7. Bukan Pahlawan Kesiangan

1839 Words
Danesh tak bermaksud menjadi pahlawan kesiangan. Namun hal ini sudah keterlaluan dan tak bisa dibiarkan. Di depan tadi ia melihat Bik Nuning menangis sambil berteriak-berteriak meminta tolong. Begitu Danesh menghajar pria lembek berkulit putih yang mendorong tubuh tua Bik Nuning, ia lantas membantu perempuan paruh baya itu bangkit dan menenangkan diri. “Tolongin Non Sherin, Mas, tolongin, dia … mereka tadi dorong-dorong Non Sherin,” isak Bik Nuning panik. Sambil menekan pipinya yang kemerahan karena terbentur tembok, perempuan paruh baya itu mencoba tenang. “Iya, iya… Bibik tenang dulu. Kalau kuat jalan tolong panggil security kompleks atau polisi sekalian,” pesan Danesh sebelum melesat ke dalam rumah. Mengikuti asal suara Sherin yang berteriak kesakitan. Kedua mata Danesh terbeliak begitu sampai di pintu utama. Terkejut saat dari kejauhan ia melihat tubuh Sherin meringkuk di lantai lalu dengan kasarnya dijambak dan diseret ke arah tangga. “HENTIKAN!! b******n kalian semua!!!” maki Danesh membuat preman yang sedang menjambak Sherin, juga seorang lagi yang sedang menghancurkan barang-barang dengan tongkat menoleh seketika. Darah Danesh mendidih, nuraninya tentu saja tak terima dengan segala bentuk kekerasan, terutama yang dilakukan laki-laki pada seorang wanita lemah tak berdaya seperti yang terjadi di depan mata. Dengan langkah gegas, pria itu berlari, mengambil kuda-kuda begitu mendekat dan melompat tinggi sambil meluruskan kaki. Menendang tubuh pria yang sepertinya menjadi tokoh utama dalam kekacauan malam ini. Helga, pria bertato yang terkejut dengan kedatangan Danesh belum siap ketika pria asing tersebut berlari mendekat lantas sekonyong-konyong menendangnya sekuat tenaga. Menghempaskan tubuhnya hingga terbanting di lantai. “Kalau mau jadi b******n, cari lawan yang sepadan, Bro!” geram Danesh begitu berhasil merobohkan Helga. Begitu Sherin lepas dari tarikan pria itu, ia gegas merangkak mundur untuk bersembunyi. Menormalkan deru jantung dan meraup napas sebanyak-banyaknya. Mengingat masih ada satu orang lagi pengikut Helga yang menghancurkan rumahnya. “Nggak usah ikut campur lo b*****t, pahlawan kesiangan!” Helga yang tubuhnya lebih besar dengan mudah bangkit lagi lantas menodongkan belati ke arah Danesh. Danesh sempat terkesiap, lalu mundur beberapa langkah. Bergerak gegabah akan merugikan dirinya sendiri karena melawan orang bersenjata dengan tangan kosong. “Cuma banci pengecut yang nyerang orang tua dan perempuan nggak berdaya,” balas Danesh masih mengawasi preman dadakan itu penuh waspada. Tak gentar meski ujung runcing belati Helga berkilauan menyapu mata. “Bacot!!” Helga yang kalap menerjang dengan belatinya. Danesh yang masa remajanya sempat belajar bela diri sigap menghindar. Meski bisa menangkis terjangan tubuh kekar Helga, rupanya benda tajam yang dipegang pria itu berhasil meninggalkan goresan panjang di dagu Danesh. Mengabaikan sengatan nyeri yang mulai menjalar di sekitar wajah, Danesh berhasil mencekal lengan kanan Helga. Memukulinya berkali-kali hingga belati itu terlepas dari genggaman Helga. Helga yang diserang bertubi-tubi terjengkang hingga menubruk meja makan panjang. Danesh sengaja menghimpit tubuh pria itu pada pinggiran meja, ditekannya wajah preman itu keras-keras. Dengan satu tangan yang lain, ia mengambil garpu besar dan mengacungkannya tepat di depan wajah Helga hingga pria itu terbelalak panik. “Boss!” panggilan dari anak buah Helga tak mengusik fokus Danesh untuk menghabisi pria yang dianggap gerombolan perampok ini. “Awasss!!” justru lengkingan suara Sherin membuat Danesh kehilangan konsentrasi hingga pukulan keras dari tongkat kayu mendarat di punggungnya berkali-kali. Tubuh Danesh terbanting kencang menimpa lantai diiringi terikan Sherin. Perempuan itu merangkak susah payah mendekati Danesh yang menggeliat kesakitan. “b******n tengik!!” umpat anak buah Helga lantas membantu boss-nya bangkit sambil memapahnya menjauh. “Kita lanjutkan lain kali, Boss. Banyak orang dateng di luar,” lirih pemuda dengan tongkat kayu itu sedikit panik. “Bono kayaknya ketangkep, kita lewat pintu belakang aja.” Telinga Danesh memang mendengar beberapa orang yang masuk dari gerbang depan. Sepertinya Bik Nuning berhasil meminta pertolongan. Jadi yang bisa ia lakukan adalah menahan kaki Helga yang hendak kabur. “Jangan coba-coba kabur kalian!!!” “Lepasin bangs—” geram Helga mencoba menendangi Danesh. “Stop it, stop! jangan sakiti siapa pun!” pinta Sherin tiba-tiba memeluk tubuh Danesh dan membiarkan Helga beserta komplotannya kabur melewati pintu geser di dekat dapur. “Tapi perampok it—” Danesh kehilangan kata-kata saat Sherin menggeleng cepat dan mulai terisak pelan di pundaknya. “Please…” lirih Sherin terdengar putus asa. Tak tahu saja Danesh kalau tetangganya itu sedang menghalau ingatan masa lalu di mana ia nyaris mati kaku saat mendapati ayahnya meregang nyawa di ruang tengah rumahnya. Tepat di mana ia berada saat ini. “Ya Allah, Non Sherin…!!” Sherin mengurai pelukannya dan cepat-cepat menghapus air mata saat Bik Nuning tergopoh-gopoh mendekat. Danesh yang masih mematung di tempat juga gegas menormalkan lagi wajahnya yang sempat pias karena tindakan spontan Sherin barusan. “Astaga Non, sampe babak belur gini,” ujar Bik Nuning hampir menangis melihat kondisi majikannya. “Ini sampe berdarah juga bibir sama hidungnya.” Tumpah sudah air mata perempuan paruh baya yang melayani Sherin sejak bayi merah itu. “Bik, jangan lebay, aku nggak separah itu. Cuma butuh betadin sam—” “Bik, kunci mobilnya mana? saya antar Sherin ke rumah sakit,” potong Danesh langsung bangkit berdiri sambil menarik telapak tangan Sherin. “Aku ngga—” “Mana, Bik?” Danesh memilih mengabaikan Sherin. Benar kata Bik Nuning, melihat wajah Sherin yang lebam di sana sini, mimisan, juga robekan kecil di sudut bibir, keadaan perempuan itu tak bisa dibilang baik-baik saja. Bik Nuning dengan cekatan mengambil kunci mobil milik Sherin di atas lemari. “Ini, Mas. Titip Non saya ya…” “Ayo Bibi, ikut juga,” ajak Danesh setelah menerima kunci mobil Sherin. “Saya di sini aja, bentar lagi Anto datang. Mau beresin kekacauan ini juga, Mas. Preman lembek yang di depan juga udah dibawa Pak Satpam, jadi lebih baik saya di sini sebagai saksi. Ada Pak Wigu sama tetangga sebelah juga tadi, yang penting Non Sherin dulu.” “Tapi itu…” Danesh menunjuk pipi Bik Nuning yang kemerahan. “Gampang, Mas, dikasih kompres sama trompbopop juga beres.” Bik Nuning meringis lebar seraya mendorong lengan Danesh. Memberinya isyarat agar segera membawa majikannya ke rumah sakit. Danesh tak mendebat lagi, ia mengambil langkah cepat untuk membawa Sherin ke rumah sakit. Meski harus sedikit memaksa, gadis berambut panjang itu akhirnya tak punya pilihan lain. Apalagi kondisi tubuhnya kehilangan tenaga juga terasa nyeri di mana-mana. “Kita ke klinik depan,” ujar Danesh ketika ia dan Sherin sudah berada di dalam mobil. Sesekali pria itu menoleh pada Sherin yang meringis setiap kali menyentuh wajah atau bagian tubuhnya yang terluka. “Minta tolong ke Median Hospital aja bisa? tahu kan jalannya?” balas Sherin balik bertanya sambil mencari ponselnya yang lain yang biasa ia tinggal di mobil. Danesh mengerutkan kening sesaat, tentu saja Danesh tahu letak rumah sakit tersebut. Hampir setiap hari ia ke sana untuk memantau proyek pembangunan gedung baru yang ada di belakang bangunan utama. “Tapi jaraknya lebih jauh, lukamu—” “Please…” Sherin menyela lagi. “Selain aku, kamu juga punya luka yang perlu penanganan medis by the way,” sambungnya menunjuk dagu Danesh yang mulai mengeluarkan sedikit darah. “Ini hanya luka kecil.” Danesh berbelok di tikungan yang mengarah ke Median Hospital. “Aku punya banyak kenalan di Median yang aku percaya dan mereka sangat kompeten,” ujar Sherin tanpa menoleh karena kini ia sibuk menggulir ponsel untuk menghubungi seseorang. Danesh menurut dan mengemudi hingga lima belas menit setelahnya mereka sampai di halaman rumah sakit Median. “Tolong parkir di sebelah timur UGD aja bisa? di bangunan baru itu,” tunjuk Sherin mengarahkan. Danesh kembali keheranan dengan segala titah Sherin yang mulai terlihat tenang menutupi segala sakit yang ia rasakan. “Di sini?” Danesh menoleh ke kanan kiri karena area ini terbilang sepi karena masih baru dan dikhususkan untuk para dokter. “Hallo … Mas Erik, lagi handle pasien nggak?” Danesh mengernyit ketika mendapati Sherin menelpon. “Bisa minta minta tolong ke ruang isolasi yang baru nggak, Mas? aku butuh perawatan darurat, hmm … sama temenku juga. Hmmm… jangan bilang ke yang lain ya, aku nggak mau ada yang ngadu Pak Dharma lalu beritanya sampai ke opa. Oke-oke, thank you, Mas.” Selesai menutup telpon, Sherin melepas sabuk pengaman. “Ayo turun,” ajaknya ketika melihat Danesh masih menatapnya. “Oke,” singkat Danesh lantas mengikuti langkah Sherin yang sedikit tertatih menyurusi lorong. Danesh berhenti sejenak di depan ruangan lain untuk membaca tulisan yang tertera di papan. ‘dr. Sherinta Ade. W. Sp.OG. (Dokter spesialis kandungan)’ “Jadi kamu…” “Iya, aku kerja di sini, makanya tadi ngotot banget ke sini.” Sherin mengernyit kesakitan saat mempersilakan Danesh masuk. “Astaga Sheriiiin, lo habis berantem sama siapa sih malem-malem gini?” suara pria yang langsung masuk membuat perhatian keduanya teralihkan. “Ceritanya panjang, Mas. Minta tolong tangani dia dulu bisa? hmmm … tolong cek juga punggungnya.” Sherin masih ingat bagaimana salah satu preman tadi memukuli punggung Danesh dengan tongkat kayu. Beruntung Danesh masih kuat berdiri tegak hingga membawanya ke rumah sakit seperti ini. “Tapi lukamu lebih parah.” Danesh mencoba mengelak. Sherin menggeleng pelan. “Kamu duluan, setidaknya aku bisa bersihkan sendiri luka ini sambil nunggu,” ujarnya lantas mengambil alkohol dan peralatan lain yang tadi dibawa Erik. “Bukannya tadi Wita dari tempat lo ya?” tanya Erik sambil mengobati luka di dagu Danesh. “Kejadiannya pas Wita udah balik. Ada gerombolan preman nyasar gitu.” Sherin menyahut sambil mengamati wajahnya di depan cermin. “Perampok, Dok.” Danesh ikut menimpali. “Bukan!” sela Sherin membuat Danesh dan Erik menoleh bersamaan. “Hah!!” Sherin mendebas napas keras. “Pokoknya mereka bukan perampok,” serunya lantas membuang pandangan. Ketiganya disekap keheningan selama beberapa saat, begitu Erik selesai merawat luka Danesh dan Sherin, barulah ia berbisik pelan meminta penjelasan sahabatnya. “Wita bilang, hubungan lo sama Barra lagi nggak baik. Jangan bilang kalau kejadian ini ada hubungannya dengan itu?” tanya Erik setelah menebak-nebak beberapa waktu. Erik memang tak tahu menahu secara detail tentang hubungan Sherin dan Barra. Ia hanya mendengar sekilas dari curhatan Wita, istrinya. “Kurang lebih begitu, tapi akan aku bereskan sendiri. Mas Erik nggak usah ikutan khawatir, aku nggak mau gangguin pengantin baru macam kalian.” Sherin masih sempat terkekeh menanggapi kalimat Erik. Tapi memang benar adanya, ia tak ingin melibatkan pasangan suami istri itu terlalu jauh. “Itulah gunanya sahabat, Sher. Lo bisa manfaatin kami selagi jauh dari keluarga gini.” Erik pundak Sherin pelan. Sherin tersenyum tipis. “Iya, tapi nanti, Mas. Sekarang aku atasi sendiri dulu. Kalau butuh bantuan pasti kalian aku jadikan tumbal,” candanya membuat Erik memutar bola mata. Erik menggeleng tak habis pikir. “Jangan-jangan, lo ketahuan selingkuh sama ‘temen’ baru lo itu ya?” Erik melirik ke arah Danesh yang tengah menggulir ponsel membelakangi mereka. “Makanya kalian digebukin sama suruhan Barra?” “Heh, sialan, jangan ngaco ya, Mas!” pekik Sherin meringis karena lebam di wajahnya terasa nyeri ketika ia berteriak. “Yang ada tuh malah Barra selingkuh sama temen sekantornya, dan preman tadi … suruhan cewek itu!!!” sambung Sherin berapi-api. Membuat Erik dan Danesh sama-sama mematung di tempatnya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD