"Lea...bisa kita ngobrol sebentar?." panggil Alicka, menahan Gylea saat gadis itu mau meninggalkan kamarnya.
"Ini sudah waktunya tidur Alick."
elak Gylea. Ia tahu gadis ini ingin bercerita lebih banyak lagi, tetapi ia ingin Alicka bisa lebih tenang dulu pikirannya.
"Sebentar saja, aku mungkin tidak bisa tidur kalau belum mengatakannya." desak Alicka
Gylea terdiam untuk sesaat, akhirnya ia duduk di tepi tempat tidurnya..
"Aku hanya penasaran, terang darah itu."
"Alicka... lebih baik, kamu istirahat dulu. Besok kita mulai bicarakan lagi. Apa yang akan kamu ceritakan itu, sesuatu yang membuatmu sedih."
"Gak apa-apa. Lea. Kan ada kamu, yang akan menguatkan aku."
"Baiklah." Gylea menatapnya. "Saat kecelakaan yang menimpa orangtuamu itu, apakah kamu ada bersamanya?"
"Tidak, tapi kecelakaan itu terjadi di depan rumah." jawab Alicka memulai dengan ceritanya.
"Malam itu ayah dan ibuku baru pulang kerja.
Saat berbelok untuk masuk ke rumah, dari arah berlawanan ada sebuah mobil dengan kecepatan tinggi menabrak langsung mobil ayah." Air matanya mulai merebak. Ini yang di khawatirkan Gylea, ia memeluk gadis itu.
"Sudahlah Alicka, bisa lain kali lagi kamu menceritakannya." Ia berusaha menenangkan kembali gadis itu.
Akan tetapi, gadis itu menggeleng. "Aku tidak apa-apa, Lea. Memang sedih mengingat itu, tetapi aku harus mengeluarkannya, biar aku merasa sedikit ringan."
"Kau yakin tidak akan apa-apa?"
"Tidak apa-apa." bisiknya. Mulai bercerita.
"Aku melihat darah itu di jasad kedua orang tuaku, begitu juga saat terulang melihatnya mengalir di kedua kakiku. Aku tahu, keguguran. Gambaran kematian orang tuaku, juga keguguran yang kualami telah membuatku shock, sangat teramat sakit. Apalagi saat mendengar suara kakak menyapaku. Aku takut, semakin takut dan ... duniaku menjadi gelap gulita. Tidak tahu apa yang harus aku lakukan lagi."
Gylea mengangkat wajah gadis itu. Dengan tatapan meyakinkankan, ia bicara. "Dengarlah Alicka, semua kejadian itu telah berlalu. Kamu karus menerima kenyataan bahwa orang tuamu sudah meninggal. Begitu juga dengan janinmu. Bukankah kamu juga tidak tahu, apa yang harus kamu lakukan dengan kehamilanmu itu?"
"Tapi aku tidak pernah berpikir untuk membunuhnya."
"Aku tahu, kamu tidak membunuhnya. Janin itu gugur bukan atas usahamu untuk menggugurkannya, tapi karena memang sudah takdirnya. Jadi kamu jangan terlalu menyalahkan diri sendiri." Gylea mengusap air matanya.
"Kamu hanya perlu meminta ampun pada Tuhan, kemudian berusaha memperbaiki hidupmu. Kamu masih muda Alicka ... masih banyak kesempatan yang bisa kamu raih demi masa depanmu yang lebih baik."
Gadis itu hanya mengangguk, membalas tatapan Gylea yang penuh keyakinan hingga menularkan semangat di hatinya.
Walau air matanya masih mengalir, tapi Alicka sudah bisa tersenyum.
Tangan Gylea mengusapnya lagi, sambil berkata. "Sekarang, berusahalah melupakan masa-masa pahit itu dan jangan mengkhawatirkan juga mengenai kakimu itu. Intinya kesembuhan itu ada di dalam dirimu sendiri, harus ada tekad yang kuat dan semangat yang tinggi untuk kesembuhanmu. Karena kelumpuhanmu ini bukan disebabkan luka fisikmu, tetapi akibat dari luka psikismu."
"Benarkah aku bisa sembuh?" tanya Alicka, seperti ingin dipastikan.
"Yakinlah, aku hanya bisa membimbingmu, selebihnya atas usahamu sendiri." katanya memberi semangat.
"Sekarang kamu tidur, ya? Jangan berpikir apa-apa lagi. Besok pagi kita akan mulai terapi terhadap kakimu itu.
-------------------------
"Kau pasti bisa Alick...!" seru Gylea menyemangati. Melihat pada Alicka yang sedang berusaha berjalan dengan bertumpu pada dua batang kayu yang memanjang dikedua sisi tubuhnya. Yang telah sengaja dibuat oleh mang Isak, atas petunjuk dari Gylea.
Mulai hari itu Gylea sudah menjalankan terapi pada kaki Alicka. Setiap pagi, di halaman belakang istana. Namun, kaki Alicka memang masih lemah, kembali ia akan terjatuh. Secara sigap bi Lies yang ada di sisinya, menghela tubuh gadis itu dan membantunya untuk tegak kembali.
Gylea tersenyum. "Jangan cepat menyerah Alick, kakimu sudah lama tak digerakkan. Jadi otot-ototnya kaku, perlu kesabaran untuk melatihnya bisa lentur kembali. Semangatmu adalah kekuatanmu. Ayo! Alick, semangat!"
Gadis itu mencoba lagi dan mencoba lagi, sampai keringatnya mengucur deras. Sehingga Gylea menghentikannya.
"Sepertinya untuk hari ini sudah cukup latihannya, kita bisa melanjutkannya lagi besok." Gylea membimbing Alicka untuk duduk di kursi rodanya, lalu menyodorkan minuman dingin padanya dan gadis itu tersenyum.
Sore harinya mereka berada di taman yang ada di sebelah kanan istana.
Gylea membantu Alicka agar duduk di bangku yang ada di taman itu. Ia pun menyusul duduk di sampingnya, di mana ada air mancur dan berbagai macam bunga tumbuh dengan indahnya.
"Aku sama sekali tidak tahu kalau kakakku memiliki istana ini, sungguh sangat indah bukan?" kata Alicka, memulai percakapan.
"Aku sendiri merasa terkejut waktu menemukannya."
"Menemukannya?" tanya Alicka heran, membuat Gylea tersenyum.
Ia jadi mengingat peristiwa, saat pertama kali datang ketempat itu.
"Bisa dikatakan aku kepergok oleh kakakmu, karena memasuki wilayah pribadinya ini." jawabnya masih dengan senyumnya.
"Jadi kamu datang kesini bukan atas ajakan dari kakakku? Maksudku, sengaja mendatangkanmu untuk merawatku?"
"Tidak, Alick. Justru pada waktu kakakmu melihatku, ia mati-matian mengusirku, sikapnya sangat kasar, membuat aku ingin melawannya. Jadi aku lawan saja.''
"Kau melawannya?" Dengan mata lebar, Alicka bertanya.
"Tentu saja! Aku tidak suka dengan sikap arogannya, padahal dia bisa minta secara baik-baik padaku untuk meninggalkan tempat ini secepatnya."
"Lalu bagaimana cara kamu bisa mengubah pikirannya?" Alicka jadi lebih penasaran.
"Ketika ia tahu kalau aku seorang psikolog." jawab Gylea dengan lugas.
"Oh," Alicka jadi mengerti.
"Aku tidak tahu dengan nasibku, seandainya aku berprofesi lain." ungkap Gylea agak ngeri. Kalau mengingat kameranya pada waktu itu, akan dihancurkan oleh Bastian.
"Aku sendiri tak begitu mengenal kak Bas. Dia sangat pendiam, tidak banyak bicara, sikapnya sangat dingin dan kaku." Alicka mulai bercerita lagi, tugas Gylea hanya menjadi pendengar yang baik.
"Kalau diingat-ingat, malah kita hampir tak pernah bercakap-cakap seperti ini. Ia pergi kerja pagi-pagi dan pulangnya sudah larut malam, jarang bertemu. Dan bila secara kebetulan kak Bas melihatku, ia akan segera membuang mukanya. Kakak memang suka menyapa, tetapi tidak pernah memandang wajahku. Sikapnya tak bisa aku mengerti. Dia mau mengambilku untuk tinggal di rumahnya, tapi menganggapku seolah tidak ada. Mungkin aku terlalu berharap banyak padanya setelah kematian kedua orangtuaku." tutur Alicka panjang lebar.
Gylea melihat ada gelagat Alicka akan menangis, air matanya mulai tergenang, sehingga ia segera memegang tangannya.
"Alicka, jangan teruskan ceritamu bila kamu belum siap untuk menceritakannya." cegah Gylea. menunjukkan kekhawatirannya.
Namun, gadis itu malah menggeleng.
"Tidak, aku harus bercerita padamu. Mengapa aku sampai begini." Alicka berusaha meyakinkan Gylea melalui tatapannya. Bahwa ia sudah benar-benar siap dan perlu untuk mengeluarkan semua beban yang ada di dalam hatinya.
Ia kembali meneruskan ceritanya.
"Ketika secara tiba-tiba kedua orangtuaku meninggal karena kecelakaan, aku tidak tahu apa yang harus dilakukan selain menangis dan menangis. Aku tak pernah mengenal ada saudara lain dari pihak ibu atau ayahku. Sampai suatu hari, mengacara ayah memberitahukan bahwa aku mempunyai seorang kakak laki-laki. Aku merasa punya semangat lagi dan ingin segera dipertemukan dengannya."
"Saat itu kau tinggal di mana?"
"Di Bali, aku lahir di sana" jawab Alicka.
Gylea mengerti mengapa Bastian pun tidak mengetahui keberadaan adiknya ini. Rupanya ayah Bastian telah meninggalkan keluarganya di Jakarta, dan membangun kehidupan barunya di Bali.
"Sebelumnya pengacara ayah, mengingatkan kalau kakakku itu hanya kakak tiri beda ibu saja." Alicka melanjutkan ceritanya.
"Tapi tetap saja aku memutuskan ingin bertemu. Sejak awal sikap kak Bas memang tidak begitu ramah, tidak terlihat sedih atau prihatin dengan kematian ayah. Tapi anehnya, ia menyetujui ketika pengacara mengusulkan agar aku berada dibawah tanggung jawabnya. Aku pun menerimanya, dengan harapan bahwa suatu saat bisa bergaul akrab dengannya dan mendapatkan figur pengganti dari ayah. Tapi harapanku jauh dari kenyataan." kepala Alicka tertunduk, sedih. Gylea hanya meremaa tangannya dengan lembut.
Ia sengaja tidak menjeda cerita Alicka, membiarkan dia mengeluarkan semua unek-uneknya.
"Entah kerena aku terlalu dimanjakan oleh kedua orangtuaku, atau mungkin karena aku yang terlalu berharap banyak pada kakakku. Sehingga aku kembali merasa sendirian dan sangat kesepian. Dan untuk mengobatinya, aku mencari kesibukan diluar rumah." Alicka meneguk minuman untuk menghilangkan rasa hausnya. Sebelum melanjutkan kisah hidupnya.
"Salah satu teman baru di sekolahku, seorang model. Ia mengajakku untuk mencoba-coba kegiatan itu, dan lama-lama aku malah menyukainya. Aku menjadi lebih sibuk karena sering keluar kota untuk melakukan pemotretan. Sampai berhari-hari tidak pulang kerumah. Tetapi aku tak pernah lupa untuk selalu menitipkan pesan lewat pembantu dirumah, agar disampaikan pada kakak.
Dan anehnya, kak Bastian tak pernah melarang atau setidaknya merasa khawatir. Membuatku semakin merasa bebas untuk bergaul di luar rumah."
Gylea memandangnya penuh keprihatinan. "Dan kau tidak pernah berusaha untuk mendekati kakakmu itu?"
"Sikap kakakku memang susah untuk di tembus, aku sendiri bingung bagaimana menemukan cara untuk memancing perhatiannya. Aku pernah menyediakan minuman ketika kakak pulang kerja. Tanpa melihatku, dia bilang terima kasih dan meneguk minuman itu. Secara terburu-buru pergi ke ruang kerjanya dan tak pernah muncul lagi. Jadi, aku beranggapan kalau kak Bas tak menyukai perhatianku padanya."
"Memang aneh sikap kakakmu itu." Komentar Gylea.