Chapter 6

1502 Words
Seperti biasa, pagi-pagi setelah sarapan, Gylea akan membawa Alicka jalan-jalan di sekitar istana. "Kamu lihat burung-burung itu, Alicka?" Matanya melihat mahluk kecil bersayap itu. Sedang melompat-lompat diantara dahan-dahan Pinus yang ada di sekeliling mereka. "Setiap pagi berkicau seperti sedang bernyanyi. Untuk menunjukan pada kita, bahwa mereka sangat gembira dengan datangnya sinar matahari. Melihat dunia menjadi terang, karena dalam kegelapan burung itu tidak bisa terbang. Tidak bisa mencari makan dan udaranya sangat dingin." Tubuh Gylea agak membungkuk, lalu mencium lembut rambutnya. Memeluknya dengan penuh kehangatan. "Burung itu tidak suka akan kegelapan, mereka akan menderita dan kelaparan. Jadi mereka berkicau setiap pagi, untuk menyatakan rasa gembiranya melihat terang dan hangatnya sinar matahari." Kali ini Gylea berpindah untuk ada di hadapan Alicka. Tubuhnya di condongkan dan meletakan kedua tangannya pada sisi kursi roda, untuk jadi tumpuan tubuhnya. "Kamu pun bisa Alicka, bisa seperti burung itu. Yang mengepakkan sayapnya untuk terbang, karena mereka punya semangat untuk bertahan hidup. Punya kegembiraan untuk menikmati hidup. Kamu tidak boleh kalah oleh semangat mereka!. Kamu harus bangkit Alicka !! Melawan kelemahanmu dan menguatkan tekadmu, untuk keluar dari dunia yang mengurungmu saat ini. Kegelapan bukan duniamu. Usiamu masih muda dan jalanmu masih panjang. Jangan menyerah!! Bangkitlah Alicka !" Gylea membelai pipi gadis itu dengan penuh keprihatinan. "Wajahmu sangat cantik. Sepertinya sebelum ini pun, kamu merupakan gadis yang ceria. Ayolah Alicka! Jangan terus begini, aku ingin mendengar suaramu dan melihat senyummu. Jangan biarkan aku terus ngomong sendiri seperti ini. Ayolah, Alicka!" Gilea mengambil setangkai bunga, mengeluskan kelopaknya ke hidung Alicka yang mancung. Gadis ini malah bersin, membuat Gylea jadi terkekeh. "Kamu sensitif terhadap serbuk sari bunga?" Ah, kenapa juga ia jahil sekali? ~~~~~~~~~~~~~ Gylea meletakan nampan berisi minuman dingin, di atas meja bulat di dekat buku yang akan di bacakannya untuk Alicka. Siang menuju sore hari, udara masih terasa agak panas. Jadi, ia memilih halaman samping kiri istana, di mana ada payung-payung besar sekitar kolam renangnya. Gylea bermaksud mengambil buku bacaannya, tetapi tangannya menyenggol gelas minuman yang di taruhnya tadi. Prakkkk ...!!! Gelas itu jatuh. Dengan agak terburu-buru Gylea memunguti pecahannya. Terkesan kurang hati-hati, hingga bagian tengah telapaknya tergores mengeluarkan darah. Ia tersentak kaget dan berseru agak keras karena merasakan perih nya. "Auwww ...!! Berdarah ...!" Lalu berdiri. Dari tangannya, darah itu terus mengucur. Sepertinya luka yang terlihat tidak kecil, tetapi untuk melihatnya Gylea pun merasa takut. Bi Lies yang datang belakangan membawa makanan ringan, juga berseru kaget. " Neng, kenapa tangannya berdarah?! Sebentar bibi ambilkan kotak P3K-nya, ya.?" Tidak menunggu jawaban, bi Lies langsung lari lagi ke dalam istana. Gylea hanya meringis menahan perih yang semakin nyut-nyutan. Ahhh, lagian dirinya juga yang ceroboh. Sudah jelas gelas itu terbuat dari gelas yg tipis, pecahannya sangat runcing-runcing. Tanpa sadar Gylea melihat pada Alicka,.Gadis itu sedang menatap tangannya yang berdarah sangat banyak. Ada yang berbeda dari tatapannya kali ini. Tdak kosong lagi, tetapi lebih fokus. Ada ekpresi takut di wajahnya. Kemudian .... "Da ...da ...rah ... !! " "Darah ....! " teriak Alicka tiba-tiba. Telunjuknya menunjuk pada tangan Gylea yang sekarang sudah penuh dengan darah. Wajahnya terlihat ketakutan dan suaranya agak histeris. Meski masih terkejut, Gylea segera memeluk tubuhnya. Ia berusaha menenangkannya , menepuk-nepuk punggung gadis itu dengan lembut. "Tenanglah Alicka ... aku tidak apa-apa." hiburnya. Ia merasakan tubuh Alicka sangat tegang, detak jantungnya berdegup dengan kencangnya. "Alicka .... dengarlah, aku baik-baik saja. Percayalah ...." Ia kembali mendekap tubuh gadis itu lebih erat. Setelah beberapa saat, ia merasakan tubuhnya agak melentur,.Dari tangisan beralih menjadi sesenggukan, sungguh sangat menyayat hati. Gylea terus memeluk dan mengelus punggungnya. Alicka sudah terbangun dari mimpi buruknya, Gylea tidak mau gegabah mengambil sikap. Ia harus memberi ketenangan pada jiwa gadis ini dulu. Bi Lies yang sudah kembali dengan kotak P3K-nya, terkaget-kaget melihat adegan di hadapannya. Gylea memberi isyarat dengan telunjuk, supaya bi Lies diam saja. Kemudian tangannya diulurkan, supaya bi Lies bisa merawat lukanya. Tidak lama kemudian, tangannya sudah di beri antiseptik dan di perban dengan baik oleh bI Lies,. Bi Lies membersihkan tetesan-tetesan darah dan pecahan beling yang ada di lantai. Kini, sudah bersih tak berjejak, seolah insiden itu tidak pernah terjadi. Setelah dirasa isak tangisnya agak reda, Gylea melepaskan pelukannya. Melihat pada wajah Alicka, lalu ia tersenyum. Secara perlahan, ia menghapus air matanya dengan lembut. "Kamu pasti heran dan bertanya-tanya. Siapa aku, kan? tanyanya, santai. Mimiknya masih dalam senyum. "Namaku Gylea. Kalau gak mau kepanjangan, manggilnya Lea saja." Gadis itu masih nampak bengong. "Kamu pasti sudah sering mendengar suaraku, Alicka. Entah di mana itu, yang pasti dalam hampir sebulan ini aku ada selalu di sisimu. Ngomong terus sampai mulutku berbusa, walaupun gak kamu dengerin." Gylea terkekeh, merasa tergugu dengan kelakuannya sendiri. Alicka kembali menatapnya. Masih heran. "Hey, bersuaralah Alicka,. Aku sudah menunggu begitu lama. Aku sudah menjadi sahabatmu, meski kamu tidak menyadarinya. Jadi, jangan takut apalagi sungkan untuk menganggap aku sebagai sahabatmu." guraunya ringan, matanya bergerak-gerak lucu. "Kau siapa...?" tanyanya. Gylea jadi tertawa kecil. "Tadi aku sudah memperkenalkan diri, sayang ... Namaku, Gi-le-a." ejanya. "Gylea...??" Sepertinya, ia sedang berusaha mengingat-ngingat. "Jangan berusaha di ingat-ingat, karena aku belum ada di daftar nama sebagai temanmu. Aku orang baru memang." cengengesnya. Kemudian mata Alicka beralih mengitari sekelilingnya, wajahnya malah semakin menunjukan keheranannya. "Aku ada di mana?" Lah? Ampun!! Sepertinya Alicka pun belum mengenal istana ini. "Kamu belum pernah ke sini?" Gylea malah balik bertanya. Gadis itu hanya menggeleng. "Istana ini milik kakakmu. Apakah kamu masih mengingat kakakmu, Bastian?" "Kak Bas? " Gylea merasa lega karena Alicka mengingat kakaknya, tetapi saat melihat wajahnya yang menjadi murung, ia jadi kasihan. "Kakakmu yang membawa kamu kesini, agar kamu bisa pulih kembali. Alicka..." Gylea mulai menjelaskan dengan perlahan, supaya gadis ini tidak terlalu kaget mengetahui kondisinya saat ini. "Sudah hampir sebulan ini, kamu ada dalam perawatanku. Kamu boleh menganggap aku sebagai kakakmu atau apalah sesuka hatimu. Yang penting, kamu tahu kalau aku menyayangimu dengan setulus hatiku. Awalnya aku sendiri juga bingung. Bagaimana cara menyadarkanmu, karena hanya sedikit informasi tentang cerita hidupmu. Jadi sangat susah bagiku untuk menanganimu, kalau dihubungkan dengan ilmu yang aku dapatkan dari bangku kuliah." "Emangnya aku kenapa?" Orangnya sendiri tidak tahu, dirinya kenapa. "Kamu sama sekali tidak mengingatnya ?" Ditanya seperti itu, Alicka malah tampak semakin tidak mengerti. Sudahlah, untuk saat ini tidak baik juga memaksa ingatannya. Kesadarannya baru pulih. Kemudian dia agak celingukan, saat sadar mau menggerakkan kakinya. "Kenapa dengan kakiku? Kenapa aku di kursi roda? Apa yang terjadi padaku, Lea ...?" Suaranya mulai panik, sambil terus menggerak-gerakan kakinya. Gylea segera menenangkannya. Ia berusaha menahan gadis itu, supaya tetap di tempatnya duduk. "Kakimu tidak apa-apa, Alicka. Hanya perlu dengan latihan, kakimu akan bisa berjalan lagi." bujuk Gylea. "Latihan ....??? Tapi kenapa kakiku lumpuh, Lea?" tanyanya semakin panik. dia menangis lagi. Gylea menarik sebuah kursi ke hadapan Alicka, untuk di dudukinya. Butuh sikap tenang menjelaskan apa yang terjadi pada fisiknya. Mengingat kesadaran sudah pulih tapi ingatannya belum. "Alicka ... kamu sudah mencapai suatu titik di mana batas kemampuanmu untuk mengatasi masalah dalam hidupmu tidak bisa kamu tanggung lagi. Mengakibatkan, alam bawah sadarmu menginginkan kamu bersembunyi. Untuk lari dari segala kepedihan, penderitaan dan rasa tidak dipedulikan oleh siapapun. Jadi, kamu masuk ke dalam dunia yang kamu sendiri tidak menginginkannya. Tapi, kamu malah terperangkap di dalamnya. Bersyukurlah, kamu bisa keluar sendiri menemukan jalan untuk kembali ke dunia nyatamu lagi." papar Gylea, dengan bahasa yang lembut dan perlahan. "Aku masih belum mengerti, Lea. Katakanlah yang sebenarnya." Memang tidak mudah untuk menjelaskannya. "Kamu telah mengalami suatu pengalaman mental yang sangat menyakitkan, Alicka. Membuat jiwamu terguncang sangat dalam. Kamu jadi tidak sadar akan dirimu sendiri, bersikap seperti patung, tidak mau bicara. Matamu terbuka, tetapi tidak melihat dan kakimu pun ikut tidak mau melangkah." Gylea melihat ekspresi Alicka yang berubah-ubah. "Kamu sepertinya tidak mau berbuat apa-apa lagi." lanjut Gylea. "Sampai kamu melihat darah di tanganku itu. Ya! Darah itu Alicka, yang jadi kunci pembuka kesadaranmu. Pasti ada peristiwa yang berhubungan dengan darah itu. Adakah yang kamu ingat tentang darah itu, Alicka?" tanya Gylea mulai mengorek ingatan gadis itu. Wajah Alicka memucat. "Aku mengingatnya ... !! Aku mengingatnya, Lea ...!!! " serunya "Darah itu ... darah yang bergelimang di jasad ayah ibuku, lalu darah yang mengucur di antara kedua kakiku...Aku tak sanggup mengingatnya, Lea... ! Aku tak sanggup!!" teriaknya lebih panik lagi. Gylea kembali berdiri lalu memeluk tubuh Alicka. Memang tidak baik untuk mengorek ingatan gadis ini lebih jauh lagi. Ia takut mentalnya masih lemah, yang akan membuatnya jadi histeris nantinya. Gylea tidak mau mengambil resiko itu. "Alicka, jangan paksa ingatanmu lagi, ya? Dengarkan! untuk saat ini, yang perlu kamu lakukan adalah bersikap tenang. Lihat duniamu, dengan sudut pandang yang berbeda dari sebelumnya. Tinggalkan kesedihanmu, percayalah mulai saat ini kamu tidak sendirian. Ada aku yang akan menemanimu, sampai kamu benar-benar sembuh. Kamu bisa bercerita lain waktu, kalau kamu sudah siap untuk menceritakannya padaku." Gylea membiarkan Alicka menangis sepuasnya, tidak peduli bajunya jadi basah oleh air mata yang terus mengalir deras. Ia bersyukur, akhirnya Alicka sadar juga. Tinggal memulihkan ingatannya secara perlahan, menstabilkan emosinya supaya lebih tenang. Hanya kakinya yang butuh penanganan, harus melakukan beberapa latihan supaya otot-ototnya tidak kaku lagi. Gylea akan melakukan terapi bicara, untuk membangkitkan semangatnya kembali.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD