Sepeninggal Bastian yang kembali ke tempat tinggalnya di Jakarta. Pagi harinya saat sudah terbangun dan membersihkan dirinya, Gylea langsung bergabung dengan bi Lies dan mang Isak yang sedang sibuk mempersiapkan sarapan di dapur.
Alicka sudah ada disitu juga, sepertinya sudah mandi dan siap diberi sarapan.
Gylea menghampirinya.
"Hai cantik, namaku Gylea." sapanya. Memperkenalkan diri sambil lebih mendekati gadis itu. Tangannya terulur, dan mengelus lembut pipnya.
"Kamu akan jadi sahabatku setiap harinya, semoga kamu tidak bosan, ya? Melihat wajahku yang tidak ada cantik-cantiknya ini."
"Duh ... siapa bilang Neng Lea tidak cantik. Wajah Neng ini seperti matahari, setiap yang memandangnya menjadi hangat dan gembira. Dasarnya Neng tuh, pembawaannya ceria." ujar bi Lies, polos.
"Aishhh, Bi ... jangan deket-deket kalau gitu, nanti Bibi gosong. Matahari kan panas." candanya, tertawa renyah.
Membuat semua orang tertawa, kecuali Alicka yang seperti patung hidup itu.
"Bi, kali ini dan seterusnya, saya aja yang menyuapi Alicka, ya? Saya yang akan merawatnya."
"Iya, Neng. Bibi seneng, akhirnya den Bas mau mendatangkan orang untuk merawat neng Alicka secara khusus. Bibi mah bingung, Neng. Yang bisa Bibi lakukan, hanya menyuapi dan memandikannya aja." ucap bi Lies apa adanya.
"Apa yang sudah Bibi lakukan sudah sangat membantunya, Bi. Semoga dengan perhatian dan kepedulian kita padanya, suatu saat akan dapat dirasakannya juga."
" Iya, Neng. Bibi ingin sekali melihat neng Alicka sembuh." jujur bi Lies.
"Iya, Bi. Kita semua tentu mengharapkannya. Saya butuh bantuan Bibi dan mang Isak untuk menciptakan suasana kekeluargaan yang ceria di rumah ini. Biar Alicka bisa merasakan kembali suasananya, yang sudah hilang sejak kepergian ayah ibunya karena kecelakaan itu."
"Terus terang Bibi gak tahu kenapa neng Alicka seperti ini, mau bertanya sama Den Bas pun tidak berani. Jadi yah ... Bibi kerjakan saja apa yang di bilang den Bas sama bibi."
"Alicka hanya merasa kaget aja, Bi. Ada sesuatu yang terjadi yang belum siap diterimanya. Alicka terlalu muda, hingga ia tak mampu menyikapinya." terang Alicka. Berusaha mencari kata-kata sederhana, agar bisa di mengerti oleh bi Lies. Dan juga, tidak mau menjelaskan lebih jauh penyebabnya, karena itu merupakan aib buat Alicka sendiri.
"Kok, bisa begini ya, Neng? Bibi baru liat, orang kaget kayak begini." Bi Lies berkomentar lugu.
Gylea jadi tergugu, atas pemikiran bi Lies yang sederhana. ia tersenyum. "Reaksi orang, kalau kaget, beda-beda kan, Bi?"
"Iya, Neng. Apa lagi yang latah, suka rame." Bi Lies terkikik.
"Kasian kalau yang suka ganggu orang yang latah, Bi."
"iya, latah nya suka makin parah, Neng. Di sini mah orangnya pada serius. Apalagi den Bas, orangnya agak pendiem gitu, Neng."
"Sebenernya den Bas menurut Bibi, orangnya seperti apa, sih?" tanya Gylea. Agak penasaran, ingin tahu.
Bi Lies tersenyum sebelum berkata. "Sebenernya den Bas orangnya mah baik, Neng. hanya sikapnya yang kaku itu yang bikin orang kadang salah menilainya. Selama Bibi bekerja di sini, tidak sedikitpun melihat den Bas marah ke Bibi atau ke yang lainnya."
"Benarkah, Bi? Saya justru melihatnya serem banget." ungkap Gylea sambil bergidik.
"Ya ampun, Neng. Neng sih, belum mengenalnya. Mungkin suatu saat nanti, Neng akan percaya omongan Bibi ini." kata bi Lies sambil terkekeh.
"Aku hanya peduli sama Alicka aja. Lagian dia jarang datang ke sini juga kan, Bi? Dan itu lebih baik."
Bi Lies tak menimpali lagi ucapan Gylea, hanya tersenyum dan melanjutkan pekerjaannya.
Beruntunglah, secara insting Alicka mau mengunyah apa yang masuk ke mulutnya. Hanya, sepertinya pikiran gadis ini sedang berkelana sangat jauh. Hanya buang air kecil atau buang air besar, yang harus diurusi karena melakukanya di tempat. Sehingga bi Lies selalu mengenakan diapers, supaya nyaman.
Setelah sarapan dan saat matahari bersinar belum begitu terik, Gylea membawa Alicka ke taman di samping kanan istana.
Sambil mendorong kursi rodanya, Gylea mengajak bicara Alicka. Meski tahu tidak akan didengar dan mendapat reaksi darinya.
Tidak masalah, daripada sama-sama diamnya. Juga ia berpikiran kalau lama-lama juga, mungkin suaranya akan di dengar. Mungkin ....?
Kemudian Gylea mencondongkan tubuhnya di hadapan Alicka. "Baiklah, Alicka ... Bagaimanapun aku harus melakukan sesuatu padamu." Lalu ia meraih tangan gadis itu, dengan penuh rasa prihatin. Menaruh di dadanya, seakan ingin Alicka merasakan detak jantungnya.
"Satu hal yang harus kamu tahu, bahwa yang aku lakukan ini sungguh tulus dari hatiku. Aku tergerak saat melihat penderitaanmu. Jadi, mulai saat ini percayalah padaku. Aku akan peduli dan memperhatikanmu dan aku yakin suatu saat kamu akan merasakan kehangatan yang lahir dari hatiku ini." Kemudian Gylea tersenyum, sambil membelai rambutnya dengan penuh kelembutan.
Setiap pagi Gylea akan membawa Alicka keliling istana. Sambil mendorong kursi rodanya, ia akan terus bercerita tentang apa saja yang ada di isi kepalanya.
Kali ini ia ingin bercerita tentang ayahnya. Siapa tahu akan jadi penyemangat buat Alicka, melalui pendengaran alam bawah sadarnya. Namun, bila Alicka belum bisa menyimaknya juga. Biarlah, anggap saja sedang bercerita pada burung-burung yang bertengger di atas pohon. ahhh, terserahlah.
"Kamu tahu, Alicka? " katanya memulai.
"Aku seperti kamu, sudah tidak punya ayah maupun ibu. Tidak satupun kerabat yang aku ketahui. Akan tetapi, satu hal yang selalu aku ingat, yaitu nasehat ayah yang membuatku tetap bertahan menjalani kehidupan ini meski sendirian." Kemudian Gylea menghentikan langkahnya dan meletakan kursi roda itu di bawah pohon hias yang rindang yang ada di dalam taman istana itu. Sehingga terasa teduh dan nyaman. Ada bangku tempat duduk-duduk santai dan Gylea meletak bokongnya di situ.
"Apakah kamu ingin mengetahui nasihat dari ayahku, itu? " tanyanya, sambil menarik kursi roda lebih dekat lagi. "Hal pertama yang harus aku pegang teguh adalah, aku tidak boleh meninggalkan ibadahku kepada Tuhan. Lalu, menyerahkan sepenuhnya kehidupanku ada di tanganNya. Dan nasehat berikutnya adalah, supaya aku punya semangat untuk terus berjuang demi memperoleh apa yang menjadi cita-citaku." Gylea menaruh dagunya diatas pangkuan Alicka, beralaskan tangannya sendiri.
"Sekejam apapun dunia ini menempaku, aku tidak boleh putus asa dan menyerah. Harus bisa aku hadapi dengan gagah berani," sambungnya lagi. Tangannya memegang tangan Alicka yang berkulit sangat putih sekali, dengan agak memiringkan wajahnya.
Gylea bertutur lagi. "Walaupun aku hanya seorang perempuan, seberat apapun masalah yang menimpa hidupku, aku akan selalu mengingat nasehat ayahku ini. Jadi ... kamu jangan pernah menyerah, Alicka! Keluarlah dari rasa ketakutanmu sendiri ini. Bangkitlah!! Cari cahaya yang akan menuntunmu kembali, pada kehidupan nyatamu lagi." Gylea menggerak-gerakan tangan Alicka, sambil terus menatap wajah cantik yang membeku itu. Masih bergeming, tak menunjukan ekspresi apapun.
Gylea hanya menarik napas panjangnya. Kembali meneruskan ceritanya. "Ayahku memang hanya seorang laki-laki sederhana, tetapi bagiku dia adalah seorang ayah sekaligus ibu yang sangat luar biasa. Dia selalu menanamkan optimisme ke dalam jiwaku, sehingga membentuk sikap dan mentalku menjadi kuat. Itulah mungkin yang membuat aku bisa mengatasi segala kesedihan, rasa kesepian atau kekecewaan, termasuk saat ayahku meninggal dunia." Ahhh, airmatanya mulai tergenang mengingat kejadian itu.
"Sekalipun meninggalnya tidak setragis kedua orang tuamu, tetapi akupun sempat merasa sedih. Sempat bingung, tidak tahu apa yang harus kulakukan karena kesedihanku sangat mendalam. Apalagi ketika aku baru mengetahui, kalau selama bertahun-tahun ini ayah menderita penyakit kanker paru-paru. Ayah telah berhasil menyembunyikannya dariku. Membuatku sempat menyalahkan ayah. Kenapa aku tidak boleh tahu tentang sakitnya? Hiingga aku tak punya kesempatan untuk peduli dan merawatnya dengan sepenuh bhaktiku sebagai anaknya." Gylea mengusap air matanya. Kenapa ia yang malah jadi curhat?
"Namun, kemudian aku menyadarinya. Setelah direnungkan kembali, apa yang menjadi maksud ayah. Itu semua ayah lakukan karena rasa sayangnya yang teramat sangat padaku. Dia tidak mau melihat aku sedih dan mengkhawatirkanya. Jadi, Alicka ..." Gylea mengangkat wajahnya, menatap Alicka seolah ingin meyakinkannya.
"Dengan mengembalikan pemikiran positif seperti itu, aku bertekad menunjukan pada ayah yang sudah di alam sana. Bahwa anak hasil didikannya ini, mampu bertahan menjalani hidup tanpa harus bergantung kepada siapapun." Ah, ternyata bosan juga bermonolog seperti itu. Akhirnya Gylea bangkit berdiri, memetik setangkai bunga berwarna merah, entah bunga apa namanya. Gylea sama sekali tidak tahu.
Menyelipkan bunganya di sisi telinga Alicka. "Wah, kamu memang bener-bener cantik, alick. Coba kamu bergaya di depan kamera, bukankah kamu seorang foto model?"
"Sayangnya, kameraku ditahan kakakmu yang jahat itu." cemberut Gylea. Kembali merasa kesal, begitu mengingat kalau kamera itu ada dalam sanderaan Bastian. Lupakan! Ia harus melanjutkan ceritanya tadi.
Gylea sudah ada di belakang kursi roda Alicka. Menyisir rambut lurus sebahu itu dengan jemarinya. "Sepeninggal ayah, aku harus berusaha mengatur dan menghidupi diriku sendiri. Ya! Kamu juga pasti bisa Alicka ... kamu harus punya semangat seperti aku! Agar kamu bisa keluar dari dunia yang mengungkungmu saat ini." Kembali Gylea memutari Alicka untuk ada di depannya lagi.
"Kamu, tidak bisa terus begini, Alicka." imbau Gylea. "Kamu harus bisa menemukan jalanmu sendiri agar kamu berhasil kembali." Dengan penuh semangat, Gylea mendorong nada suaranya untuk lebih tinggi lagi.
Akan tetapi, ia merasakan sengatan sinar matahari yang mulai naik. Gylea terpaksa bangkit, berjalan kembali kebelakang kursi rodanya. Mendorong secara perlahan, mengitari taman menuju ke dalam istana.