BAB 1

1215 Words
HUJAN turun dari langit. Membasahi tanah, membuat kaca jendela wanita itu lembab. Ia terduduk di atas ranjangnya, menatap rak buku besar di kamarnya yang luas. Sebuah ruangan yang didominasi warna pastel. Terdapat kamar tidur, ruang baca, dan kamar mandi tersendiri. Selain itu, balkon yang terterpa cahaya matahari setiap pagi juga ada, tempat favoritnya. Aria Iwataki Mohika baru saja merampungkan satu novel tebal terjemahan. Sebuah novel klasik yang penulisnya berasal dari Inggris. Walau terkesan akan alur ceritanya, tetapi Jane Austen tetap tak tergantikan baginya.  Pintu kamarnya terbuka. Secara reflek ia menoleh dan mendapati Nadi sahabatnya datang berkunjung. Dengan rambut diikat acak, kemeja putih longgar yang dimasukkan ke dalam jeans hitamnya serta tas ransel bermotif polkadot, wanita itu tersenyum semringah lalu kemudian berubah cemberut mendapati Aria kembali menenggelamkan dirinya ke dalam selimut. ‘’Aria, bukankah kemarin kau sudah janji?’’  Nadi menarik paksa tangan Aria dan mengeluarkannya dari persembunyian favoritnya. Ah, favorit keduanya. Selimut. ‘’Sekarang mandilah dan akan kupilihkan pakaian yang layak kali ini,’’ katanya mendorong Aria ke dalam kamar mandi.  Aria menahan ketika berada di pintu kamar mandi dengan merentangkan tangannya. ‘’Ti-tidak… biar aku saja yang pilih nanti,’’ protesnya tak setuju dengan ide Nadi. Nadi mendengus. ‘’Apa kali ini kau akan memakai kaus oblong biasa ke toko Christian Louboutin ?’’ tanyanya dengan mata disipitkan. ‘’Aku akan memakai kemeja kontemporer,’’ kata Aria melipat tangan di d**a. Nadi tertawa lalu mendorong kembali Aria ke dalam kamar mandi dan langsung menguncinya dari luar. ‘’Jangan khawatir, kau tak akan kecewa dengan pilihaku,’’ teriaknya. Bisa dikatakan bahwa kamar mandi cukup kedap suara. Nadi masih ingat saat mengajak Aria keluar jalan seminggu yang lalu. Dengan santai Aria memakai kaos oblong hitam dengan cetakan tebal putih bertuliskan I Don’t Like Party yang dipadu-padankan dengan celana jeans pendek, satu jengkal di atas lutut. Padahal hari itu Nadi mengajaknya ke pesta ulang tahun teman SMP-nya yang bertema vampire. Betapa malunya ia hari itu. Aria mengaplikasikan lipgloss di bibirnya. Kaca spion mobil sport milik Nadi sangat membantunya dalam polesan terakhirnya. Mobil itu masih bergolong baru, karena baru dibeli sebulan lalu. Nadi tak henti-hentinya mengoceh bagaimana perjuangannya membujuk Handoko, ayahnya untuk membelikan kendaraan mahal itu. Syaratnya yah, mendapat IP di atas angka tiga pada semester pertama kuliah magisternya, jurusan ekonomi dan bisnis di salah satu PTS bergengsi di Indonesia. Handoko bisa saja mengirim Nadi atau nama lengkapnya Irnadi Lazura Hanaki untuk melanjutkan S2 di perguruan tinggi yang ada di luar negeri jika mau. Tetapi mengingat Nadi adalah anak tunggal maka pasti sulit rasanya berpisah dengan jarak yang jauh. ‘’Kali ini apa?’’ tanya Aria to the point. Ia tahu pasti jika Nadi ke rumahnya maka raganya harus rela meninggalkan rumahnya, meskipun jiwanya seolah-olah tetap setia berada di sana. Nadi tak menjawab, tetapi malah menancap gas menyebabkan Aria memperat sabuk pengaman dan melototkan matanya menatap ke depan. ‘’Apa kau sudah gila? Injak rem!’’ Nadi menurutinya. Ia lalu berhenti di salah satu toko tas dan sepatu. ‘’Aku tadi hanya menguji apakah ini benar-benar mobil yang cepat, ayo kita berbelanja!’’ ajaknya dengan nada ceria lalu keluar dari mobil. Dengan setia Aria mengikuti di belakang. Hari ini ia tidak memiliki minat sedikit pun untuk berbelanja, walau kartu kredit siap digunakan bahkan mungkin untuk membeli seluruh isi toko. Mereka sampai disalah satu toko merek terkenal. Tidak terlalu ramai, hanya beberapa kalangan wanita sosialita tampak berkunjung juga dengan gaya hedonis masing-masing. ‘’Bagaimana menurutmu?’’ tanya Nadi memperlihatkan sebuah sepatu berwarna peach kepada Aria. Aria menaikkan satu alisnya. ‘’Bagus, tapi itu bukan tipeku.’’ Ia melangkah menuju bagian sepatu lainnya mengamati satu per satu sambil sesekali mengecek dan mencobanya. Hanya sabatas itu. ‘’Hari ini peluncuran pertamanya di Indonesia, aku membacanya di website resmi dan… ini limited edition,’’ ucap Nadi masih memegang sepatu situ dengan penuh tatapan kasih-sayang. ‘’Okay, belilah.’’ Jika sudah mengatakan hal itu maka Nadi akan langsung menyerahkan barang yang akan dibelinya ke kasir. Pendapat Aria cukup berpengaruh akan keputusan berbelanjanya. Jika berkata terserah, maka ia akan berpikir ulang sambil mengamati sekali lagi barang yang akan dibeli sebelum memutuskan. Entah mengapa Aria selalu punya selera yang bagus, padahal ia sadar bahwa sahabatnya itu jarang membaca majalah fashion dan bukan tipekal orang yang suka berbelanja. Setahu dia. Rencana setelah membeli tas, Nadi akan mengajak Aria makan siang di sebuah restoran Itali yang baru buka milik pamannya. Namun, Aria malah melangkahkan kaki ke sebuah toko furniture yang berada di depan toko yang tadi ia masuki bersama Nadi. Begitu masuk ia langsung terpana, jangan harap toko itu seperti toko furniture pada umumnya yang menampilkan kesan klasik dan elegan. Semua perabotan yang dijual di sana berwarna lembut dengan model yang lucu-lucu. Dan Aria jatuh hati pada sebuah rak buku mini yang menurutnya 'unyu banget'. Cocok diletakkan di atas meja yang berada di ruang bacanya. Dengan langkah cepat Aria langsung menghampiri karyawan toko untuk dimintanya membungkus rak buku itu. Tetapi ketika ia kembali seorang pria telah memegang rak buku itu dan berbicara dengan karyawan lain, seperti memiliki maksud yang sama dengannya. Membeli rak itu. ‘’Maaf, tapi saya telah membelinya,’’ ucap Aria sesopan mungkin. Pria itu menoleh lalu berkata, ‘’Apa? Tapi barang ini masih ada di sini, artinya belum terjual.’’ ‘’Benar, saya meninggalkannya karena ingin minta karwayan toko ini untuk membungkusnya. Jadi otomatis itu milik saya,’’ kata Aria dengan penuh penekanan setiap kata bahkan menunjuk barang yang dimaksud. ‘’Itu salah Nona tidak membawanya bersama anda. Membuat orang lain salah tafsir dan berpikir masih belum terjual,’’ balas pria itu tenang. ‘’Itu cukup berat karena terbuat dari kayu dan aku seorang wani—‘’ ‘’Dalam hal seperti ini, kurasa gender tidak ada hubungannya.’’ ‘’Benarkah? Kalau begitu paling tidak kau punya rasa menghormati, jika Kakak perempuan atau Ibumu menginginkan hal sama. Bagaimana menurutmu?’’ ‘’Maaf, Tuan dan Nona. Tetapi kami masih punya tiga stok barang yang sama,’’ sela karyawan toko melerai pertengkaran antara Aria dan pria itu. Keduanya diam dan saling membuang pandangan. ‘’Tapi hanya tinggal warna peach ini, yang lain berwarna merah dan biru,’’ tambah karyawan setelah karyawan lain mengambil dua buah rak buku dengan model yang sama namun warna berbeda. ‘’Aku mau yang dipajang.’’ Setelah mengatakan hal itu Aria langsung menyerahkan kartu kreditnya kepada kasir membuat pria itu tak sempat memprotes bahkan berkata-kata. Aria tersenyum penuh kemenangan. Diliriknya rak buku yang telah dibelinya, berada di kursi belakang mobil Nadi. ‘’Tadi kau kemana saja?’’ tanya Aria baru sadar bahwa Nadi tidak masuk ke toko tempat ia berbelanja tadi. ‘’Oh itu… tadi waktu akan masuk ke sana, kakiku malah berjalan ke toko aksesoris di sampingnya,’’ jawab Nadi melirik Aria sekilas. ‘’Ada yang terjadi?’’ tanyanya mengerutkan dahi. ‘’Tidak ada apa-apa. Ayo kita makan siang yang enak hari ini, suasana hatiku sedang baik,’’ balas Aria tersenyum lagi. Oh iya, sepertinya ia merasa tidak asing dengan wajah pria itu. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD