Chapter 8

1577 Words
"Lalu bagaimana dengan dunia modelingmu selanjutnya?” Gylea bertanya ingin tahu lebih jauh lagi. Kepala Alicka tertunduk lesu. Sepertinya cerita dibagian ini, sangat sulit untuk di ungkapkannya. Namun, secara perlahan wajahnya terangkat kembali. "Karena dunia modeling ini aku berkenalan dengan seorang laki-laki, anak kuliahan. Dia adalah anak seorang pejabat tinggi pemerintahan. Hidupnya sama denganku, merasa tak berarti dan kesepian. Dia sering nongkrong di tempat pemotretan. Wajahnya tampan dan suka bercandaiku, membuatku mulai tertarik padanya. Aku sering diajak jalan dan lama-lama jadi ikut masuk ke dunianya. Tanpa sadar pula, aku mengikuti gaya hidupnya. Berkenalan dengan dunia malam; minum-minuman keras, obat-obatan terlarang dan juga s*x bebas. Tadinya aku hanya ingin mencari perhatian dari kakakku, tetapi kemudian malah aku terjerumus lebih dalam lagi. Aku menjadi seorang gadis yang rusak tak terkendali, sampai aku mendapati diriku telah hamil.” tutur Alicka tanpa jeda. Gylea meremas tangan Alicka. Ia tahu pergolakan batin gadis ini, disaat mengetahui dirinya telah hamil. “Kamu mengatakan kehamilan itu pada kekasihmu?” tanyanya. “Ya, aku mengatakannya, tetapi dia hanya diam. Sama sekali tidak tahu bagaimana perasaannya. Dia hanya mengelus rambutku dan mengatakan. 'Yang terjadi, biarlah terjadi' hanya itu kata-kata terakhirnya. Aku bingung dengan sikapnya itu. Sehari kemudian aku mendapatkan kabar dari temanku kalau ia ada di rumah sakit karena over dosis.” Alicka mengusap air matanya. “Tanpa sadar aku berlari menuju rumah sakit, yang memang tak begitu jauh dari rumah. Ada beberapa teman yang sudah berada di situ dan mereka yang memberitahukan tentang kematian kekasihku. Aku pingsan seketika, tahu-tahu sudah berada lagi di rumah.” Gylea menatapnya. Ternyata memang benar, semuda usia Alicka telah mengalami begitu banyak kejadian yang sangat menyakitkan. “Oh! Alicka.” seru Gylea. Ia memeluknya. Meletakan kepala Alicka di dadaanya. Dengan isak tangisnya, Alicka melanjutkan ceritanya. “Salah satu teman bercerita, bahwa keluarga kekasihku tak ingin kejadian itu diketahui oleh umum.” "Dapat dimengerti, untuk orang-orang terhormat seperti mereka. Hal-hal yang dapat merusak nama baiknya, harus ditutup rapat-rapat supaya tidak terekspos ke media.” terang Gylea. "Ya, aku tidak diberi kesempatan sama sekali untuk yang terakhir kali melihatnya.” Alicka tersedu lagi. “Saat kamu dibawa kembali oleh temanmu itu ke rumah, apa kakakmu ada?” tanyanya, sambil melepaskan pelukannya dan menatap wajah yang penuh derai air mata itu. "Tidak ada! Jam segitu biasanya kakakku belum pulang ke rumah.” “Lalu?” “Aku mengatakan pada teman-temanku, bahwa aku baik-baik saja dan menyuruh mereka untuk pulang. Tapi setelahnya, malah tidak tahu apa yang harus aku lakukan." Gylea membantu untuk mengusap air matanya, yang terus mengalir dengan penuh perhatian. "Sebelumnya, aku tidak pernah mendapatkan masalah-masalah seberat itu. Ketika bersama orangtuaku mereka selalu melindungiku dan memanjakanku, sehingga ketika mereka tidak ada, aku benar-benar telah merasa kehilangan pegangan. Aku menjadi bingung, tak ada lagi orang yang bisa dijadikan tempat bersandar.” “Apa pernah terpikir utuk mengadu pada kakakmu?” tanya Gylea. “Tidak, dengan melihat sikapnya saja membuat aku segan dan takut. Mungkin kak Bas akan mengusirku dari rumahnya.” "Tidak Alick, tak mungkin kakakmu bersikap begitu, terbukti dengan caranya sendiri dia peduli padamu. Hanya sepertinya ada sesuatu yang menghalanginya untuk menunjukan rasa pedulinya itu secara langsung. Aku sendiri merasa penasaran ingin tahu penyebabnya apa.” hibur Gylea. “Mungkin karena aku hanya adik tirinya saja, dan kami bertemu pun setelah kami sama-sama dewasa. Jadi, kami sama-sama canggung untuk memulai saling mengakrabkan diri.” “Ya, apalagi dengan sikap kakakmu yang kaku itu, sangat susah dimengerti.” Gylea membenarkan pendapat Alicka. “Dari kakakmu, aku mengetahui kalau kamu mengalami keguguran, setelahnya kamu tidak sadar lagi apa yang terjadi.” Alicka menatapnya sebelum bicara lebih lanjut. “Setelah teman-temanku pulang, aku sendirian di rumah. Waktu itu aku duduk di ruangan keluarga. Tiba-tiba aku merasa ada yang sakit di bagian perut, lalu aku berdiri bertepatan dengan kedatangan kak Bastian. Dia tidak berusaha melihatku. Ketika aku menjerit karena sakit dan melihat darah mengalir di sepanjang kakiku, aku sadar sepenuhnya bahwa aku telah mengalami keguguran. Sejak itu sepertinya dunia telah kiamat bagiku, gelap dan terus gelap. Sekalipun aku berteriak dengan sekuat tenaga meminta pertolongan, tidak seorangpun yang mau mendengarnya. Begitu dingin, begitu sepi … Aku seperti masuk ke dunia yang sangat asing. Akhirnya aku pasrah, aku diam. Karena sekalipun aku berteriak, tidak ada gunanya, tidak ada yang peduli padaku.” Gylea meremas lembut tangan Alicka, mengerti apa yang dirasakannya. "Sebenarnya kamu tidak menjerit, Alicka. Itu hanya perasaanmu saja. Karena pak Bastian bilang kalau kamu hanya menjerit saat kamu berdiri saja. Setelahnya, kamu diam terus tak pernah sadar lagi." "Mungkin saat itulah, aku telah masuk ke dunia gelapku." Gylea menggangguk. "Teruskan ceritamu." Alicka kembali membuka mulutnya, menuturkan apa yang dirasakannya. “Kadang-kadang aku merasa kak Bas memandangku dengan tatapan hampa, sehampa hatiku. Aku tidak bisa berbuat apa-apa karena selain duniaku menjadi gelap, kakiku pun terasa sangat lemah. Aku benar-benar tak berdaya. Kemudian aku merasa didorong ketempat lain di mana aku bisa mendengar suara-suara. Walau awalnya hanya sebuah dengungan saja, tetapi lama-lama suara itu mulai terdengar jelas. Di bayanganku saat itu, seperti mendengar suara dari kejauhan, menyuruhku untuk bangkit, jangan diam saja. Bahwa aku harus punya semangat, supaya kekuatanku bisa pulih kembali.” Alicka sedikit menarik napas panjang dan mengambil gelas minumannya. Seperti kehausan, ia meneguknya. Ia menatap Gylea lagi. “Dari mendengar suara-suara itu, apa sebenarnya aku sudah mulai tersadar?” tanyanya pada Gylea. Untuk sesaat Gylea berpikir, lalu menjawabnya. “Secara alam pikiran mungkin kamu sudah mulai tersadar, tetapi sepertinya kamu belum bisa mengumpulkan semua kekuatan pikiranmu itu. Karena kamu masih dalam kendali alam bawah sadarmu. Biasanya perlu sebuah kejutan.” "Ya! Kamu benar.” Secara tiba-tiba Alicka menyelanya. "Sebuah kejutan! Karena saat aku mendengar seruanmu yang mengatakan ‘berdarah’ waktu itu, aku seperti mendengar suara halilintar, membuatku benar-benar terkejut. Apalagi ketika mataku terbuka, dan langsung melihat darah di tanganmu itu. Aku seperti baru bangun dari tidur dan mendapat mimpi buruk. Oh, Lea! Aku merasa berterima kasih padamu, karena telah berhasil menyadarkanku.” Tergambar jelas kegembiraan di raut wajahnya, membuat Gylea ikut merasakannya. “Sebenarnya, aku sendiri tidak begitu tahu bagaimana cara menanganimu. Karena aku tak punya banyak keterangan yang bisa dijadikan acuan untuk bisa memulihkan kesadaranmu.” katanya jujur. Lalu sambungnya lagi. "Aku hanya memperoleh sedikit keterangan dari kakakmu, bahwa kamu telah kehilangan kedua orangtuamu, juga mengenai abortusmu itu. Jadi, terus terang aku sendiri kebingungan harus menanganimu dengan cara apa? Juga dengan teori apa?” Matanya terkesan menertawakan dirinya sendiri, membuat Alicka kembali memeluknya. "Tetapi kamu telah berhasil Lea. Mungkin atas kebaikan hatimu, juga niat tulusmu itulah yang telah berhasil menyadarkanku. Lebih terutama lagi adalah, semangatmu itu, Lea.” Alicka mengangkat wajahnya, menatap kagum pada Gylea. "Sekalipun aku dalam keadaan tidak sadar, bisa mendengar suara-suaramu yang penuh semangat itu.” pujinya. “Sepertinya semangatku mengandung telepati yang sangat kuat.” canda Gylea membuat keduanya tertawa. “Aku merasa bahagia bisa bertemu denganmu. Matamu ….” Alicka menunjuk mata Gylea dengan tatapan takjub. “Matamu, seperti bintang yang terang, dan senyummu seperti malaikat. Bisa menentramkan hatiku, sehingga aku merasa tak sendirian lagi. Dan anehnya begitu melihatmu, aku merasa seperti sudah lama mengenalmu.” "Lah, iyalah. Aku memang selalu di sisimu. Pagi, siang, sore dan malam, kecuali kamu tidur." ujar Gylea menunjukan tawanya. "Kamu tidak merasa bosan, menghadapi orang yang terus diam seperti aku pada waktu itu?" Gylea menatapnya. "Manusiawi kalau merasa bosan. Tetapi aku bertekad sangat kuat, bahwa suatu saat kamu akan mendengar suaraku juga." "Kamu hebat! Gylea. Aku sangat beruntung atau lebih tepatnya kak Bas, menemukanmu." "Tapi kakakmu juga waktu itu, sudah berpikir akan membawamu ke Rumah Sakit Jiwa. Karena hampir dua bulan di sini, kamu sama sekali tidak ada perubahan." terang Gylea, "Kalau seandainya aku dibawa ke RSJ pun, belum tentu aku tersadar, Lea." "Ini pertolongan dari Tuhan, Alick. Tuhan kadang memberi pertolongan yang tidak kita duga sama sekali. Ada saja, dengan cara-Nya yang sangat ajaib." "Kamu benar, Lea. Aku merasa bersyukur, Tuhan menurunkan malaikat berwujud dirimu untuk menjadi temanku yang hidup sendirian ini." "Jangan begitu, aku hanya manusia biasa. Aku hanya memiliki rasa empati ketika melihat penderitaanmu. Hanya itu." "Kamu sangat rendah hati." puji Alicka lagi. "Sudah, ah. Omongin lagi tentang kamu." sela Gylea. "Saat ini, aku mau sembuh dulu. Baru aku akan memikirkan, bagaimana masa depanku selanjutnya." "kamu masih muda, Alicka. Masih terbentang luas kesempatan yang dapat kamu raih." "Aku ingin punya semangat seperti dirimu. Kamu terlihat tangguh dan berani." "Ayahku yang mendidikku seperti itu." "Oh, ya?" "Ibu sudah tidak ada bersamaku, dari umurku delapan tahun. Jadi aku hanya punya ayah seorang, sepanjang hidupku. Sampai setahun yang lalu, ayah meninggal dunia." Alicka seperti tercekat mendengar penuturan Gylea, seperti itu. "Coba bayangkan, aku sedang kuliah di tingkat akhir. Penghasilan ayahku tidak begitu besar dari pekerjaannya sebagai fotografer di sebuah studio foto setempat. Ayah tidak banyak meninggalkan tabungan untukku. Aku harus berjuang sendiri untuk membiayai hidup dan menyelesaikan kuliahku." Alicka tampak terbengong-bengong mendengar kisah hidup Gylea. "Terus apa yang kamu lakukan untuk mencari uang?" "Aku mengikuti jejak ayah. Menjadi fotografer di studio itu, menggantikan posisinya." Alicka sampai menggeleng-geleng. "Aku tidak tahu, kalau aku harus ada di posisimu. Terus terang, papa meninggalkan Perusahaan Properti yang cukup besar di Bali. Yang kini dipegang oleh kak Bas. Secara finasial aku tidak kekurangan, kak Bas mencukupi semua kebutuhanku. Tetapi aku lemah, Lea. Sehingga mendapat guncangan masalah berturut-turut seperti itu, aku tidak mampu menghadapinya." Gylea menatapnya. "Ya, kamu biasa hidup nyaman, sehingga tidak terbiasa menerima kesusahan dalam hidup. Sementara aku dari kecil sudah bergaul akrab dengan yang namanya kesusahan. Itulah yang membedakannya, Alicka." Mereka jadi tersenyum sama-sama.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD