6. Utusan Pelakor

1696 Words
"Rumah depan itu beneran dijual, Pak Wig?" Sambil membuka kap mobil, Danesh mulai bertanya pada pekerja di tempat tinggalnya. Pasalnya sejak awal pindah ke lingkungan ini, ia melihat ada papan besar di depan rumah Sherin yang menyatakan bangunan tersebut tengah dijual. Pak Wigu yang sedang mengganti lampu taman langsung menoleh ke rumah tetangga yang menjadi perhatian majikan barunya. "Oh, rumahnya Mbak Sherin, iya, Mas. Kalau nggak salah sekalian dijual juga sama kebunnya yang di dekat bukit. Mas Danesh berminat? Nanti saya tanyakan Bik Nuning atau Anto dilepas harga berapa." "Cuma tanya aja karena lihat papan agen property di depan temboknya. Yang tadi itu, siapa? Nuning dan Anto?" lanjutnya Danesh dengan kening berkerut. “Oooh, itu, mereka asisten rumah tangganya Mbak Sherin, kalau Anto yang bantuin bersih-bersih kebun,” respon Pak Wigu membuat Danesh manggut-manggut. “Kebun apa, Pak?” Jarang-jarang Danesh merasa penasaran, namun entah kenapa jika berkaitan dengan tetangga depan rumahnya, mendadak saja ia ingin serba tahu. "Kebun cokelat, Mas. Luaaaas banget." Pak Wigu menjawab sambil merentangkan kedua tangan. Menggambarkan betapa luasnya kebun milik keluarga Sherin yang ia maksud. “Kenapa dijual? Bukannya itu bisnis yang menguntungkan ya di sini?” tanya Danesh saat menegakkan punggung, ketika melihat mobil sedan berwarna kuning mencolok baru keluar dari rumah Sherin. Pagar tinggi di depan garasi sengaja ia buka lebar-lebar, tak ayal Danesh bisa lebih leluasa melihat suasana kompleks tempat tinggalnya lebih jelas. "Ceritanya panjang, Mas. Hmmm … denger-denger dari Anto sih, karena Mbak Sherin dipaksa pindah ke Jakarta, ikut kakek dan adiknya. Tapi Mbak Sherin bersikukuh tinggal di sini, karena banyak kenangan sama orang tuanya, terutama mendiang ayahnya." Danesh mengangguk-anggukkan kepala saat melihat Pak Wigu bersiap melanjutkan cerita. “Sayangnya, rumahnya nggak laku-laku, Mas.” “Mungkin kemahalan, Pak.” Danesh menutup lagi kap mobil setelah memastikan mesin mobilnya yang tadi sempat mengeluaran asap, sekarang sudah kembalil normal. “Eh, bukan karena harganya, Mas,” sela Pak Wigu lalu mendekat sambil memelankan suara. “Rumah itu ya, meskipun bagus dan mewah, tapi serem.” Danesh mengernyitkan kening. Sedikit geli dengan sikap Pak Wigu yang ternyata banyak bicara, namun di sisi lain ia juga mulai tertarik menyimak cerita tentang keluarga Sherin. “Serem banyak hantunya?” tanya Danesh tergelak kecil. “Shhh… emang iya, Mas.” Pak Wigu makin memelankan suaranya sambil melirik kanan kiri. “Kan, ayahnya Mbak Sherin meninggal gantung diri di dalam rumah itu.” Deg! Danesh menoleh dengan ekspresi kaget. “Kasihan, Mas. Apalagi yang nemuin pertama kali ya Mbak Sherin itu, sehari setelah syukuran Mbak Sherin lulus SMA. Kejadiannya udah lama sih, tapi tetep aja diinget orang-orang sini, karena dulu gempar banget beritanya sampe masuk TV segala.” Danesh yang semula antusias menanggapi cerita penjaga rumahnya mendadak mengatupkan bibir rapat-rapat. Bukan karena takut cerita seram yang barusan disampaikan. Sebaliknya, hatinya justru mendadak ngilu dan sedih. Tak bisa membayangkan bagaimana terpukulnya Sherin remaja saat mengetahui orang yang begitu ia sayang pergi untuk selamanya dengan cara tidak wajar. “Apalagi desas-desusnya ….” Pak Wigu terus saja bercerita tanpa diminta. “Beliau memutuskan mengakhiri hidup karena perusahaannya bangkrut soalnya ditipu gitu. Belum lagi … ada gossip yang bilang istrinya kabur dan kawin lagi sama pesaing bisnisnya. Duuuh miris pokoknya.” Danesh memejam sejenak, informasi yang ia dengar dari Pak Wigu sudah terlampau banyak. Dan bukan cerita memilukan seperti itu yang ia harapkan. “Pak, tolong pindahin ini ke gudang ya?” Danesh menunjuk kotak berisi perlengkapan mesin di depannya. Sengaja memerintah Pak Wigu agar pembicaraan yang sudah keluar jalur itu terhenti seketika. “Oke siap, Mas.” Pak Wigu meringis lebar. Selesai mengganti lampu taman, pria paruh baya itu gegas membawa peralatan yang dimaksud Danesh. Usai memeriksa mesin mobil, Danesh sengaja memasukkan kendaraan tersebut ke garasi karena malam semakin larut. Lantaran tak mendapati Pak Wigu kembali, Danesh memutuskan menutup pagarnya seorang diri. Namun teriakan minta tolong dan suara barang pecah belah yang memekakkan telinga sontak membuatnya terkesiap waspada. Itu bukan halusinasi belaka, karena suara itu makin terdengar mengganggu begitu Danesh yakin salah satu yang ia dengar adalah … suara Sherin. *** "Astaga Sherin, kebiasaan lo ya, kalau lagi libur pasti molor kayak kebo!" Teguran dari Wita mengganggu tidur Sherin. Ucapan rekan sesama dokternya itu memang benar. Kegiatan Sherin setiap akhir pekan memang kebanyakan mengurung diri di kamar jika tidak ada panggilan darurat dari rumah sakit atau sedang tidak ada jadwal kencan dengan Barra. Ah... Barra lagi!! Sherin mendadak manyun kesal setiap kali mengingat pria yang pengkhianatannya belum berhasil ia balas itu. "Gue beneran ngantuk, Wit. Tadi siang ada operasi darurat, pasien kecelakaan dan pendarahan." Sherin bangkit dari tidurnya sambil mengucek sebelah mata. "Astaga, terus gimana? selamat dua-duanya?" Wita melepas kacamata lantas berjalan memutar untuk duduk di tepian tempat tidur. Sherin mengangguk, sesekali masih menguap. "Syukurlah keduanya selamat, bayinya memang lahir lebih cepat, langsung masuk NICU. Ibunya juga sudah melewati masa kritis." "Itu ... oleh-oleh buat gue kan?" Sherin menunjuk paper bag besar di ujung meja rias yang tadi dibawakan sahabatnya. Mendadak saja matanya berbinar mengamati bingkisan tersebut. "Iya, itu semua skincare pesenan lo udah gue beliin, ada cokelat favorit lo juga. Udah gue bagi sama rata sama buat Lila." Wita baru saja pulang dari libur bulan madunya bersama sang suami berkeliling Eropa. Sebagai sahabat terdekat tentu saja ia tak lupa membawakan buah tangan untuk Sherin dan Lila. "Udah ketemu Lila?" Wita mengangguk. "Sebelum ke sini gue mampir ke tempatnya. Gila ya... rame banget restonya kalau malam minggu gini. Pantesan Lila cepet kaya." Sherin memutar bola matanya. "Lila kerja keras jauh-jauh hari sebelum kuliah, wajar kalau dia metik hasilnya sekarang." "Eh, iya juga sih." Wita meringis lebar saat merebahkan dirinya di sebelah Sherin. "Eh mau apa lo? pulang sono, dicariin Mas Erik. Ya kali penganten baru main ditinggal aja." "Mas Erik udah gue drop di UGD, jaga malam dia, makanya gue ke sini. Lagian semalam udah gue kasih jatah double dahsyat." Suami Wita juga rekan sesama dokter di Median Hospital, keduanya terlibat cinta lokasi dan memutuskan menikah setelah dua tahun menjalani kedekatan. Sherin hanya tak habis pikir dengan Wita yang selalu sesantai ini saat membicarakan hal yang menjurus ke aktifitas ranjang sepasang suami istri. Bahkan sebelum menikah pun dia terlihat sudah sangat pro dalam hal tersebut. Atau jangan-jangan... "By the way, gue mau dengerin lo cerita lebih detail tentang si Barra bangsat." Kalimat Wita mengalihkan lamunan Sherin sesaat. "Hey, mulut—" Wita mengangkat telunjuk di depan wajah Sherin. "Nggak usah sok belain dia ya, gue udah baca segala curhat lo di grup chat kita. Tapi gue tetep pengen denger langsung dari lo sebagai korban yang mengalami pengkhianatan secara blak-blakan." Sherin berdecak lantas mengusap wajah ngantuknya berkali-kali. Dua sahabatnya ini, Lila dan Wita memang selalu menjadi pendengar setia untuk hal apapun. Termasuk soal asmaranya yang sedang gonjang-ganjing akibat masuknya seorang pelakor. “Gue ngantuk, Wit—” “Cuci muka sana, atau mandi sekalian.” Wita mengibaskan satu tangannya. Sherin memutar bola mata ke atas. Ia sudah mandi begitu sampai di rumah sore tadi. Meski malas akhirnya ia beranjak juga dari tempat tidur untuk sekedar cuci muka demi mengusir kantuk. Begitu keluar kamar mandi, mau tak mau ia menceritakan lagi tentang perselingkuhan kekasihnya dengan Belinda. “Bego lo kalau masih mau terima lamaran Barra,” cecar Wita dengan nada sebal. “Cincinnya nggak gue pake kok, lagian waktu itu gue terima gara-gara dia bahas soal opa. Lo tahu sendiri gue paling lemah kalau tentang opa,” sahut Sherin menunjukkan jemarinya yang polos. “Tapi tetep aja kan lo terima?” “Mau gue balikin.” “Kapan?” “Nanti gue putusin, kalau udah punya cara buat balas Barra.” Wita berdecak kesal. “Diih, kelamaan … bales selingkuh juga dong. Cari cowok yang lebih ganteng, lebih tajir, pokoknya lebih segala-galanya dari si Barra,” serunya mengeluarkan ide gila. “Lo kira gampang apa cari cowok modelan kek gitu!! Lagian mana mau mereka gue deketin cuma buat alat balas dendam ke calon mantan.” Sherin memijat pelipisnya yang mendadak berdenyut. Mengingat kelakuan Barra memang kemungkinan besar akan memantik emosi siapa saja. Tak terkecuali dirinya atau Wita. Sherin baru bisa bernapas lega ketika sahabatnya itu berpamitan pulang pukul sembilan malam, nyaris dua jam setelah keduanya berbagi banyak cerita. “Bik minta tolong sekalian tutupin pagar ya?” pinta Sherin begitu sedan kuning Wita menghilang di depan pagar dan ia berpapasan dengan Bik Nuning yang membawa plastik hitam besar berisi sampah. “Siap, Non Cantik,” jawabnya meringis lebar sambil mengangkat tangan memasang pose hormat. Khas sekali dengan kepribadian Bik Nuning yang jenaka. Namun belum juga satu menit berselang dan Bik Nuning belum sempat menutup pagar, tiang-tiang besi itu terdobrak hingga lepas dari relnya. Bik Nuning berteriak dan jatuh terduduk sambil memegangi d**a ketika tiga pria asing menyerbu masuk lantas berpencar ke segala arah. Sherin mematung di tempat, ia pikir hidupnya pasti tamat karena segerombolan preman atau perampok menyambangi rumahnya. Pria-pria tak dikenal itu mendorong tubuh Sherin masuk hingga ruang tengah, lalu sebagian lainnya mengobrak-abrik dan menghancurkan semua barang dengan tongkat kayu. Sherin menjerit kencang, dan samar-samar ia juga mendengar teriakan Bik Mirjah dari di luar sana yang bersamaan dengan suara barang berjatuhan. “Jadi elo yang namanya Sherin Ade?” Sherin gemetar ketika seorang pria dengan tato kecil di lengan sudah menarik kerah piyamanya. “Kalian mau apa? ambil aja barang-barang berharga yang lo mau, tapi jangan sakiti siapapun!” Sherin menatap nyalang sambil menahan ketakutan. Preman itu mengeluarkan tawa sebelum mendekatkan wajah ke arah Sherin dengan kekehan meremehkan. "Sombongnya tuan putri," mata itu memandangi Sherin dari kepala hingga kaki. "Ternyata punya nyali juga lo?" Tangan preman tersebut menampar wajah Sherin dengan keras sampai tubuh ramping Sherin terbanting. Kepalanya pening bukan main, pipinya terasa kebas. Belum selesai rasa sakit itu menjalar, rambutnya tiba-tiba dijambak dan tubuhnya terangkat ke atas. Laki-laki kasar itu menatapnya nyalang. "Elo pikir elo sehebat itu ya, sampai berani-beraninya ganggu Belinda gue?" Belinda? Sherin mengerjap bingung, nyaris tak percaya preman-preman ini adalah utusan pelakor Belinda. Lalu satu pukulan kembali mendarat ke wajahnya, tepat di sebelah mata. Tubuhnya kembali terbanting ke lantai, kemudian rambutnya kembali dijambak kuat. Ketika Sherin diseret paksa, mendadak saja preman itu menghentikan langkah saat mendengar bentakan keras dari pria lain yang bukan kelompoknya. “HENTIKAN!! b******n kalian semua!!!” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD