2. The Valet Guy

859 Words
Jumat malam berikutnya aku pergi lagi ke The Crown, tapi kali ini aku pergi dengan beberapa rekan kerjaku sehingga kami bisa open table. Tujuanku malam ini hanya untuk melepas penat dan bukannya mencari ONS seperti terakhir kali aku datang. Aku tidak melihat si petugas valet malam itu, mungkin dia sedang libur atau sedang memarkirkan mobil pengunjung lain entahlah. Lagipula aku ke sini bukan untuk mencarinya. Karena rekan kerjaku turun ke lantai dansa, aku pun ikut serta. Aku berdansa dengan menggila, efek martini yang kuteguk ikut memicu gerakan tidak tahu malu yang membuat James—rekan kantorku sampai menganga. Secara teknis, James adalah bawahanku meski usianya lebih tua daripadaku. Mungkin dia kaget melihat Bethany yang selama lima tahun belakangan ini hanya tahu kerja dan kerja tiba-tiba menari dengan liar. Bukannya berhenti, aku malah sengaja menggoyangkan pinggulku lebih dekat dengannya. "Beth, kau mabuk!" Sophie sekretarisku yang berdiri di hadapanku setengah untuk mengalahkan suara musik yang berpacu. "Memangnya kau tidak?" Tanyaku dengan rawut bingung. Apa yang salah dengan mabuk di kelab malam, sih? Semua orang di sini juga mabuk. Sophie juga mabuk kenapa wajahnya seperti habis melihatku berkelakuan seperti alien hanya karena aku mabuk. Aku mengabaikan pernyataan Sophie dan memilih menggoyangkan pinggul lagi sesuai irama. Tiba-tiba tangan James sudah ada di pinggangku. Wait, sejak kapan tangan James sebesar ini? Ugh, benar kata Sophie aku mabuk. "James, aku sangat tidak bermasalah untuk berdansa seperti tadi. Tapi kalau lebih jauh dari ini besok keadaan di kantor akan jadi awkward, maka sebaiknya apapun itu tidak usah diteruskan." Aku mencoba melepas tangan James dari pinggangku dan berbalik untuk melihatnya. Tapi seketika udara di sekitarku terasa pengap dan kepalaku seperti dihantam palu. What the hell. Ini sebabnya Sophie menatapku seperti seorang alien yang memakai baju renang tadi. KARENA AKU BARU SAJA MENGGESEKKAN PINGGULKU SECARA TIDAK TAHU MALU KE PRIA TIDAK DIKENAL! Aku tahu ini kelab malam di mana hal semacam itu bukan sesuatu yang tabu. Tapi jangan lupakan kelab ini kelab elite yang isinya orang-orang dari kalangan atas. Jelas kelakuanku tadi sangat tidak berkelas dan mirip p*****r. Bahkan para pekerja seks komersial itu tidak sembarang menggesekkan tubuh mereka seperti itu. "I'm so sorry," kataku dengan pipi memanas. Pasti wajahku sudah semerah kepiting rebus sekarang. Aku tidak berani menatap wajahnya dan tidak mau dia melihat wajahku jadi aku menunduk. "I thought you're my friend." "It's okay, I wouldn't mind dancing with you for another song." Shit. Aku semakin tidak ingin dia melihat wajahku jadi aku mengibas rambut panjangku ke depan. Suaranya berat tapi lembut. Dan anehnya aku seperti pernah mendengar suara itu. Mungkin perasaan, atau karena aku terlalu mabuk jadi mulai berpikir yang tidak-tidak. Sebelum pria itu mengajakku bicara lagi, aku lebih dulu kabur. Aku memang mencari teman kencan untuk ditiduri satu malam tapi tentunya aku ingin dengan cara berkelas, bukan menggoda dengan keadaan setengah tidak sadar seperti tadi. Aku ingin s*x pertamaku dilakukan dengan baik dan sempurna itu kenapa aku sangat selektif dalam memilih teman ONS meski nantinya kami tidak akan pernah berhubungan lagi setelahnya. Cukup aku tidak menyukai sebuah hubungan dengan pria tapi tidak perlu aku sampai membenci s*x. *** Selasa siang, aku dalam perjalananku mencari makan siang setelah meeting dengan salah satu penulis yang akan bekerja sama dengan penerbitku untuk project berikutnya. Aku sengaja memilih naik subway karena malas kena macet atau kesulitan mencari parkir. Aku sengaja turun satu stasiun sebelum area kantorku untuk melihat-lihat restoran di sekitar sana. Pilihanku jatuh pada sebuah restoran Asia beberapa blok dari pintu keluar stasiun. Begitu masuk, aroma rempah-rempah khas Asia menyambut. Restoran ini menjual berbagai hidangan Asia, terutama Asia Tenggara. Menu yang paling terkenal di sini adalah menu dari Indonesia dan Thailand. Ini bukan pertama kalinya aku makan makanan Asia, jadi aku tidak kesulitan memilih. Aku sudah hampir menghabiskan seluruh pesananku saat tidak sengaja menumpahkan minuman sehingga membasahi meja dan blazzerku. Seorang waiter dengan sigap menghampiriku dengan napkin, ia membantuku mengelap meja setelah sebelumnya memberikanku napkin bersih untuk mengelap basah di bajuku. Gerakan tanganku yang sibuk mengeringkan blazzer terhenti saat tangan waiter itu menjulur di hadapanku untuk mengelap meja. Hollyshit, ada apa sih dengan pria pekerja yang aku temui akhir-akhir ini? Refleks aku mendongak dan tatapanku bertubrukan dengan waiter tersebut. "The valet guy!" Tunggu. Aku tidak baru saja menyerukan kata-kata itu, kan? Itu hanya ada dalam pikiranku saja, kan? Pria itu tersenyum. Lagi-lagi senyum yang juga menyembunyikan rasa geli seolah dia sedang mencoba menahan untuk tidak menertawaiku. Hal itu seolah jadi konfirmasi bahwa aku memang meyerukan the valet guy dengan suara keras. "Hi, nona, kita bertemu lagi rupanya." Dia masih ingat denganku rupanya. Pasti insiden aku yang tersangkut di seatbelt membekas di ingatannya. Berbeda denganku yang teringat dengannya karena tubuh seksinya itu. Aku hanya bisa meringis. The valet guy pergi setelah memastikan aku tidak apa-apa dan mengganti minumanku. Padahal aku sudah bersikeras kalau itu salahku jadi aku akan membayar gantinya tetapi katanya itu bagian dari service restoran. Aku tidak mau ge-er dengan beranggapan itu service spesial darinya untukku, jadi aku mengabaikannya. Sampai aku keluar dari restoran, the valet guy tidak muncul lagi, mungkin karena restoran sudah tidak ramai jadi ia membantu di belakang dapur. Entahlah. Dan satu hal yang aku sesali hari itu, bahwa aku tetap tidak mengetahui namanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD