bc

Cerita Teh Euis

book_age18+
185
FOLLOW
1.1K
READ
scary
like
intro-logo
Blurb

cerita ini mengandung unsur 18+

cerita ini bukan kejadian yang sebenarnya, tapi hanya karangan dari penulis saja.

hanya boleh di baca sendirian, kalau berdua repot bagi hp nya.

yuk di baca cerita nya bagi yang gabut di rumah.

chap-preview
Free preview
Teh Euis Part 1
Beberapa bagian dari cerita fiksi ini akan dianggap tidak layak dikonsumsi kalangan dengan usia dibawah 17 tahun, serta melanggar standar adat sopan santun dan budaya di tempat anda. Harap diinggat bahwa karya fiksi non ilmiah ini hanya sebagai hiburan untuk anda yang telah dewasa. Kesamaan nama, tempat atau alur dengan kehidupan nyata anda hanyalah kebetulan semata. Dari kejauhan terdengar samar-samar suara mobil bermesin diesel tengah menanjak menggunakan gigi dua. Beberapa pengojek segera menyalakan mesin motornya. Diantara mereka berlima hanya Oman yang tak ikut-ikutan menyalakan motor. Dia malas untuk berebut penumpang karena sudah pasti tidak akan bisa menang berebut penumpang dengan teman-temannya yang menggunakan motor bagus. Motornya hanya sebuah Honda GL 125 yang sudah usang. Seperti biasanya, Oman hanya bisa mendapatkan penumpang saat pengojek tinggal bersisa dirinya saja, tak memberikan pilihan lain pada calon penumpang kecuali menumpang motor tua Oman. Mobil yang ditunggu akhirnya datang juga ke pertigaan Warung Honje, sebuah persimpangan yang menuju Kampung Pasir Lenyap di kaki Gunung Halimun. Empat tukang ojek memacu motornya tepat ke pintu keluar sebuah Elf yang sarat dengan penumpang dan barang. "Neng hayu neng, mau dianter kemana ?" Uje yang paling depan dengan percaya diri menyambut penumpang yang sedang turun. "Hayu Neng sama akang aja, ongkos biasa." Kang Uun tak mau kalah menawarkan jasa. Tetapi penumpang yang turun hanya celingak-celinguk mencari sesuatu. Seorang gadis berkulit sawo matang dengan rambut kecoklatan mengayunkan sebuah backpack yang tadi dipegangnya ke punggung. "Kang Oman mana ?" Suaranya yang khas berlogat Sunda terdengar bertanya pada para tukang ojek yang menawarkan jasa sambil menggerung-gerung sepeda motornya. "Euuh.... langganan si Oman." Kang Uun tak menjawab si gadis yang baru saja turun dari Elf. Dia langsung balik lagi ke pangkalan ojek berupa sebuah gubuk dengan tempat duduk berupa kayu panjang. "Tuh ada di saung." Jawab Uje sambil kepalanya melongok ke pintu Isuzu Elf. "Cuman satu yang turun ini teh ?" "Iyah mang, cuman satu." Supir Elf berteriak menjawab. Dengan beberapa gerungan, Elf itu kembali berjalan menyisakan asap solar yang hitam. "Oman... yeuh ada kabogoh !" Uje memanggil Oman. Oman tersenyum girang. Rejeki ngga kemana, fikirnya. Dia segera menyalakan motor bututnya dengan beberapa hentakan kaki pada selahan. Di motornya tak ada electric starter. "Hayu Neng Enok." Katanya mempersilahkan gadis yang bernama Enok itu untuk naik. Neng Enok sepintas terlihat agak bingung untuk naik mengingat ia mengenakan rok denim yang ketat menyesakkan nafas bagi siapapun yang melihatnya. "Duduk ke samping apa ke depan yah ini teh kang ?" tanya Neng Enok pada Oman yang sudah siap di motornya. Oman tak menjawab tetapi hanya berfikir saja kalau sudah tau mau naik ojek ngapain si Neng Enok pulang dari Bandung pake rok kaya gitu segala ? "Hah siah Oman, gua bilangin sama bini lu." Sebuah suara dari saung pangkalan ojek berteriak, diiringi riuh tertawa seluruh pengojek. Neng Enok naik dengan cara lelaki, menghadap ke depan. Rok denim ketatnya tertarik jauh ke atas paha. Di wilayah sini sebetulnya dianggap tidak sopan kalau perempuan dibonceng menghadap ke depan. "Emh si Oman dapet rejeki montok." Seru suara yang tadi berteriak. Oman tidak menggubris rekan-rekannya sesama tukang ojek. Dia langsung tancap gas membawa Neng Enok, anak Tua Kampung yang hampir seminggu sekali pulang dari Bandung dimana dia kuliah di sebuah perguruan tinggi. "Tumben baru pulang, Neng." Oman memang terbiasa ngobrol dengan penumpangnya. "Iya Kang, minggu kemaren mah males pulang." Neng Enok mulai bercerita kalau dia capek mengerjakan tugas jadi minggu lalu malas untuk pulang. "Kok Neng maunya dianter sama saya sih ? Kan tukang ojeg di pangkalan bukan cuma saya." Oman penasaran kenapa Neng Enok selalu memilih dirinya. Dari dulu pertanyaan itu disimpan di hati baru sekarang ditanyakan. "Soalnya saya mah ngga suka dibawa kebut-kebutan. Motor Kang Oman kan paling jelek jadi ga mungkin ngebut." Jelas Neng Enok. "Kirain karena saya ganteng Neng" Dimana mana sudah lumrah kalau tukang ojeg sedikit genit. Disaat yang sama Oman ngerem mendadak karena ada seekor musang yang berlari menyebrang. Tak ayal lagi dua benda lembut kenyal menohok punggung Oman. Orang Sunda punya istilah untuk itu yaitu "sunyoto" singkatan dari s**u nyodok tonggong. Artinya s**u menyodok punggung. "Eh si Kang Oman genit." Neng Enok menggeser mundur duduknya lalu memindahkan backpack dari punggungnya ke d**a. Jalan kerikil di depan mulai menanjak bukit, Oman pindah ke gigi dua agar motornya kuat melahap tanjakan. Perpindahan ke gigi yang lebih rendah membuat motor Oman memelan tiba-tiba, membuat penumpang di belakangnya terdorong ke depan. Sesuatu menyodok punggung Oman, tapi kali ini kerasnya tas backpack yang terasa. "Ih si akang sengaja ya ?" Neng Enok tetap protes. "Berani sumpah Neng, ngga sengaja." Oman menepis tuduhan. Ia ngegas motornya pada gigi dua yang perlahan mulai nanjak menuju ke Kampung Pasir Lenyap melalui beberapa bukit dan hutan kecil. Di kejauhan atap-atap rumah yang terbuat dari ijuk mulai terlihat walaupun samar-samar karena kabut cukup tebal. "Hujan terus kang ?" Neng Enok kembali memulai obrolan saat bukit terakhir terlewati. "Yah biasa kan di Pasir Lenyap mah tiap hari hujan tanpa mengenal musim. Makanya disebut Pasir Lenyap juga karena sering hilang lenyap ditelan kabut." Oman tetap menjelaskan asal usul nama Pasir Lenyap padahal Neng Enok sebagai gadis kelahiran asli kampungnya sudah pasti tahu sejarah kampung Pasir Lenyap. "Salah atuh Kang, kalau dalam bahasa Sunda kan 'lenyap' itu artinya 'berdebar-debar', jadi artinya bukan 'menghilang'." Rupanya Neng Enok lebih paham. Maklum dia anak Tua Kampung yang paling dihormati. "Akang yang berdebar-debar mah, Neng." Oman tertawa mengekeh. "Kenapa emangnya ?"Neng Enok keheranan. "Iya, soalnya tiap bawa Neng Enok pasti akang dicemberutin sama istri." "Makanya, jadi tukang ojek jangan genit kang." Motor mulai memasuki kampung yang berselaput kabut. Oman sudah hafal kemana dia harus mengantar Neng Enok. Sebuah rumah yang paling besar tepat didepan Bale Gede tempat berkumpul para tetua untuk bermusyawarah. "Nuhun Kang." Neng Enok turun dari motornya lalu memberikan selembar uang 50rb. "Ngga ada uang kecil Neng ?" "Udah ambil aja semua kang, ga usah pake kembalian." "Nuhun atuh Neng. Semoga tambah banyak rejekinya." Oman girang mendapat 50rb dari penumpang pertamanya. Dia segera memacu motornya kembali ke pertigaan Warung Honje untuk mangkal kembali disana. Kampung Pasir Lenyap telah berselimut malam, tak usahlah diceritakan bagaimana kabut disana telah sedemikian pekat membawa udara dingin yang menusuk ke tulang. Suara jangkrik dan kodok bersahut-sahutan ditambah suara binatang malam di kejauhan. Pasti itu berasal dari hutan tutupan yang berada di Gunung Halimun. Euis berusaha menyalakan suluh yang sudah terpotong-potong seukuran lengannya didalam hawu. Ibu muda beranak satu usia 2 tahun itu tak memiliki kompor gas sehingga untuk memasak dia harus bersusah payah dulu menyalakan hawu. Di sampingnya sudah ada nasi sisa tadi siang untuk dibuat nasi goreng. Sembari menunggu kayu terbakar menjadi bara api panas, Euis mengiris bawang merah yang tadi sore diambilnya dari pekarangan. Rambut Euis yang hitam sepunggung dibentuk menjadi ikatan ekor kuda agar tak menghalanginya bekerja di dapur. Dingin sekali malam ini, legging hitam tipis yang dikenakannya tak mampu lagi memberinya kehangatan. Mungkin sudah harus mengenakan kain 'samping' untuk sedikit mengusirhawa dingin. Tapi Kang Oman seringkali memprotesnya kalau mengenakan kain. Katanya kaya nenek-nenek, padahal kain samping atau jarik kalau di jawa tengah memang termasuk pakaian yang lumrah dikenakan wanita disini. Entah itu nenek-nenek, ibu-ibu, bahkan remaja sekalipun. Euis masih memasak nasi goreng saat suara motor Oman terdengar datang dan parkir di samping rumah. Tanpa disadari, Euis membuka ikatan rambut ekor kudanya agar rambutnya yang hitam tebal tergerai indah. Oman tak langsung masuk ke rumah melainkan membersihkan diri ke kamar mandi yang berada di bagian belakang rumah mereka, terpisah tak terlalu jauh dari rumah panggung. Bersamaan dengan matangnya nasi goreng, Oman membuka pintu dan masuk kedalam rumah panggung berlantai papan itu. "Adang....." Oman memanggil anak mereka. "Udah bobo dari tadi, kang. Pulangnya malem amat." Euis membawa sepiring nasi goreng didalam baki lengkap dengan teh tawar yang masih panas mengepulkan uap tipis. Ditaruhnya baki berisi makan malam Oman di lantai papan bertikar plastik. "Wangi nasi gorengnya kecium dari jauh, Euis. Bikin akang tambah lapar." Oman langsung membuka jaket yang dikenakannya dan duduk di tikar. "Sok atuh kang dimakan dulu mumpung panas." Euis ikut duduk menemani Oman. Dengan sudut matanya Oman melirik Euis yang terlihat cantik. Dulu waktu gadis, Euis adalah primadona di Pasir Lenyap. Kulitnya kuning bersih tanpa cacat. Walaupun tidak putih tetapi kulit kuning Euis begitu bening sampai samar-samar terlihat urat-urat hijau di tangan. Sambil mengambil sepiring nasi goreng yang sudah disiapkan, Oman kembali melirik istrinya yang duduk emok membuat leggingnya yang ketat sedikit tertarik keatas memperlihatkan betisnya yang indah. Begitu juga pahanya yang ramping namun berisi masih dapat terlihat samar di balik legging hitam yang tipis itu. Kejantanan Oman sedikit menggeliat, tergugah oleh pemandangan indah yang disuguhkan istrinya yang cantik. Oman makan dengan lahap karena dari siang dia tidak makan apa-apa. Bahkan jajan di warung pun tidak, karena dia berusaha menghemat hasil narik ojegnya. Setelah makan dan minum teh, dia akan segera mengajak Euis ke tempat tidur. "Eh iya, ini hasil akang narik hari ini." Katanya sambil merogoh saku celana untuk mengeluarkan beberapa lembar uang yang lusuh. Euis menerima dan langsung menghitungnya. "Buat apa ini teh kang ?" Tanya Euis yang tentu saja membuat Oman heran. "Ya buat dapur atuh, emang buat apa lagi." "Buat beli token listrik sama minyak kayu putih mana ? Dari tadi siang listrik udah bunyi minta dikasih makan juga kang." Euis berbicara sambil merapikan uang yang diberikan Oman lalu dimasukkan di bawah kutangnya. "Belum lagi besok teh harus bayar arisan kang. Itu aja udah 50 ribu. Belum lagi beli sabun cuci yang udah habis. Masa nyuci baju ngga pakai sabun." Euis terus nyerocos mengeluhkan berbagai macam biaya yang harus dikeluarkan. Uang sebesar 135 ribu yang tadi didapatnya sudah pasti tak cukup untuk memenuhi kebutuhan Euis besok. Perlahan, birahi Oman yang sempat tergugah menjadi hilang karena cerocosan Euis tentang pengeluaran uang. "Iya tapi akang dapetnya cuman segitu, Euis. Mau gimana lagi ?" Jawabnya. Euis tak menjawab tetapi memasang wajah cemberut. Kalau seperti ini, Oman jadi sering berfikir untuk menerima tawaran kerja dari saudaranya di kota. Beberapa kali saudara Oman mengajaknya untuk kerja di proyek pembangunan jalan tol yang sedang giat dilaksanakan pemerintah. Kerjanya memang cukup berat tetapi katanya uangnya lumayan, belum lagi kalau banyak lemburan. Oman menyelesaikan suapan nasi goreng terakhirnya. Diseruputnya teh hangat yang mengalirkan kehangatannya ke tubuh Oman yang tadi kedinginan. "Apa akang harus ke kota, Euis ? Kan akang ditawarin ikut kerja di proyek." Oman mencoba-coba bertanya. Dulu Euis bilang jangan ke kota soalnya Adang masih bayi dan Euis tidak berani kalau ditinggal. "Kalau memang hasilnya lebih baik, kenapa nggak Kang." Kebutuhan akan uang akhirnya membuat Euis merelakan kalau sampai Oman harus berjauhan dengannya. "Ya udah, kalau gitu mah besok akang nelepon sodara akang. Mudah-mudahan lowongan kerjanya masih ada." Oman mengeluarkan sebatang rokok yang disimpan rapi di dompetnya, lalu menyalakannya. Asapnya mengepul ke udara, sebagian lagi ke arah Euis. "Buat beli roko mah ada, tapi buat yang lain mah meni susah." Euis protes. "Ih ini akang cuman beli satu batang." Oman meneruskan hisapan rokoknya. "Tapi kalau akang pergi, Euis mau nyurus si Asep nemenin disini ya kang." Pinta Euis penuh harap. Asep adalah adiknya yang belum lulus SMA. Sekarang Asep masih tinggal dengan Abah dan Emak di kampung lain. "Memangnya si Asep bakalan diijinin tinggal disini sama Abah ? kan tugas si Asep ngebantu abah di sawah." Sebetulnya Oman agak keberatan kalau Asep tinggal di rumahnya karena artinya beban keuangannya akan lebih berat. "Pasti boleh, lagian si Asep mah anaknya rajin kang." Sanggah Euis yang teringat oleh Asep yang ringan tangan. Anaknya sangat baik dan sopan, bahkan nilai-nilai di sekolahnya juga sangat bagus. "Si Asep teh terlalu rajin di sekolah kata si abah juga. Pulangnya sore tiap hari." Oman masih terus berusaha agar Asep tidak perlu sampai tinggal bersama Euis. "Iya kan dia teh rajin ikut Pramuka. Si Asep teh tergila-gila sama kegiatan alam." Euis malah memuji Asep. "Ya atuh terserah Euis aja kalau gitu mah." Akhirnya Oman mengalah dan membuat Euis senang. "Kang pinjem hape." Ujar Euis tiba-tiba. Tak biasanya Euis pinjem hape, biasanya kalau ada perlu juga Euis pake hape cinitnit jadul miliknya. "Buat apa Euis ?" Oman penasaran. "Mau nonton drakor.... kata ibu-ibu tetangga rame katanya." Euis malu-malu menjelaskan. "Ih kuota internet akang ngga akan cukup buat nonton film mah." Oman tak jadi memberikan hape android miliknya, takut kuotanya habis. "Ah, akang mah. Tipi ngga ada, radio rusak, hape ngga ada kuota. Euis teh perlu hiburan atuh kang." Euis cemberut, tetapi cemberutnya Euis malah membuat wajahnya makin lucu dan cantik. "Nanti kalau akang jadi kerja di kota, Euis mau dibeliin hape." Pintanya. "Iyaaaaa...." Jawab Oman terpaksa. Kalau tidak di-iya-kan maka pasti dia tak akan dapat jatah malam ini. "Euis..... yuk...." Ajak Oman memberi kode. Euis mengangguk, dan mereka bersamaan masuk ke kamar. Malam yang dingin, udara luar yang berkabut, gerimis tipis yang turun, semua tak terasa lagi oleh mereka berdua yang berbagi kehangatan di tempat tidur. Seorang remaja berbaju pramuka membuka pintu sebuah rumah panggung. Sebuah suara yang serak dan berat menyambutnya dengan "Wa'alaikum salam." padahal ia belum mengucap salam, ini berarti sebuah sindiran halus untuknya. Asep berdebar, dikiranya abah sudah pergi ke mesjid tetapi ternyata masih ada di rumah. Yang membuat dirinya deg-degan adalah bahwa abah tidak suka kalau dirinya pulang sekolah menjelang waktu magrib seperti ini. "Dari mana aja kamu ? Kalau masuk rumah itu biasakan mengucap salam." Abah langsung berceramah. "Kan ini hari jum'at bah, Asep pramuka dulu." Asep menjelaskan pada abah sambil menutup pintu rumah. "Pramuka itu cuman sampai jam tiga kata kamu, tapi sekarang jam berapa ? udah hampir magrib." Pertanyaan abah terasa seperti sebuah interogasi. "Asep bantuin dulu guru memeriksa kertas ulangan temen-temen bah." Dan memang iya, tadi sebelum pulang dari pramuka wali kelasnya meminta Asep ikut memeriksa hasil ulangan teman-temannya. Nilai-nilai Asep yang selalu bagus membuatnya sering dipercaya oleh wali kelasnya untuk membantu. "Kamu itu sekolah bayar, buat apa bantuin guru yang sudah dibayar sama abah ?" Ini ada benarnya juga, tapi Asep tetap menjawab. "Kan abah pernah pesan 'guru ratu wong atua karo wajib sinembah'." Begitu jawaban Asep. Abah memang sering sekali berpesan seperti itu yang artinya kita harus nurut pada guru, pemerintah, dan orang tua. Jawaban Asep tak disanggah oleh abah. "Jangan lupa sholat, Sep." Hanya itu kata-kata terakhirnya yang dijawab Asep dengan sebuah anggukan mengiyakan. Dia tak pernah lupa pesan terakhir ini dan selalu dilaksanakannya. Abah melangkah keluar rumah menuju ke mesjid, tetapi ketika lewat di depannya dia berpesan lagi. "Besok pagi kamu ke rumah Teh Euis, kamu tinggal disana nemenin Teh Euis untuk seterusnya." Asep menatap wajah abahnya yang lebih tinggi dari dirinya. Perintah abah membuat Asep keheranan, ada cerita apa sampai abah memintanya tinggal di Teh Euis ? Bukannya Abah tidak pernah mau kalau dirinya ke rumah Teh Euis berlama-lama ? Katanya takut merepotkan dan mengganggu Kang Oman. "Itu Kang Oman katanya mulai besok pergi merantau ke Jakarta nyari kerjaan, Sep." Kata Emak yang tiba-tiba muncul dari dapur. "Oooh gitu mak, terus sekolah Asep gimana ? kan jauh." Itu yang Asep fikirkan, jarak dari Kampung Pasir Lenyap tempat tinggal Teh Euis ke sekolahnya cukup jauh. "Kata Teh Euis, kamu boleh pakai motor Kang Oman buat pergi ke sekolah." Emak masuk lagi ke dapur. Oh ? Gitu ? Asep nyengir kegirangan. Dia sudah lama mendambakan punya motor seperti teman-temannya yang lain. Dia capek selama ini selalu nebeng ke si Atoy yang tiap hari membawa motor Satria merahnya. Biarlah motor itu punya Kang Oman, asal dia boleh pakai saja sudah cukup buatnya tanpa harus memiliki. Aduh kebayang nanti ke sekolah pakai motor sendiri. Fikiran Asep seterusnya melayang membayangkan dirinya bisa momotoran dan bergaya di depan anak-anak perempuan. "Sholat Sep, udah magrib." Suara emak yang lantang dari dapur membuyarkan lamunannya. ********** Dengan berbekal satu buah ransel yang biasa dia pakai ke sekolah dan dua kantong kresek Asep pergi untuk pindahan ke rumah Teh Euis dengan diantar si Atoy menggunakan motornya. Teh Euis menyambutnya di golodog alias teras rumah panggungnya sambil menggendong Adang. Asep dan Atoy segera turun menghampiri Teh Euis dan salim. "Assalamu'alaikum, Teh Euis kumaha damang ?" Atoy ikut salim. "Wa'alaikum salam barudak, sok masuk dulu teteh udah nyiapin singkong goreng." Jawab Teh Euis sambil melangkah mendahului masuk kedalam rumah. Asep dan Atoy melangkah di belakang Teh Euis. "Sep...." Atoy menyinggungkan sikutnya. "Apa ?" Asep melirik. Atoy tak menjawab melainkan memberikan kode jempol sambil bibirnya monyong menunjuk ke Teh Euis. "Apaaa ?" Asep bingung. "Teh Euis tambah cantik dan seksi pake daster pendek begitu." Bisik Atoy hati-hati takut terdengar Teh Euis. "Ah kamu mah piktor." Asep menghardik. "Ada apa sep ?" Teh Euis menghentikan langkahnya dan berbalik ke arah mereka. Tentu saja mereka berdua kaget. "Ngga apa-apa teh, itu si Asep bilang katanya nanti ke sekolah pakai motor." Si Atoy mendahului menjawab mengalihkan pembicaraan. "Oooh iya... sayang soalnya kalau motor Kang Oman ngga dipakai." Teh Euis melanjutkan berjalan masuk ke rumah. Mereka duduk ngariung bertiga di lantai papan berkarpet plastik. "Sok atuh dimakan dulu singkong gorengnya, Atoy." Kata Teh Euis. "Iya teh terima kasih ini enak banget singkongnya mulus-mulus ya." Atoy bicara ngelantur. Dia memang terkenal selalu berfikiran m***m gara-gara keseringan nonton perempuan joget-joget di sebuah aplikasi hape. "Tanah di sini soalnya gembur Toy, jadi singkongnya mulus-mulus." Jawab Teh Euis tak mengerti arah pembicaraan Atoy. "Iya ya.... putih juga dalemnya nih singkong kayanya enak kalau dicelup." Atoy ngelantur tambah parah. Asep melotot ke arah Atoy, tapi Atoy pura-pura tidak melihat. "Dicelup gimana ?" Teh Euis bingung. "Dicelup ke kopi teh.... kan seret kalau ngga ada kopinya." Atoy cengengesan, Asep merasa lega. "Aduh iya teteh lupa ngga bikinin kopi." Teh Euis menepuk jidatnya yang berhiaskan anak-anak rambut. Kecantikannya bertambah 20 persen akibat anak-anak rambut itu. Segera dilepasnya gendongan Adang dan diberdirikan. Adang langsung pindah duduk ke pangkuan Asep. Teh Euis bangkit dari duduk dengan menaikkan satu lututnya lebih dahulu. Atoy menghentikan kunyahan singkongnya karena di hadapannya tersuguh paha Teh Euis yang selama sedetik terpampang karena ujung dasternya terbuka oleh sebelah lututnya yang terangkat. Ingin sekali Atoy melihat jauh lebih kedalam, tetapi sayang di ujung sana hanya terlihat gelap. Tetapi pemandangan satu detik itu begitu menggetarkan hingga Atoy lupa mengunyah singkongnya lagi bahkan setelah Teh Euis masuk ke dapur. Asep menimpuk wajahnya dengan sepotong singkong. "Dasar anak m***m kamu mah." Desis Asep, takut terdengar Teh Euis juga. Atoy kembali mengunyah singkong sambil cengengesan. "Cepet pulang sana." Asep mengusirnya. "Eeh ntar dulu atuh, kopi nya belum selesai dibikin sama Teh Euis." Atoy bertahan, tapi Asep mendorong-dorong tubuhnya agar cepat pulang. "Ah kamu mah ngga friend banget Sep." Atoy kesal karena diusir. Dia menyelesaikan kunyahannya lalu berdiri dan berjalan keluar. "Besok ketemu di sekolah, Sep." Atoy pamitan sambil berjanji besok ketemu lagi di sekolah. "Iya." Jawab Asep singkat. Bersamaan dengan suara deru motor Asep saat melaju pulang, Teh Euis membawa dua cangkir kopi. "Kok si Atoy buru-buru balik ? ini kopinya buat siapa dong ?" "Nanti Asep yang habisin, Teh." "Iya sok atuh kamu aja yang habisin. Nanti kamu tidurnya di sudut situ aja ya Sep soalnya kamar di rumah teteh cuman ada satu." Teh Euis menunjuk ke salah satu sudut ruangan yang sudah ada kasur busa tipis. "Iya teh gak apa-apa." Yang penting ke sekolah bisa bawa motor, fikir Asep. "Baju kamu taro di lemari teteh aja di kamar." Teh Euis memberitahunya lagi. Di kamar Teh Euis ? "Ah disini aja ngga apa-apa Teh." Jawab Asep sambil manaruh tas berisi bajunya di sudut ruangan. "Eeeh dikasih tau teh ngelawan. Jangan disimpen disitu nanti kusut diacak-acak sama si Adang. Dia lagi seneng ngoprek segala macem barang dibongkar sekarang teh." Teh Euis memaksa. Akhirnya Asep mengeluarkan baju-bajunya dari tas dan masuk ke kamar Teh Euis. Dibukanya lemari pakaian lalu bingung dimana menaruh bajunya. "Itu yang di paling bawah aja Sep." Teh Euis memberi petunjuk lagi dari dapur. Asep jongkok agar bisa mudah menyimpan baju-bajunya di rak lemari paling bawah. "Tapi masih ada baju disini Teh." "Pindahin aja ke rak paling atas." Kata Teh Euis lagi. Asep kebingungan karena yang ada di rak paling bawah adalah pakaian berbentuk beha dan celana dalam berwarna-warni dengan aneka ragam bunga-bunga dan renda-renda. Malu sekali rasanya memegang pakaian dalam milik perempuan walaupun itu punya tetehnya. Asep menabahkan hati, dengan secepat kilat diambilnya tumpukan pakaian dalam itu lalu dipindahkan ke rak paling atas dengan cara setengah dilemparkan sampai berantakan. "Yang rapih !" Teriak Teh Euis di dapur. Yah.... telat, pikir Asep. bersambung

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Takdir Tak Bisa Dipilih

read
10.2K
bc

Pacar Pura-pura Bu Dokter

read
3.1K
bc

Kusangka Sopir, Rupanya CEO

read
35.7K
bc

(Bukan) Istri Simpanan

read
51.1K
bc

Jodohku Dosen Galak

read
31.0K
bc

Desahan Sang Biduan

read
53.9K
bc

Silakan Menikah Lagi, Mas!

read
13.4K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook