1. Girl on Mission

1557 Words
Aku menatap jam tanganku untuk kesekian kalinya dalam sepuluh menit terakhir. Kemacetan di depanku membuat kepalaku nyaris meledak, belum lagi suara klakson bersahutan yang membuat segala keruwetan Ibu Kota semakin menjadi malam ini. Namaku Bethany, dua puluh enam tahun dan sedang berada di puncak tertinggi kehidupanku. Meski kini aku sedang terjebak di tengah macetnya Ibu Kota, aku duduk dengan nyaman di atas BMW m3-ku. Got that? Wanita mana yang masih lajang berusia dua puluh enam tapi duduk di atas mobil mewah begini. Tentu saja wanita karir yang tidak punya problem dengan pria b******k manapun dan tidak dibutakan cinta seperti aku. Bahkan Bethany lima tahun lalu tidak akan bisa bermimpi untuk duduk di dalam sebuah BMW yang ia beli dengan uangnya sendiri. Bethany lima tahun lalu hanya gadis berusia dua puluh satu yang lugu, naif dan bodoh. Iya itu aku. Lulus dari universitas terbaik dalam kurun waktu cepat dan cumlaude membuatku dengan mudah diterima saat mengajukan apply untuk meneruskan pendidikanku di Oxford. Dan si bodoh tidak tahu diuntung itu membuang kesempatan emas itu hanya karena satu laki-laki pecundang yang menjanjikan sebuah kebahagiaan untukku. Namanya Evan, laki-laki yang aku pacari sejak sekolah menengah hingga lulus kuliah itu pernah menjadi the love of my life. Hanya karena laki-laki itu tidak sanggup menjalankan hubungan jarak jauh jika aku kuliah di Inggris, aku melepaskan tawaran emas itu untuk seonggok omong kosong seperti Evan. Jika saja aku tidak percaya dengan bujuk rayu dan cinta kosongnya, Bethany di usia dua puluh satu sudah menjadi mahasiswa Oxford dan mungkin di usiaku sekarang aku sudah bekerja dengan gaji lima kali lipat dari gajiku saat ini. Dan bukan hanya mengendarai BWM, mungkin aku sudah duduk di dalam limosine sambil minum champange paling mahal. Sayangnya aku tidak bisa memutar waktu dan menghindari diriku dari merana ditinggal Evan. Iya, setelah aku membuang masa depan cerahku untuk bersama Evan, laki-laki itu justru meninggalkanku untuk gadis yang ia temui di tempat kerjanya. Marah? Ya tentu saja. Kecewa? Sangat. Aku merasa menjadi manusia paling t***l di dunia saat itu. Tetapi yang aku bisa hanya memperbaiki hidupku yang berantakan karena mencintai laki-laki seperti Evan. Setidaknya nilai plus dari patah hati itu bisa membawaku menjadi diriku yang sekarang. Memang bagaimana aku yang sekarang? Aku yang sekarang adalah kepala redaksi di sebuah penerbitan bergengsi di New York. Berawal dari asisten editor, editor cadangan hingga akhirnya bisa duduk di posisiku sekarang aku tempuh dalam waktu lima tahun. Terkesan singkat memang, semua itu karena bantuan para penulis-penulis berbakat yang naskahnya menjadi best seller di tanganku. Bukannya mau sombong, semua penulis yang aku cari dan ajak bekerja sama memang berlian yang tersembunyi di balik batu karang. Mereka adalah penulis-penulis di blog yang aku temui dari hasil berselancar di dunia maya. Siapa sangka tulisan mereka bisa menjadi emas saat aku membawanya ke meja penerbit. Kini penulis-penulis best seller yang bahkan tulisannya sudah naik cetak belasan hingga puluhan kali hanya bisa berharap naskah mereka lolos seleksiku. Penerbitan kecil tempatku bekerja yang semula hanya sebuah ruko lusuh di pinggiran kota New York berubah jadi gedung lima belas lantai di area perkantoran Fifth Avenue, daerah perkantoran dengan biaya sewa gedung paling mahal di New York. Selain Evan, aku juga punya hubungan cukup buruk dengan ayahku. Pria paruh baya itu memang baik, tetapi tidak kompeten dan payah dalam mencari nafkah sehingga membuat Ibu dan aku harus menjalani kehidupan yang serbas pas-pasan. Aku tidak bisa menyalahkannya atas bangkrutnya perusahaan yang ia bangun sejak aku belum lahir itu. Tetapi aku benci melihat Ibu yang terlampau mencintainya sehingga merelakan banyak hal termasuk karir cemerlangnya sebagai designer. Kalau saja Ayah tidak meminta Ibu berhenti dari pekerjaannya di butik milik Mrs. Norris, saat bisnis Ayah hancur setidaknya kami tidak perlu menjual rumah kami dan pindah ke flat butut. Aku benci budaya patriarki. Aku benci Ayah yang mematikan mimpi Ibu hanya karena merasa dirinya pria dan punya power paling tinggi di rumah. Ah, apakah aku terdengar seperti feminist saat ini? Well, tidak juga. Aku masih suka lelaki, aku hanya tidak suka kalau aku harus tunduk pada mereka. Mereka yang harus tunduk padaku. Aku tidak ingin mengulangi kegagalan rumah tangga orang tuaku dan kebodohanku saat mencintai Evan. Aku ingin dicinta tanpa mencinta. Aku tidak butuh cinta selama aku punya banyak uang. Aku tidak perlu takut kesepian, aku hanya perlu mempercantik diriku di salon paling mahal, membeli baju paling menggoda dan pergi ke salah satu elite club di Manhattan untuk bisa mencari kencan satu malam dengan pria kaya di sana. Dan itulah rencanaku malam ini. Akhirnya aku sampai di salah satu bar yang direkomendasikan Emily, salah satu penulis yang naskahnya aku terbitkan. Well, dulu aku adalah editornya itu sebabnya kami masih dekat sampai saat ini. Bahkan Emily sudah ku anggap sahabatku. Hari ini adalah Jumat malam, jelas saja antrian valet club ini membludak. Aku tengah menunggu giliran saat kaca mobilku diketuk. Ku turunkan kaca itu untuk melihat lebih jelas siapa orang yang berani-beraninya menyentuh m3-ku. Apa dia tidak tahu kalau cicilan mobil ini masih ada setengah tahun lagi? "Ya?" Seorang pria berkemeja putih fit body yang lengannya digulung membungkuk. "Permisi nona, apa anda ingin menggunakan jasa valet?" Aku sempat terkesima melihat urat-urat di tangannya yang astaga mirip model-model jam rolex yang seksi. Jangan lupakan d**a bidang dan bahu lebarnya yang tercetak jelas di balik kemeja putih itu. Memangnya boleh petugas valet punya badan seseksi ini? Kalau dia bekerja di bagian keamanan masih masuk akal. "Nona?" Aku berdehem, tiba-tiba saja tenggorokanku terasa kering. Pasti tanpa sadar aku membuka mulut lebih lama dari dugaanku. Aku mengangguk, "Ya, sebentar." Dengan sedikit panik dan tergesa aku bergegas membuka pintu mobil dan beranjak turun. Dan si bodoh ini tersangkut. Ya Tuhan, kenapa aku harus tersangkut di depan petugas valet seksi itu, sih? "Kau butuh bantuan, nona?" tanyanya, masih bersikap profesional tapi aku tahu dia menahan senyum—atau tawa? Sialan! Seharusnya aku tidak melihatnya, karena astaga senyumnya nyaris membuat lutut ini lemas. Breath, Bethany. Kau memang suka pria tampan, tapi dia hanya petugas valet yang akan memarkirkan mobilmu. Jaga sikap! "Aku bisa sendiri." Aku melepas seatbeltku dengan masih mempertahankan imageku. Bahkan kakiku belum menginjakkan diri di dalam club, kenapa sudah ada hal bodoh yang menimpaku? Aku melempar kunci mobil ke arah si petugas valet seksi itu. Kalau saja dia salah satu pengunjung, aku pasti akan menggodanya. Tetapi dia hanya petugas valet—yang kebetulan punya badan seksi dan wajah oke—jadi aku tidak berminat. "Jangan sampai lecet!" Setelah memberi sedikit peringatan, aku melangkahkan kaki ke dalam club. Nama kelab malam ini The Crown. Terdengar membosankan dan biasa. Bahkan sangat tidak menjual. Tetapi sepertinya pemilik kelab ini mengartikan nama kelab ini dengan kualitas kelabnya. Kelab ini adalah kelab malam elite di Manhattan. Dari baunya saja sudah menguarkan aroma MAHAL dalam kapital. Orang-orang yang berlalu lalang di sini terbalut kemeja dan gaun yang jelas tidak mungkin dibeli di Walmart. Berhubung aku datang sendiri otomatis aku melangkahkan kaki menuju bar minuman. Di sana ada beberapa bartender yang sedang meracik minuman, aku menempati kursi kosong di depan seorang bartender berambut merah yang kelihatan sedang mengelap gelas kosong. Setelah memesan mojito—iya aku tau seleraku memang payah—aku hanya tidak mau minum sesuatu yang terlalu keras malam ini. Tujuanku datang adalah untuk mencari teman kencan satu malam. Kalau aku mabuk dan menggila, bisa gagal rencanaku malam ini. Ponsel di clutchku bergetar pada gelas keduaku. Dan sejauh ini baru ada dua orang yang mengajakku berkenalan dan turun ke lantai dansa, yang sayangnya kutolak karena mereka tidak mencapai standarku. Nama Emily terpampang di layar ponselku yang berkedip. "Ha—" "Beth! Bagaimana? Kau sudah kehilangan keperawananmu?" Untung saja panggilan itu bukan dalam mode loud speaker dan untungnya musik di dalam The Crown cukup besar untuk meredam suara nyaring Emely. "Kecilkan suaramu, sialan." Aku mengecilkan suara saat mengumpati Emely. Aku harus jaga sikap di sini, tidak boleh mengumpat seperti bajak laut. "Tidak ada yang bagaimana, cowok-cowok di sini payah." Bahkan bartender dan petugas valetnya jauh lebih keren daripada pengunjungnya. "Masa?" Aku mendengar suara krauk-krauk nyaring di sebrang sana, Emely pasti sedang makan kripik kentang. "Terakhir kali aku ke sana, aku sampai pusing memilih mau tidur dengan siapa." "Ada dua pria yang mengajakku kenalan, tapi nah, tidak menarik." "Kurang kaya?" "Kalau melihat jenis rolex yang melingkar di pergelangan tangannya, paling tidak dia pasti punya black card." Kuteguk mojitoku, kini semangatku untuk mencari kencan satu malam sudah redup, yang tersisa malah bosan dan rasa ingin pulang segera untuk berendam di air hangat. "Tapi aku bukan sekedar mencari pria kaya, tahu." Emely berdecak di sebrang panggilan. "Aku tidak pernah mengerti dengan jalan pikiranmu, Beth, kau kan hanya sedang cari pria untuk ONS dan bukan untuk menikah." "Karena aku tidak akan menikah jadi jelas orang yang akan tidur denganku harus sesuai standar kualifikasi. Meski itu hanya untuk satu malam." "Selamat menikmati menjadi perawan sampai nenek-nenek kalau begitu!" Emily memutuskan panggilan sebelum aku sempat menyumpahinya. Kalau bukan karena aku menyayanginya, sudah ku cincang dia sejak lama. Karena tahu malam ini akan menjadi sia-sia, pulang lebih cepat adalah pilihan yang baik. Mataku berkeliling sekali lagi dan masih tidak ada yang menarik. Punya banyak uang sepertinya tidak membuat standar priaku ikut naik. Seberapa keras aku mencoba untuk menyukai pria-pria berpenghasilan jutaan dollar perminggu, aku malah lebih tertarik dengan pria-pria biasa. Terbukti sepanjang malam ini aku malah kepikiran si petugas valet seksi dan bukannya pria berkemeja Armani yang baru saja mengajakku berdansa. Mengenaskan. Benar kata Emely, mungkin aku akan menjadi perawan sampai nanti jadi nenek-nenek. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD