Baron—senang. Beben tersenyum lebar saat menyebut nama "Jumi". Ia langsung terbayang wajah cantik gadis yang sering kali berseliweran dalam pikirannya. Haduh, jika sudah begini, rasanya Beben ingin segera pulang dan mengatakan pada ibunya bahwa dia ingin menikahi Jumi. "Siapa Jumi?" tanya Kevin tiba-tiba. Menurutnya, nama itu sangatlah kampungan. Sangat aneh dan terkesan kuno. Kevin menjadi geli sendiri mendengarnya, tetapi ia juga merasa penasaran. Siapa perempuan yang punya nama sejelek itu? Kevin yakin jika perempuan itu pasti tak kalah jeleknya dengan namanya. Rasa-rasanya, mulut Kevin gatal ingin menghujat! Mendengar pertanyaan dari bos mereka, Beben dan Baron pun langsung terdiam. Bingung menjelaskan dari mana. Tidak mungkin mereka bilang jika Jumi adalah gadis yang menjadi idaman pria di desanya, kan? Akan tampak sangat memalukan dan terkesan konyol. Jika dilihat-lihat lagi, Kevin sama sekali tidak bisa merakyat. "Loh, kok, diem?!" heran Kevin. Sejak tadi mereka asik berbincang dan saat dia berbicara, tiba-tiba saja mereka diam layaknya patung. Kevin tidak suka diabaikan! Dia harus selalu ditanggapi dan direspon. "Pak, warungnya ada di sebelah sana," ucap Beben mengalihkan pembicaraan saat Kevin menuntut jawaban. Ia menunjuk pada warung di pinggir jalan yang beratapkan daun. Kevin yang melihat hal itu pun mengernyit heran. Warung macam apa yang memakai daun sebagai atapnya? Apa tidak roboh saat terkena hujan? "Itu?" tanya Kevin memastikan. Ia tidak ingin salah tempat. Beben dan Baron mengangguk penuh semangat. Mereka kemudian menjelaskan beberapa hal pada Kevin terkait warung itu. Kevin mengangguk mengerti sebagai balasannya. Ia kemudian meminta Baron dan Beben untuk segera kembali bekerja. Ia akan memesan kopinya sendiri. Kevin berjalan menunduk saat memasuki warung tersebut. Atap warung itu terlalu pendek untuk tubuh Kevin yang tingginya mencapai 180 cm. Saat telah memasuki warung, Kevin mematung bingung. Ia tidak tahu harus berkata apa pada penjual yang saat ini sedang sibuk merumpi. Penjelasan Baron dan Beben yang baru saja diberikan untuk Kevin rasanya sama sekali tidak berfungsi karena Kevin mendadak lupa apa saja yang pekerjanya katakan. "Wah, ada Mas Ganteng!" pekik seorang wanita sambil menggendong bayinya. Wanita itu terkejut saat membalikkan badannya dan melihat Kevin yang tengah berdiri di belakangnya. Matanya langsung berbinar seketika saat melihat lelaki bening semacam Kevin. Lumayan, bisa dijadikan bahan haluan. Jarang sekali ada lelaki tampan dan bening seperti Kevin datang ke desanya. "Eh, iya ganteng!" "Aduh, bening banget!!" pekik ibu-ibu yang berada di sana saat menyadari kehadiran Kevin. Mereka memandang Kevin dengan takjub. Wajah Kevin yang putih mulus dan gagah berhasil menyihir mereka. Belum lagi tubuhnya yang sangat mirip seperti aktor luar negeri kesukaan mereka, benar-benar seperti mimpi! Kevin nyaris memekik kencang saat dengan lancangnya segerombol ibu yang sejak tadi menggosip itu ingin menyentuhnya. Sontak saja Kevin mundur dan langsung menatap horor para wanita di depannya. Mereka tampak sangat menakutkan! "Udah toh, jangan begitu. Kasian Masnya!" ucap sang penjual mengendalikan suasana. Kevin bernapas lega dibuatnya. Ia mengangguk pelan sebagai ucapan terima kasih. Jika penjual itu tidak menghentikannya, ia pasti sudah berlari tunggang langgang. Lebih baik tidak minum kopi dari pada habis badannya disentuh dan dikagumi sana-sini. "Mau pesen apa, Mas?" tanya ibu itu pelan. Kevin melirik sekitar dan menemukan kopi hitam. Meski bukan kopi kesukaannya, setidaknya ini masih dapat dibilang layak. Ya, turun kelas sedikit tidak masalah. Dari pada tidak dapat sama sekali. Lain kali, ia akan membelinya sendiri dan menyetoknya di proyek serta di rumahnya. "Kopi hitam satu," pesan Kevin masih sambil berdiri kaku. Ia tidak ingin duduk bersama ibu-ibu yang mengerikan itu. Penjual itu pun mengangguk dan bergegas membuatnya. Ia pun kembali memperingatkan para wanita itu untuk tidak menyentuh atau mendekati Kevin. Sepertinya Kevin orang baru dan pasti dia tidak nyaman. "Eh, weru ora si Jumi dilamar maning?" tanya seorang ibu yang tengah memilih roti. Mulutnya yang berwarna merah tampak sangat julid dengan wajah yang tiba-tiba berubah menjadi masam. (Eh, tahu enggak si Jumi dilamar lagi?) "Weru, mboke wis ngegosip wingi. Jare'e anake akeh sing demen!" balas seorang wanita yang tengah menggendong bayinya. Nada bicaranya terdengar sedikit kesal karena merasa iri pada gadis yang bernama Jumi. Gadis itu masih muda, tetapi yang melamar sudah antri semua. (Tahu, ibunya ngegosip kemarin. Katanya, anaknya banyak yang suka!) "Mboke doyan pamer!" sungut seorang ibu dengan wajah juteknya. (Ibunya suka pamer!) Di tengah perbincangan ibu-ibu itu yang terkesan sangat panas dan sengit, seorang Kevin hanya mampu terdiam bingung. Ia tidak tahu apa yang dibicarakan segerombol ibu yang suka menjulid itu. Hanya satu hal yang ia tangkap, yaitu sebuah nama—Jumi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD