3. Now or Never

1263 Words
Semalam aku mendapatkan undangan di dalam mail boxku. Undangan sialan berwarna ungu yang sedetik kemudian kulempar ke tempat sampah. Berani-beraninya Evan mengirimiku undangan setelah apa yang dia lakukan padaku! Hebat sekali cecunguk itu, lima tahun aku bekerja ekstra keras untuk menata hidupku yang dia hancurkan dan laki-laki b******k itu muncul lagi di hadapanku hanya untuk mengundangku ke acara pertunangannya. Sakit hatiku bukan lagi karena aku masih mencintai pria d***u itu, tetapi lebih kepada sakit hati karena setelah lima tahun berlalu, setelah segala sakit hati dan kesulitan yang aku lalui karenanya dia justru menjalani hidupnya yang sempurna dengan pekerjaan bagus dan calon istri idaman. Sedangkan aku di sini melajang dan bahkan masih perawan. Evan bekerja di sebuah perusahaan multinasional yang memproduksi produk perawatan tubuh dan pembersih. Semua produk sabun, shampo hingga detergen dan pelembut pakaian perusahaan Evan bekerja sudah didistribusikan nyaris ke seluruh dunia. Setauku Evan bekerja di kantor cabang perusahaan itu yang ada di Sydney. Evan sendiri memang orang Australia yang bermukim di Amerika sejak ia lahir. Setelah diterima bekerja di kampung halamannya dengan posisi yang cukup bagus, Evan memutuskan hubungan kami dengan alasan tidak sanggup LDR—lagi. Aku sudah berencana mencari pekerjaan di perusahaan yang sama dengannya dan mengurus kepindahanku ke Sydney saat laki-laki itu mengaku kalau dia sudah tidak mencintaiku dan pacaran dengan rekan kantornya yang pada akhirnya aku tahu adalah seorang kepala cabang di sana. Aku tidak kaget saat melihat Evan mengadakan pesta pertunangannya di hotel paling mahal di New York City. Masalahnya, apa yang si b******k itu lakukan di New York? Kenapa dia tidak mengadakan pesta megah itu di Sydney saja. Kenapa harus di kota yang sama di mana aku berada saat ini? Apa Evan sengaja mengadakannya di sini agar aku tidak punya alasan untuk tidak datang? "Beth, aku pinjam stiletto pinkmu, ya?" Suara Emely berhasil menarik paksaku ke dunia nyata. Aku berdecak saat melihat sepatu yang Emely maksud sudah terpasang dengan cantik di kakinya. Kadang aku heran kenapa gadis itu masih harus minta izin padaku padahal dia tidak betul-betul memerlukannya. Diberi izin atau tidak dia akan tetap memakai sepatuku semaunya. Karena aku tidak akan mungkin berkata tidak. "Kau mau jadi stripper?" tanyaku dengan ketus. Moodku kacau balau gara-gara si cecunguk Evan. Emely tidak terpengaruh, gadis itu malah sibuk memulas lip gloss di bibirnya. "You really need to get laid, woman." "Nah, I'm okay." "Tahu tidak kalau s*x saat sedang marah itu seratus kali lebih memuaskan?" Tanya Emely sambil mengangkat sebelah alisnya. Di saat seperti ini aku ingin sekali melempar wajahnya dengan teflon. "Ah, mana mungkin kau tahu. Kau kan perawan." "Diam sebelum aku membuatmu mencium pantatmu sendiri, Em!" Emely tertawa. "Sebaiknya kau pakai make up dan kenakan baju paling sexy yang kau punya, Beth lalu kita hangout." Aku menatapnya tidak mengerti. Bukannya Emely ada janji kencan dengan Jason? Ah, pasti mereka putus lagi. "Putus, ya?" tanyaku meski sebetulnya aku sudah tahu jawabannya. Emely mengedikkan bahu yang justru menjadi konfirmasi atas dugaanku. "Karena itu kau mau cari ONS malam ini?" "Yup." Emely memasang cengiran lebar. Tapi aku tahu dia berusaha memaksakannya. "Aku sudah bilang kan, angry s*x itu memuaskan." Aku memutar mata. Meski saat ini Emely berkata demikian, yang terjadi nanti pasti hanya Emely yang hangover karena kebanyakan minum. Dilengkapi dengan mata sembab karena menangisi Jason. Sebagai sahabat yang baik, aku akhirnya berdandan dengan kilat untuk pergi bersama Emely dan memastikan kami pulang dengan selamat nanti. *** Untuk mengurangi kemungkinan Emely dilecehkan atau make out dengan laki-laki tidak jelas, aku memutuskan membawa Emely ke The Crown. Paling tidak kalau dia mabuk dan menemukan teman kencan satu malam di sana, laki-laki itu bukan preman jalanan yang tidak jelas 'kebersihan'nya. Aku tidak mau Emely sampai terkena penyakit kelamin hanya karena ingin melakukan 'angry s*x' yang dibicarakannya dengan pria random. Keputusanku membawa Emely ke The Crown cukup tepat. Lima belas menit setelah Emely sampai dan turun ke lantai dansa setelah minum dua teguk martini, Emely menghampiriku yang menjaga tasnya di kursi bar dengan bibir bengkak. Kupikir Emely hanya akan menangisi Jason seperti yang sudah-sudah setiap kali mereka putus. Tetapi Emely memenuhi ucapannya malam ini. "Beth, aku tidak pulang, ya?" Kulirik pria yang berdiri beberapa langkah di belakang Emely. Pria itu adalah si kemeja Armani yang mengajakku kenalan tempo hari. Namanya Alex. Ganteng, jelas. Dan dia juga memperkenalkan dirinya sebagai pengacara yang sudah membuka Law Firmnya sendiri. "Pastikan ponselmu aktif dan kau harus mengirimkanku nomor kamar hotel kalian, ok?" Emely mengangguk dan mengecup pipiku sebelum berlari kembali ke pelukan Alex. Lalu mereka pergi meninggalkanku sendirian di tengah gemerlap lampu dan dentuman musik. Aku meneguk mojitoku untuk terakhir kalinya sebelum beranjak pergi. *** "The seatbelt lady." Aku nyaris tersungkur ke belakang saat sebuah suara terdengar begitu dekat di telingaku. Untungnya ada d**a bidang yang menghalangiku jatuh terjerembab ke lantai. Wait, d**a bidang? Aku memutar tubuh dan tersentak saat menemukan the valet guy berdiri begitu dekat di belakangku. Rupanya dialah yang baru saja membisikkan kata itu di telingaku tadi. Dan dadanya lah yang menahanku agar tidak jatuh. Berbeda dari kali pertama aku bertemu, hari ini the valet guy mengenakan sweater turtle neck warna hitam yang mencetak jelas tubuh 'bugar'nya. d**a bidang, bahu lebar dan tegap, tangan berurat dan entah ada berapa pack yang tersembunyi di balik sweaternya. Tubuh the valet guy tidak sebesar biaragawan, bahkan kalau dibandingkan dengan Chris Hemsworth si pemain Thor pun masih kalah. Tetapi bahunya yang lebar dan tingginya yang sekitar 180 centi membuat tubuh itu tampak tegap dan nyaman. Aku menggelengkan kepala. Darimana aku tahu tubuhnya nyaman, menyentuh saja tidak. Breath, Bethany, jangan sampai kau memperlihatkan rasa tertarikmu padanya. "Apa nona sedang menunggu mobil nona?"  Aku mengangguk.  Dahinya mengernyit melihat jawabanku. "Apa nona datang ke sini sendiri?" tanyanya lagi. "Ya, memang ada yang salah dengan itu?" Tanyaku sedikit tersinggung. Apa dia pikir aku menyedihkan karena selalu datang dan pulang sendirian? "Maaf, bukan begitu maksudku." The valet guy memasang ekspresi tidak enak. Sepertinya dia tahu sudah menyinggungku tadi. "Nona seharusnya memanggil supir, berbahaya untuk membawa mobil dalam keadaan mabuk." Aku menepuk dahi. Aku lupa kalau aku habis saja minum. Ternyata itu maksudnya. Kenapa dia harus seperhatian itu, sih? Apa itu salah satu tugasnya sebagai petugas valet? "Mau kubantu pesankan, nona?" Sialan. Suara itu lagi. Suara baritone lembut yang membuatku tidak bisa melupakannya hingga hari ini. Aku tahu apa yang akan kulakukan setelah ini pelanggaran pada prinsipku sendiri. Seharusnya aku mencari laki-laki yang setidaknya memiliki penghasilan yang sama denganku bukannya di bawahku. Meski aku tidak tahu berapa pastinya pendapatan seorang petugas valet tapi tidak mungkin lebih banyak daripada gaji seorang kepala redaksi sepertiku. Tetapi aku tidak mau mati penasaran dan terus hidup dalam bayang-bayang the valet guy. Mungkin jika rasa penasaranku sudah terbayar, aku bisa menjalani hidupku kembali dengan normal dan mencari pria mapan yang selevel denganku. So now or never. "Kenapa tidak kau saja yang mengantarku?" Aku mengatupkan mulut. Aku memang berniat mengatakan itu tetapi setidaknya setelah aku mengajaknya berkenalan. Bethany bodoh! Melihat reaksinya yang terdiam sambil menatapku membuat aku merasa seperti pecundang. "Nevermind, I was drunk when I said it." Tanganku bergegas mengeluarkan ponsel dari dalam tasku untuk memesan supir saat tangannya yang seksi itu menahanku. "Kalau kau tidak keberatan menungguku sekitar tiga menit untuk mengambil barang-barangku, aku bisa mengantarmu." Aku berkedip. Holly crap, apa the valet guy baru saja menerima tawaranku? "Nona?" "T—two minutes!" Aku menarik tanganku yang digenggamnya sambil mengalihkan wajahku. Dia tidak boleh melihat pipiku yang memerah malu-malu hanya karena sentuhannya. Dia bisa berpikir kalau aku naksir padanya! "Two minutes, then." The valet guy tersenyum dan segera berbalik untuk masuk ke dalam lewat pintu khusus staff. Sedangkan aku menunggunya dengan jantung berdebar. Aku benar-benar sudah naksir padanya. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD