Berhari-hari kemudian keadaan masih sama. Gylea mencari beberapa buku yang bisa dibacakan di depan Alicka.
Kebetulan di ruang tengah, ia menemukan rak yang di dalamnya berisi banyak buku yang tersusun dengan rapihnya.
Sebagian buku, banyaknya tentang bisnis dan dunia arsitektur. Namun, ada beberapa terselip buku autobiografi dan biografi dari seorang tokoh yang menginspirasi.
Gylea mengambil salah satu buku biografi dari Bunda Teresa yang terkenal sebagai seorang tokoh kemanusiaan. Sangat peduli pada rakyat miskin dan berani memperjuangkan hak mereka untuk mendapatkan perawatan kesehatan dan kebutuhan hidup lainnya di India.
Kemudian seperti biasanya, Gylea akan membawa Alicka ke taman. Alicka duduk di kursi roda, sementara dirinya sendiri duduk di kursi taman berhadapan dengannya.
Gylea mulai membacakan bukunya dengan intonasi yang sangat bagus. Sepertinya, ia punya bakat juga untuk menjadi pendongeng.
Dengan sabar dan telaten, Gylea merawat gadis yang bersikap apatis ini, tanpa mengeluh. Hari-hari dijalani dengan tetap bersikap ceria. Sampai bi Lies sendiri merasa heran. Kalau orang lain mungkin sudah tidak tahan. Akan tetapi, gadis baik hati ini tampak tulus memberi perhatian pada Alicka.
Ada beberapa buku lain yang dibacakannya, Dan Gylea merasa aneh, saat menemukan ada buku dongeng bergambar, terselip hampir tersembunyi. Buku cerita Cinderella dengan gambar pangeran di latar belakang sebuah istana yang sangat megah. Apakah Bastian membangun istana ini, karena merasa terinspirasi dari dongeng 1001 malam ini? Ah, entahlah. Gylea tidak mau memikirkannya lebih jauh.
Gylea membacakan dongeng itu, besok harinya dan buku cerita lainnya juga yang ia temukan. Sampai Bastian datang kembali ke istana itu, di akhir minggu berikutnya.
"Bagaimana dengan keadaannya sekarang ?" tanya Bastian saat mereka bertemu di ruang keluarga. Wajahnya tidak menunjukan ekspresi apapun, seolah pertanyaan itu hanya formalitas saja. Tidak ada antusiasme di dalam nada suaranya dan sikapnya pun masih sama, dingin dan agak menjaga jarak.
"Saya sudah berusaha membangun suasana kekeluargaan di rumah ini. Membacakan beberapa buku yang bisa membangkitkan semangatnya, tetapi sampai saat ini belum berhasil. Mungkin butuh waktu lebih lama lagi." Menjawab dengan sejujurnya.
Tubuhnya yang tinggi itu, diakui oleh Gylea sangat menawan. Menunjukan kalau dirinya seorang yang punya wibawa seorang pemimpin. Tidak diragukan lagi, dia pasti seorang pengusaha yang sudah sangat berhasil. Kalau pengusaha biasa saja, tidak mungkin bisa membangun istana semegah ini.
Gylea berusaha menyelidiki isi kepala lelaki itu, apakah ada tergambar kekecewaan, kesedihan? atau tak ada pengaruhnya kalau adiknya akan sembuh atau tidaknya. Namun, tidak ada apapun yang terbaca di wajah datarnya itu.
"Seandainya saya bisa lebih banyak tahu kejadian-kejadian yang dialaminya selama ini, mungkin akan lebih mudah bagi saya untuk membuka pintu keluar dari dunia yang mengurungnya saat ini, biasanya butuh sebuah kunci."
"Kunci ...?" tanyanya heran, terlihat dari kerutan di dahinya. Mulai melangkah menuju sofa dan duduk di sana.
"Ya...sebuah kunci, yang kita tidak tahu itu apa, bisa juga dengan sebuah kejutan." Gylea ikut duduk di sofa lainnya, sebelum kembali melanjutkan pendapatnya. "Mudah-mudahan suatu saat, Alicka sendiri bisa menemukan jalannya untuk kembali."
"Saya benar-benar menyesal tidak bisa bisa memberi keterangan yang lebih banyak lagi. Apa yang saya tahu, sudah diceritakan semua." ungkap Bastian dingin.
Tak ada gunanya kembali menggali keterangan darinya, sepertinya memang lelaki ini benar-benar tidak tahu apa yang telah terjadi pada Alicka secara keseluruhan.
"Kalau begitu maukah Anda bekerjasama dengan saya?" tanyanya dengan tatapan sungguh-sunguh. Bastian balas menatapnya.
"Anda harus banyak berinteraksi dengannya, tunjukan kalau Anda menyayangi dan peduli padanya."
Mata Bastian, berkilat sesaat sebelum berkata, "Saya sudah katakan, bahwa hubungan saya denganya tidak begitu dekat, saya belum pernah bergaul akrab dengannya." elaknya ketus.
"Tapi saat ini, adik Anda butuh dukungan secara moril. Bahwa ada yang peduli padanya, memperhatikannya, terutama dari Anda yang ia tahu sebagai satu-satunya saudara yang ia miliki. Berusahalah, demi Alicka!" Secara tegas Gylea menyampaikan hal itu.
Ada pergolakan bathin dalam diri Bastian. Terlihat dari garis rahangnya yang bergerak-gerak, menahan emosinya yang mulai terangkat karena keberanian dari sikap Gylea
"Mungkin lain kali, kalau saya tidak terlalu sibuk bekerja." Mata Gylea terbelalak kaget mendengar ucapannya yang terkesan tidak peduli itu. Bibirnya yang sudah terbuka menjadi rapat kembali saat melihat Bastian meninggalkan Gylea begitu saja, naik ke tangga yg meliuk itu.
Memang dia menempati bagian atas dari istananya
Sepertinya sangat susah buat Bastian untuk menerima Alicka sebagai adiknya. Mengapa? Gylea harus mencari tahu.
Bagaimana cara memancing laki-laki itu untuk mau membuka mulutnya? Kalau melihat sikap dinginnya seperti itu, mustahil ia dapat mengoreknya.
~~~~~~~~~~~~
Alicka di dorong ke ruang keluarga di mana Bastian sedang duduk bertumpang kaki, di tangannya ada sebuah buku terbuka yang sedang dibacanya.
"Kau lihat kakakmu? sekarang lagi ada di dekatmu, jauh-jauh dari Jakarta dan meninggalkan kesibukannya karena kerja, hanya untuk melihatmu." kata Gylea di dekat telinga gadis itu.
Bastian mendongak, yang ditatap bukan wajah adiknya, tetapi langsung menatapnya dengan tajam.
"Ini sudah malam, apa perlu Anda membawanya keluar kamar?" tanyanya, terkesan tidak menyukai apa yang di lakukan Gylea.
"Jam sembilan atau lebih Alicka baru bisa tertidur, terkadang jauh lebih malam lagi. Saya suka membacakan cerita sebelum tidur sampai matanya terpejam. Saya kasian, Alicka benar-benar menderita." tuturnya dengan berusaha menahan kesabarannya, saat menangkap ketidaksukaan yang ditunjukan lewat perangainya yang jutek itu.
"Saya sudah memberi tugas pada Anda untuk menyembuhkannya dan atas usaha Anda itu saya berani membayar mahal." ketusnya acuh-acuh tak acuh, membuat Gylea geram tidak kepalang. Bastian pernah membahas ini dan sudah pula mendapat jawaban tegas darinya. Eh, malah menyebutkan lagi soal harga.
Gylea bangkit dari sofa, maju mendekatinya.
"Apa segala sesuatunya harus Anda nilai dengan uang ?! " Matanya melotot berang.
"Saya tidak mengenal Anda maupun adik Anda. Akan tetapi, saat melihat penderitaannya, setidaknya hati saya tergerak untuk peduli padanya. Tapi anda ini ...? " tunjuknya, berani.
"Sama sekali tidak punya kepedulian, apakah Alicka akan sembuh atau tidaknya." tuduhnya, tanpa tendeng aling-aling lagi.
Tegas, lugas dan galak. Membuat wajah Bastian mengeras, bibirnya terkatup rapat. Sepertinya belum pernah ada perempuan yang berani bersikap begitu padanya.
Bastian berdiri. Tubuhnya yang tinggi, menjadi di atas kepalanya. Tangannya terangkat, merampas wajah mungil gadis itu dengan kasar.
"Pikirmu saya tidak peduli padanya?" kecamnya dengan nada keras. "Kalau saya tidak peduli Alicka, untuk apa saya membawa Anda masuk kerumah ini. Buang-buang waktu saja." lontarnya dengan kesal. Matanya menatap tajam dan sinis wajah yg sudah tidak berbentuk itu, karena cengkeramannya.
Gylea berusaha melepaskan wajahnya, tetapi malah tambah sakit. Lelaki ini benar-benar kasar, mencengkeram sekitar rahangnya tanpa ampun.
"Tetapi buktinya, Anda tidak pernah menunjukan kepedulian padanya, menatap wajahnya saja Anda tidak mau." Gylea tetap bicara dengan lugas, meski agak susah karena mulutnya terkunci.
Tampak Bastian semakin mengeraskan rahangnya. Matanya menyala, menatapnya dengan sangat menakutkan.
"Jangan gampang menilai, kalau Anda tidak tahu." cetusnya. Raut mukanya tetap garang.
Kemudian Bastian menarik tangannya. Membebaskan wajah Gylea kebentuknya semula. Sepertinya, akan banyak tapak merah di kulit wajahnya yang putih bersih itu.
Dia menjauh dan bermaksud meninggalkan ruangan itu.
"Sebaiknya Anda bawa kembali Alicka masuk ke kamarnya." perintahnya tidak terbantahkan.
"Kayanya hubungan kekeluargaan Anda memang kurang baik, dan tidak punya hati." Seloroh Gylea, seolah mengatakan hal itu sambil lalu saja. Ia mendorong kursi rodanya, keluar dari ruang keluarga yang sudah terasa sangat panas, seperti di neraka.
Sementara Bastian hanya bisa terdiam, dengan gemeretak giginya. Berusaha menahan diri agar amarahnya tak meluap, karena terpancing oleh mulut culas gadis itu.
Seandainya dia tidak butuh jasa gadis itu, rasanya ingin saja menendang Gylea dari istana ini sekarang juga.
Gylea masih dengan hati geramnya, kembali membawa Alicka ke kamarnya. BI Lies yang selalu siaga membantunya, ikut masuk ke kamar.
"Neng, setahu bibi yah, Den Bas itu tidak pernah marah. Apalagi bicara sekeras itu sama Neng, tadi. Maaf, Neng. Bukan bibi sengaja menguping, tapi bibi kaget saat mendengar suara kerasnya, sampai kedengaran kedapur." terang bi Lies, waktu membantunya mengangkat tubuh Alicka ke tempat tidur.
"Apa kataku juga, pak Bas itu galaknya gak ketulungan, Bi. Ih ...." gidiknya ngeri. Merapihkan tubuh Alicka dan menyelimutinya.
"Neng itu termasuk berani menentang den Bas gitu."
"Siapa yang gak kesal coba, Bi? Kita aja yang bukan siapa-siapanya Alicka, merasa sangat prihatin dengan keadaannya ini. Sementara dia sebagai kakaknya, kok bisa ya? Gak peduli gitu. Bahkan untuk melihat wajah adiknya saja tidak mau."
"Tidak, Neng." sanggah bi Lies. "Den Bas itu perhatiin neng Alicka juga. Karena setiap hari, pasti telepon bibi untuk menanyakan gimana kabarnya"
"Oh, ya?" Gylea agak terkejut. "Berarti Bibi juga ceritain apa yang aku lakukan kepada Alicka, dong."
"I...iya, Neng." Bi Lies agak tergagap, ingin saja ia menampar mulutnya yang lemes itu. Ingat pesan majikannya yang berpesan supaya tidak menceritakan hal itu pada Gylea.
"Tapi, Neng." sambung bi Lies lagi. "Bibi ceritain, yang sebenernya Neng lakukan kepada neng Alicka saja. Bibi gak boong kok, Neng. Suwer ...."
Gylea jadi tersenyum, saat bi Lies mengacungkan kedua jarinya.
"Ya sudah, Bi. Gak apa-apa. Bibi istirahat saja, sekarang. Temenin mang Isak, mungkin udah nunggu dari tadi." canda Gylea. Kembali kepada sikap cerianya.
"Wah, Neng. Mang Isak mah udah ngorok dari tadi juga." seloroh bi Lies, sambil tertawa. Meninggalkan kamar.
Tinggallah Gylea sendirian, kembali menatap Alicka yang telentang dengan mata yang sudah terpejam.
Ia menatap wajah cantik yang terlihat damai itu. Gylea merasa sedih, betapa malang nasib Alicka. Mendadak ditinggal kedua orang tuanya, punya kakak pun tidak terlihat menyayanginya. Pantas gadis ini tetap terkurung di alam bawah sadarnya. Karena ia merasa, tak seorangpun dapat menolong untuk mengangkatnya dari rasa sakit yang membelenggunya selama ini.
Mengingat lagi pada sikap Bastian tadi, Ia jadi kembali merasa geram. seumur-umur Gylea belum pernah diperlakukan sekasar itu.
Baru oleh mahluk yang bernama Bastian.