Chapter 3

1489 Words
Gylea melihat Bastian meninggalkan tempat duduknya. Sebelum melangkah, dia menoleh pada Gylea. "Mungkin anda perlu membersihkan diri dulu, setelah itu kita akan makan malam di sini. Pekerja rumah tangga saya, sudah menyiapkannya." katanya datar. Gylea bangkit dan mengekor di belakang Bastian. Dapurnya sangat luas dan modern. Gylea diperkenalkan pada Mang Isak dan Bi Lies yang sangat ramah. "Bi, tolong antar Gylea ke kamarnya, di sebelah kamar Alicka ya, Bi" "Iya, Den. Bibi tadi sudah menyiapkannya." kemudian bi Lies mengajaknya. "Ayo, Neng. Pasti Neng juga sudah merasa lapar dan sangat lelah juga, dari tadi belum istirahat." Gylea tersenyum, sambil mengikuti bi Lies menuju kamar yang sudah disiapkan untuk dirinya. Bi Lies membantu menyiapkan semua keperluan untuk mandinya, membuat Gylea merasa jengah. "Saya bisa melakukannya sendiri, Bi. Sepertinya pak Bastian lebih butuh untuk bibi layani." selorohnya, dengan nada canda. Bi Lies tersenyum, merasa senang mengetahui kalau tamunya ini ternyata sangat ramah dan tidak manja. "Baiklah, Neng. Biasanya Den Bas juga akan mandi dulu, sebelum turun untuk makan malam." "Apakah Alicka biasa ikut makan sama-sama, Bi?" "Tidak, Neng. Neng Alicka biasanya lebih awal dikasih makannya. Menurut Den Bas, supaya neng Alicka tidak kelaparan. Kan, Neng Alicka tidak mau ngomong, jadi kita tidak tahu saat dia lapar atau tidaknya." Gylea sebenernya ingin bertanya lebih jauh, tapi mengingat masih ada hari esok, jadi dibatalkannya. ~~~~~~~~~~~~~~~ Bi Lies mengetuk pintu kamarnya. Untungnya, Gylea sudah siap setelah mandi dan berganti pakaian. "Neng dipanggil Den Bas, untuk menemaninya makan." "Baiklah, Bi." jawabnya sambil tersenyum. Padahal kalau bisa menolak, ia ingin makan dimana saja, asal tidak dengan laki-laki itu. Ada apa ini? Apakah Gylea masih mengingat kejadian tadi siang? Perasaan, dirinya bukan seorang pendendam. Namun, memang sikap Bastian dari awal, sudah menimbulkan rasa antipati di dalam dirinya. Pakaian yang dikenakan Gylea masih senada dengan pakaian sebelumnya, hanya berbeda coraknya saja. Ia melihat kerutan di dahi laki-laki itu, saat melihat penampilannya. Bomat, pikirnya. Toh, memang beginilah dirinya. Duduk makan hanya berdua saja, membuat Gylea canggung. Ia berusaha menghormati tuan rumahnya yang sudah berbaik hati mengajaknya makan. Jadi, dia cukup duduk manis secara tertib. Mau mengajak ngobrol pun, tidak menemukan topik obrolan yang tepat dan laki-laki itu kenapa diam juga? Setelah lama berselang, dalam diam .... "Saya tidak tinggal disini." kata Bastian tiba-tiba. Cukup membuat kaget Gylea, yang sedang mengunyah makanannya dengan lahap. Untung saja ia tidak menyemburkan makanan itu, tetapi tertahan di mulutnya. Kedua pipinya menggembung, sementara matanya membulat. Untuk orang lain mungkin, akan jadi bahan tertawaan dengan melihat mimik wajah seperti itu. Namun, tidak bagi Bastian. Wajahnya tetap datar, tidak menunjukan ekspresi apapun. Hingga Gylea berusaha menelan makanannya dengan susah payah. Segera saja menyambar air putih, yang ada di atas meja makan. "Setelah makan, kita akan kembali membicarakannya." lalu Bastian meninggalkan ruang makan, tanpa permisi. "Astaga! Ini orang apa patung hidup, ya? Lebih banyak diamnya, tapi sekali ngomong kaya bunyi petasan, mengagetkannya. Mau tambah lagi, karena makannya tadi tidak begitu leluasa. Jadi, perutnya yang kelaparan masih nagih. Saat ia menyedok nasi untuk kedua kalinya, Bi Lies menghampirinya. "Neng, makannya yang kenyang aja, gak usah sungkan, ya?" Gylea mengangguk, sambil nyengir menahan malu. "Masakan Bi Lies enak sekali soalnya, sayang kalau dianggurin." pujinya, sambil tersenyum lebar. "Ah, lagi lapar aja Eneng mah." "Serius, Bi. Supnya enak sekali." Setelah menyelesaikan makannya, Gylea segera kembali ke tempat yang sama, ketika mereka ngobrol tadi. Bastian sedang duduk. Di tangannya terselip rokok, lalu mengisap dan mengepulkan asap dengan seenaknya. Wajahnya nampak masih banyak tekanan. Ketika sadar akan kehadiran Gylea, ia melihatnya. "Kalau tidak keberatan saya merokok, duduklah. Kita akan melanjutkan pembicaraan kita." perintahnya, masih tetap datar. Saya tidak merokok, tapi tidak masalah. Lanjutkan saja ... " katanya, sambil duduk di hadapan Bastian. Tangan Bastian mematikan rokoknya di asbak dan menatap langsung pada Gylea. "Baiklah, saya akan menceritakan apa yang saya tahu saja. Mengenai kegiatan Alicka di luar rumah, maaf, saya benar-benar tidak tahu." dia sedikit membungkukkan badannya, meletakan kedua tangan di atas lutut sambil menautkan jari-jarinya. Dengan menarik napas kasar, ia mulai melanjutkan kembali kisahnya. "Setelah Alicka tinggal di rumah saya, dia dimasukan ke sekolah terbaik dan terdekat di Jakarta, dimana saya tinggal. Namun, saya tidak begitu tahu kegiatan apa saja yang dilakukannya. Saya menganggapnya sudah besar dan bisa mengurus dirinya sendiri. Jadi, saya ingin memberinya kebebasan. Tidak bermaksud sedikit pun untuk terlalu mengekangnya, dengan berbagai aturan. Dan perlu anda tahu juga, saya selalu pulang ke rumah larut malam. Pagi-pagi sekali, sudah berangkat kerja, jadi jarang sekali kita bertemu. Kalau bertemu pun, saya hanya menanyakan apa yang jadi keperluannya." mengambil nafas sejenak, kemudian menatap Gylea dengan lekat. "Saya sudah beri dia ATM, untuk memenuhi segala kebutuhannya. Saya pun melihat dia menggunakan uang itu hanya seperlunya, tidak berlebihan. Kemudian saya tahu, Alicka sering titip pesan ke bibi yang bekerja di rumah, kalau dia tidak pulang kerumah karena ada pemotretan di luar kota. Jadi, dari si bibilah saya tahu kalau dia jadi foto model untuk mengisi kesibukannya. Saya menganggapnya tidak masalah, sepanjang dia suka melakukannya." Bastian memalingkan wajahnya. Kini dia berdiri, mengambil sebatang rokok lagi, menyulutnya dengan korek api. Tidak lama asap itu keluar dari mulutnya, ada kegelisahan di sana. Gylea bisa merasakan ada pergulatan batin yang sedang terjadi pada diri laki-laki itu. Ia tidak mau mengganggunya dengan sebuah pertanyaan, meskipun ia sangat ingin tahu kelanjutan ceritanya. Ia lebih baik menunggu Bastian mulai tenang kembali. Entah berapa waktu keheningan itu berlangsung, hanya terdengar isapan rokok yang dilakukan dengan kasar. Bastian kembali ketempat duduknya. Melumatkan batang rokok yang masih setengah itu, ke asbak. Matanya kembali menatap Gylea yang masih terduduk dengan diam. Hanya dengan melihat dari bahasa tubuhnya saja, Gylea sudah bisa membaca apa yang akan diutarakannya. Pasti bukan sesuatu hal yang ringan, untuk diungkapkannya. "Suatu saat," Bastian memulai kembali, "ketika saya pulang kerja, malam itu....Saya melihat dia duduk di ruang tengah, seolah sedang menunggu. Biasanya Alicka ada di ruang atas, di kamarnya. Saya sempat heran dan menyapanya. Secara tiba-tiba, dia berdiri dan menjerit, membuat saya kaget dan cepat menghampirinya. Namun, setelah itu tubuhnya terkulai, pingsan." Bastian kembali menjeda ceritanya. Mengusap wajahnya, beberapa kali. "Saya sangat panik dan tidak tahu apa yang harus dilakukan. Baru tahu kemudian, kalau di sepanjang kakinya mengalir darah merah. Saya menelepon dokter pribadi, lalu membawanya ke rumah sakit. Saya baru tahu kemudian, kalau Alicka mengalami keguguran...." Sampai disitu cerita Bastian, membuat Gylea terhenyak kaget. "Keguguran .... ? Maksud anda dia hamil, dan keguguran?" Bastian mengangguk. "Ya! Saya samasekali tidak menduganya." "Ya, Tuhan .... " Gylea menggumam, lirih. Bagaimana gadis sebelia itu bisa jatuh ke dunia seks bebas? Kasian sekali. "Lanjutkan cerita anda." pinta Gylea. Bastian mengangguk. "Alicka dirawat selama beberapa hari, dia jadi tidak bereaksi pada hal apapun. Kakinya tidak mau berjalan dan mulutnya pun tidak mau bicara. Akhirnya dokter kandungan menyarankan untuk di rujuk ke psikiater, supaya dapat perawatan yang lebih intensif. Akan tetapi, mungkin secara fisik Alicka sudah dinyatakan sehat oleh dokter. Namun, secara psikis, Alicka belum sembuh. Dari itu saya membawanya kesini, sambil berpikir lebih jernih lagi. Saya harus berbuat sesuatu untuk menyembuhkan Alicka, tapi tanpa diketahui oleh orang banyak. Anda tahu sendiri .... " Bastian menatap lekat pada Gilea kembali. "Para paparazzi itu, yang selalu cari-cari berita, seperti serigala yang kelaparan." Bastian menarik napas panjang. Kemudian menambahkan kata-katanya. "Akhir-akhir ini, sebenarnya saya sudah berpikir juga untuk membawanya ke seorang psikiater, tapi karena kesibukan jadi tertunda terus." "Seharusnya anda tidak menunda-nundanya lagi, kasian Alicka seperti itu terus, tanpa ada yang bisa menolongnya." cetus Gylea. "Saya tidak tinggal disini sebenarnya. Hanya seminggu atau dua minggu sekali, itupun akhir minggu saja. Sehari-hari saya hanya menerima kabar Alicka, dari Mang Isak atau Bi Lies." Kemudian Gylea merasa jengah dengan binar mata Bastian, saat menatapnya untuk menutup ceritanya tentang Alicka. "Saya berharap, dengan cerita adik saya ini, dapat membantu anda untuk menangani sakitnya. Saya benar-benar bersyukur, anda tersesat ke tempat saya ini." Apa Bastian bermaksud bercanda? Garing sekali, tidak ada lucu-lucunya sama sekali. Gylea memicingkan matanya. Ironis, pikirnya. "Anda sepertinya lupa, bagaimana sikap anda terhadap saya tadi." "Anda sendiri seorang perempuan yang tidak mudah, membuat saya lupa diri." tanpa meminta maaf, Bastian malah membalikan situasinya, seolah Gylea yang salah. Gylea membelalakkan matanya gemas, kesal dan sebel, terhadap lelaki keras kepala ini. "Kalau saya tidak punya hati nurani, mungkin akan dengan senang hati meninggalkan tempat ini. Namun, melihat penderitaan Alicka, saya bukan manusia yang setega itu." untuk sejenak, ia menyorotkan tatapannya pada Bastian. Ada kejujuran di sana. "Saya sendiri tidak bisa janji dapat menyembuhkannya, karena banyak hal yang harus saya pelajari setiap harinya." sambungnya lagi. "Saya rasa Alicka butuh seorang teman, yang memperhatikannya dan memberinya kasih sayang yang tulus dari hati. Saya yakin, bila dengan tekun dan sabar, Alicka akan menyadari kehadiran saya di sisinya." ada harapan yang tersirat dalam kata-kata Gylea, membuat mata Bastian sedikit bercahaya. "Kalau begitu, saya percayakan Alicka dalam perawatan anda, dan terima kasih." Oh my God! Akhirnya Lelaki ini mengucapkan terima kasih juga, batinnya. Tangannya terulur dan Gylea secara spontan menerimanya. Tatapannya penuh harapan. Gylea tanpa sadar tersenyum, menunjukan lesung pipi kecil di sudut bibirnya, dengan sangat manis.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD